Mahkamah Internasional: Negara Kaya Harus Patuh Komitmen Iklim Internasional

Ajeng Dwita Ayuningtyas
24 Juli 2025, 08:43
iklim, perubahan iklim
Pexels
Mahkamah Internasional (ICJ) mengatakan kepada negara-negara kaya, bahwa mereka harus mematuhi komitmen internasional untuk menentang polusi.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Mahkamah Internasional (ICJ) mengatakan kepada negara-negara kaya, bahwa mereka harus mematuhi komitmen internasional untuk menentang polusi. Pengingkaran terhadap komitmen ini mengharuskan negara tersebut membayar kompensasi kepada negara-negara lain yang terkena dampak keras oleh perubahan iklim.

Pendapat ini diapresiasi oleh negara-negara kepulauan kecil dan kelompok lingkungan hidup, dianggap sebagai batu loncatan hukum untuk membuat pencemar besar bertanggung jawab.  Mahkamah Internasional mengatakan, negara-negara harus mengatasi "ancaman mendesak dan eksistensial" dari perubahan iklim. 

"Negara-negara harus bekerja sama untuk mencapai target pengurangan emisi yang konkret," ujar Hakim Mahkamah Internasional, Yuji Iwasawa, pada Rabu (23/7), dikutip dari Reuters.

Hakim Iwasawa juga menambahkan, kegagalan negara-negara untuk mematuhi "kewajiban ketat" yang dibebankan kepada mereka dalam perjanjian iklim, merupakan pelanggaran hukum internasional. Di samping itu, negara tetap bertanggung jawab atas tindakan pelanggaran oleh perusahaan yang berada di bawah yurisdiksi atau kendali mereka.

Kegagalan mengendalikan produksi bahan bakar fosil dan subsidi dapat mengakibatkan "ganti rugi penuh kepada negara yang dirugikan dalam bentuk restitusi, kompensasi, dan kepuasan, asalkan ketentuan umum hukum pertanggungjawaban negara terpenuhi."

Dukungan Menyusul Pendapat Mahkamah Internasional

Setelah mendengar pendapat bulat Mahkamah Internasional dibacakan, Menteri Iklim Vanuatu, Ralph Regenvanu, menyatakan tidak menyangka hasilnya akan demikian.

"Saya tidak menyangka hasilnya akan sebaik ini," ujar Ralph kepada wartawan.

Salah satu mahasiswa hukum, Vishal Prasad, yang melobi pemerintah Vanuatu di Samudra Pasifik Selatan untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional mengatakan, pendapat ICJ ini merupakan alat untuk keadilan iklim. "Sungguh, Mahkamah Internasional telah memberi kita alat yang kuat untuk melanjutkan perjuangan demi keadilan iklim," ujarnya.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memuji pendapat ICJ tersebut dan mengatakan hal itu menegaskan tujuan perjanjian iklim Paris perlu menjadi dasar dari semua kebijakan iklim.

"Ini adalah kemenangan bagi planet kita, bagi keadilan iklim, dan bagi kekuatan kaum muda untuk membuat perubahan," ujarnya. "Dunia harus merespons,” tambah Antonio.

Menggarisbawahi HAM Atas Lingkungan yang Bersih

Hakim Iwasawa, yang memimpin panel yang terdiri atas 15 hakim, mengatakan rencana iklim nasional harus memiliki ambisi tertinggi. Rencana iklim nasional juga secara kolektif diusahakan mempertahankan standar untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris 2015 yang mencakup upaya untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.

"Berdasarkan hukum internasional, hak asasi manusia atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sangat penting bagi pemenuhan hak asasi manusia lainnya," kata Hakim Iwasawa. 

Putusan kuat Mahkamah Internasional PBB mungkin tetap terbatasi oleh fakta bahwa Amerika Serikat, penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia dalam sejarah, dan penghasil emisi terbesar kedua saat ini setelah Cina, memilih membatalkan semua peraturan iklim.

"Seperti biasa, Presiden Trump dan seluruh pemerintahan berkomitmen untuk mengutamakan Amerika dan memprioritaskan kepentingan rakyat Amerika," ujar Juru Bicara Gedung Putih, Taylor Rogers.

Dengan skeptisisme terhadap perubahan iklim yang menyebar di Amerika Serikat dan tempat lain, Hakim Iwasawa memaparkan penyebab masalah dan perlunya tanggapan kolektif.

"Emisi gas rumah kaca jelas disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak terbatas wilayahnya," katanya.

Secara historis, negara-negara industri kaya bertanggung jawab atas emisi terbanyak. Hakim Iwasawa mengatakan negara-negara ini harus memimpin dalam mengatasi masalah tersebut.

Putusan Kuat Tetap Berbobot Politik dan Hukum

Menurut para ahli hukum, pendapat pengadilan tinggi tersebut memang tidak mengikat, tetapi memiliki bobot hukum dan politik. Kasus-kasus iklim di masa mendatang tidak akan dapat mengabaikannya.

"Ini adalah awal dari era baru akuntabilitas iklim di tingkat global," kata Penasihat Hukum Greenpeace, Danilo Garrido.

Pengacara Litigasi Iklim sekaligus Penasihat Hukum Kepulauan Solomon, Harj Narulla, mengatakan Mahkamah Internasional memunculkan kemungkinan para penghasil emisi besar berhasil dituntut.

“Perbaikan ini mencakup restitusi — seperti membangun kembali infrastruktur yang hancur dan memulihkan ekosistem — dan juga kompensasi moneter,” ujar Harj.

Jawaban dari Dua Pertanyaan

Pendapat Mahkamah Internasional hari Rabu (23/7), menyusul dua minggu sidang pada Desember lalu, ketika para hakim diminta oleh Majelis Umum PBB untuk mempertimbangkan dua pertanyaan, apa kewajiban negara-negara berdasarkan hukum internasional untuk melindungi iklim dari emisi gas rumah kaca dan apa konsekuensi hukum bagi negara-negara yang merusak sistem iklim?

Negara-negara berkembang dan negara-negara kepulauan kecil yang menghadapi risiko terbesar akibat naiknya permukaan air laut, telah meminta klarifikasi dari pengadilan tinggi setelah kegagalan Perjanjian Paris 2015 untuk mengekang pertumbuhan emisi gas rumah kaca global.

PBB mengatakan bahwa kebijakan iklim saat ini akan mengakibatkan pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius (5,4 derajat Farenheit) di atas tingkat pra-industri pada tahun 2100.

Menurut laporan Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment pada Juni lalu di London, saat ini para pegiat berupaya meminta pertanggungjawaban perusahaan dan pemerintah. Kemudian, litigasi terkait iklim semakin meningkat, dengan hampir 3.000 kasus diajukan oleh hampir 60 negara.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...