Kehadiran Yasonna Laoly dalam konferensi pers Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Rabu pekan lalu mengundang kritik. Apalagi agenda acaranya adalah soal pembentukan tim hukum untuk merespon kasus dugaan suap yang menimpa anggota partai itu, Harun Masiku.
Peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai adanya menteri yang tetap aktif pada jabatan struktural partai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi, dalam kasus Yasonna, ia harus menjalankan tugas sebagai Ketua Bidang Hukum PDIP beserta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sikap para menteri seperti ini akan menimbulkan persepsi negatif terkait profesionalitas kabinet. “Sebaiknya Presiden Jokowi punya kebijakan khusus untuk meminta menteri bekerja profesional sebagai pejabat publik,” kata Arya, Minggu (19/1) seperti dikutip dari Antara.
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengkhawatirkan sikap Yasonna tersebut. “Kami berpikir ini ada potensi mal-kepentingan, tidak profesional, pembiaran, dan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya,” ucapnya.
Yasonna sudah mengklarifikasi kapasitasnya dalam konferensi pers itu sebagai kader PDIP, bukan menteri. Ia juga memastikan tidak masuk dalam tim hukum dan tidak akan melakukan intervensi atas kasus yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. “Mana bisa saya intervensi. Saya tidak punya kewenangan,” ucap Yasonna.
(Baca: Gandeng Interpol Kejar Harun Masiku, Polisi Tunggu Surat KPK)
Memang Menteri Hukum dan HAM tidak punya kewenangan apa-apa atas kasus yang dikerjakan KPK. Namun, publik tentu masih ingat Undang-Undang KPK yang baru dan berhasil melemahkan kinerja komisi itu berasal dari kementerian yang dipimpin Yasonna.
Paling tidak pelemahan itu mulai terasa pada kasus ini. KPK tidak berhasil menggeledah ruangan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto karena belum mendapat izin Dewan Pengawas. Akibatnya, korelasi Hasto dengan tersangka lainnya menemui jalan buntu.
Dalam Pasal 37B UU Nomor 19 Tahun 2019 disebut Dewan Pengawas KPK memiliki beberapa tugas, salah satunya adalah memberi izin atau tidak penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Tim hukum PDIP malah melaporkan aksi penggeledahan tersebut ke Dewan Pengawas. “Pada 9 Januari ada yang mengaku dari KPK, tiga mobil, dan membawa surat tugas penggeledahan. Akan tetapi ketika kami minta lihat, hanya dikbas-kibaskan,” kata Koordinator Tim Hukum PDIP I Wayan Sudirta.
Kasus ini bermula ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada 8 Januari 2020. KPK lalu menetapkan Wahyu beserta tiga orang lainnya sebagai tersangka. Ketiga orang itu adalah mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.
(Baca: DKPP Anggap Ketua KPU Biarkan Wahyu Setiawan Langgar Kode Etik)
Harun diduga menyuap Wahyu untuk memuluskan langkahnya menjadi anggota legislatif, menggantikan kader PDIP yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas. Nazarudin merupakan adik suami Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas.
Dalam menjalankan rencananya, Harun memberikan Rp 600 juta kepada Wahyu. Uang itu ia terima dari Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah (pengacara), melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina Sitorus.
Sebenarnya Wahyu meminta uang Rp 900 juta untuk biaya operasional kepada Harun. Namun, belum seluruh uang ia terima dan proses penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR itu gagal total. Keduanya malah terseret kasus korupsi dan menjadi tersangka.
Saeful merupakan staf Hasto Kristiyanto. Upaya KPK untuk menemukan hubungan Hasto dalam kasus ini terhalangi oleh kader partai banteng bermoncong putih. Sebagai partai berkuasa dalam pemerintahan sepertinya sulit menemukan kaitan tersebut. Apalagi, PDIP termasuk salah satu pengusul UU KPK yang baru.
(Baca: Sepekan Setelah OTT, Dewas KPK Belum Beri Izin Geledah Kantor PDIP)
Selanjutnya: Teka-Teki Keberadaan Harun Masiku