Celah Korupsi dari Sistem Keuangan Partai Politik
Mengapa korupsi di negara ini tidak pernah usai? Mengapa sebagian besar praktik korupsi dilakukan oleh para pejabat publik cum politisi partai politik? Mari sejenak lihat data lima tahun ke belakang.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis hasil monitoring kasus korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat RI periode 2014 – 2019. Sebanyak 22 anggota Dewan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan korupsi yang berbeda-beda. Di tingkat eksekutif daerah pada periode yang sama tercatat 105 kasus korupsi dengan 90 di antaranya melibatkan bupati dan walikota, sedangkan 15 sisanya melibatkan gubernur. Catatan itu akan semakin panjang apabila kita tarik lebih jauh sejak awal bergulirnya reformasi.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami korupsi. Ada yang melihatnya dalam perspektif moral yang diyakini sebagian besar masyarakat kita. Sedangkan para akademisi menawarkan ragam sudut pandang yang melampaui batas-batas moralitas; mulai dari budaya, ekonomi, maupun sistem.
Saya sendiri meyakini bahwa korupsi, dan politisi partai yang terlibat di dalamnya, lebih cenderung disebabkan oleh masalah demokrasi dan kepartaian kita. Saya ingin membahas sudut pandang untuk memahami korupsi yang agaknya kurang lazim di mata umum, yaitu pendekatan keuangan partai politik.
Mengapa Keuangan Partai?
Roda organisasi partai harus terus bergerak agar tetap eksis di masyarakat. Ini bergantung pada bagaimana partai memenuhi kebutuhan belanja mulai dari operasional harian, konsolidasi, unjuk publik, serta yang paling penting adalah kampanye di masa pemilu. Masalahnya, semua kebutuhan itu butuh biaya -baik berupa uang atau barang- dalam jumlah yang tidak sedikit.
Didik Supriyanto, dkk. (2011) dalam buku Anomali Keuangan Partai Politik menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan operasional harian partai mencapai Rp 50 miliar dalam setahun. Belum termasuk penyelenggaraan kegiatan seperti rapat, konsolidasi, dan ajang unjuk publik partai, yang setiap tahunnya menelan biaya miliaran secara tersendiri.
Belanja kampanye untuk pemilu lebih besar lagi. Dalam laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemilu 2014, biaya kampanye yang ditanggung partai Rp 200 sampai 300 miliar. Kenyataan pahitnya, kandidat yang diusung partai masih harus merogoh kocek pribadi untuk membiayai kampanyenya. Bahkan, jumlahnya terkadang lebih banyak dari yang diberikan oleh partai pengusung.
Sebenarnya, dalam Undang-Undang Partai Politik, disebutkan tiga sumber pembiayaan yang legal: iuran anggota, sumbangan, dan subsidi negara. Dua sumber pertama bermasalah, sedangkan yang ketiga adalah satu-satunya sumber pembiayaan yang bisa dikontrol.Dari sini kita akan mendapati konsep ‘uang mahar’, karena biasanya kandidat harus ‘membeli’ partai untuk meraih dukungan ketika pemilu. Dalam sistem demokrasi kita, hampir mustahil bagi seseorang dapat menjadi pejabat publik tanpa dukungan partai. Jelas ini menjadi sumber pembiayaan yang menyenangkan bagi partai, terutama untuk digunakan kembali pada masa kampanye pemilu.
Masih menurut Didik Supriyanto, dkk. (2011), hampir semua partai tidak menjalankan iuran, dan jika ada, jumlahnya hanya sedikit. Di sisi lain, sumbangan dari perorangan dan perusahaan juga sering tidak jelas asal-usulnya.
Sebagai contoh Partai Demokrat, mereka pernah melaporkan total sumbangan perorangan dan perusahaan di tahun 2005 hanya Rp 4 miliar. Angka ini jauh dari cukup jika dibandingkan dengan, katakanlah, biaya operasional (daily activities) Partai Demokrat di tahun yang sama yaitu sebesar Rp 24 miliar.
Dari mana sisa kebutuhan itu dipenuhi di saat mekanisme iuran anggota hampir tidak berjalan? Perlu diingat, bahwa di tahun itu, jumlah bantuan keuangan dari negara untuk partai politik masih terlalu kecil. Jumlahnya hanya Rp 21 juta per perolehan kursi di legislatif pusat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2005.
Beruntung, sumber pembiayaan dari subsidi negara telah meningkat sepuluh kali lipat sejak Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 (PP 1/2018). Sekarang, setiap partai politik yang memiliki kursi di DPR RI akan mendapatkan bantuan Rp 1000 per suara sah, sedangkan Rp 1.200 untuk DPRD provinsi, dan Rp 1.500 untuk DPRD kabupaten/kota.
Sejauh ini, hanya sumber pembiayaan partai politik dari subsidi negara yang dapat dikontrol dengan ketat. Partai politik secara berkala diwajibkan untuk melaporkan penggunaan dana subsidi tersebut kepada negara. Celah untuk menyalahgunakan dana bantuan negara ini bisa dikatakan hampir tidak mungkin.
Dana Gelap Partai dan Koneksi Personal
Meningkatnya subsidi dari negara tidak serta-merta mengatasi problem keuangan partai. Kita masih bisa menemukan sumber pembiayaan gelap yang tidak jelas asal-usulnya.
Marcus Mietzner (2007) dalam artikelnya yang berjudul, “Party financing in post-Soeharto Indonesia,” menunjukkan satu temuan menarik. Dalam sebuah wawancara, seorang bendahara partai ‘X’ mengaku tidak tahu-menahu dari mana sumber dana yang diperoleh partainya secara utuh. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa semua itu dilakukan secara informal melalui koneksi dekat aktor partai -terutama elite- dengan individu atau pengusaha tertentu.
Temuan hasil riset saya mengenai pembiayaan informal partai tahun 2017 lalu juga selaras dengan pernyataan Mietzner di atas. Dalam sebuah wawancara saya dengan kader partai ‘Y’, ia menyebut bahwa koneksi personal elite partai dengan beberapa pengusaha juga ternyata bisa dibentuk lewat kedekatan spiritualitas. Ada semacam hubungan antara guru agama dan muridnya, di mana para murid ini bisa terdorong untuk menyalurkan donasinya melalui sang guru untuk kepentingan partai.
Dana gelap yang diperoleh melalui koneksi personal kader partai secara informal memang sangat sulit dilacak. Kita tidak bisa mengetahui besarannya secara pasti, termasuk digunakan untuk apa dana tersebut. Perangkat aturan yang terangkum dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu tidak bisa menyentuh sisi ini.