Pasal-Pasal Bermasalah dalam Omnibus Law Cipta Kerja
Selain setebal kamus, isi RUU Ciptaker ibarat kitab suci. Banyak isu yang dibahas di dalamnya. Dari mulai tenaga kerja, pertanian, perikanan, kelautan, pendidikan, peternakan, pertambangan, minyak dan gas bumi, lingkungan, kehutanan, ketenagalistrikan hingga pers. Tak heran banyak catatan merah pula pada pasal-pasal draf aturan itu.
KSPI telah menyampaikan sembilan alasan menolak RUU tersebut. Pertama, hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. Kedua, masalah aturan pesangon yang kualitasnya rendah dan tanpa kepastian.
Ketiga, aturan itu membuat sistem pemakaian tenaga alih daya atau outsourcing yang semakin mudah. Keempat, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan. Kelima, jam kerja yang eksploitatif. Keenam, karyawan kotrak akan sulit menjadi pegawai tetap.
Ketujuh, penggunaan tenaga kerja asing, termasuk, buruh kasar semakin bebas. Kedelapan, perusahaan akan mudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawa. Terakhir, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meminta buruh tak khawatir dengan kehadiran rancangan aturan tersebut. Draf yang disampaikan pemerintah ke DPR masih tahap awal. Regulasi itu masih bisa berubah jika buruh merasa keberatan.
Pemerintah membuka dialog untuk membahas draf Omnibus Law Cipta Kerja. “Jangan takut ini bukan draf final. Ini baru rancangan undang-undang (RUU),” kata Ida di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pekan lalu.
(Baca: Aturan Baru Omnibus Law, Syarat Amdal Hanya untuk Usaha "Berbahaya")
Lalu, aturan lingkungan hidup dalam omnibus law itu juga terlihat bermasalah. Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut RUU Ciptaker memberikan keistimewaan terhadap korporasi semata. “Korporasi dapat dua keistimewaan, yakni investasi dipermudah dan imunitas," kata Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi.
Omnibus law itu menghapus dan mengubah serta menerapkan aturan baru yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Misalnya, soal sansi administrasi kepada korporasi. Dalam undang-undang lama, sanksi itu diputuskan oleh pemenerintah dan masuk ke ranah pidana. Namun, RUU tersebut menyebut apabila sanksi administrasi belum terpenuhi oleh pemerintah maka belum dapat dipidana.
Penghapusan tersebut, menurut Walhi, merupakan kemuduran hukum bagi Indonesia. Draf yang baru juga menghapus aturan izin lingkungan yang merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha.
Soal analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal juga mengalami perubahan. Usaha yang risiko terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budayanya rendah tak wajib memiliki Amdal. Mereka hanya diwajibkan memenuhi standar upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).
Dalam pasal 34 Omnibus Law Cipta Kerja mengatakan, UKL-UPL disampaikan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Kewenangan pemberian Amdal nantinya juga berubah, terpusat di pemerintah daerah, tak lagi di pemerintah daerah.
RUU Ciptaker pun memberi batasan administrasi mengenai gugatan kegiatan perusakan lingkungan. Hanya orang yang terdampak langsung yang bisa melakukan hal tersebut. "Apabila RUU ini disahkan maka izin akan serampangan tanpa dapat digugat oleh rakyat yang memiliki hak atas lingkungan," kata Zenzi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menjelaskan dalam omnibus law aspek lingkungan hijau tetap akan dibahas dengan penetapan standar lingkungan yang ditetapkan pemerintah pusat. Tujuannya, agar pemerintah mempunyai daya paksa (enforce) untuk mempersoalkan dampak lingkungan yang rusak oleh proyek industri.
(Baca: Salah Pengetikan di Omnibus Law, Mahfud MD: Kekeliruan Itu Biasa)
Perubahan pasal Undang-Undang Pers dalam Omnibus Law Cipta Kerja juga menuai kritik. Pada draf aturan yang baru pemerintah pusat berhak mengatur pengembangan usaha pers melalui penanaman modal. Aturan yang lama hanya mengatakan penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Omnibus law itu juga menaikkan pidana denda bagi perusahaan pers yang melanggar aturan. Di undang-undang yang lama dendanya paling banyak Rp 500 juta, sementara draf yang baru menyebut Rp 2 miliar. Ada pula sanksi administratif yang akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berjanji akan memperbaiki pasal-pasal bermasalah tersebut. “Pokoknya begini, kami memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membahas,” ucapnya.
Menurut Mahfud, tak boleh ada pengekangan terhadap kebebasan pers. Draf aturan itu seharusnya memudahkan kerja insan pers. "Kok malah mau mengekang kebebasan pers, itu tidak boleh," katanya.
DPR memberi kesempatan pada masyarakat untuk melihat dan mencermati draf omnibus law ini tanpa batasan waktu. Di sisi lain, pemerintah juga didorong untuk mensosialisasikan aturan baru tersebut. “Agar ketika pembahasan tidak menimbulkan kegaduhan dan kecurigaan masyarakat,” ucap Ketua DPR Puan Maharani.
(Baca: Menaker Janji Omnibus Law Tak Bikin Upah Minimum Buruh Turun)