Jabodetabek Langganan Banjir, Ini Solusi dari Pakar Tata Kota


Banjir masih menggenangi sejumlah wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), pada Selasa (8/7), setelah diguyur hujan deras sejak Minggu (6/7). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyebut, banjir pesisir atau rob juga menyertai bencana kali ini.
Pakar Tata Kota Yayat Supriatna mengatakan curah hujan yang tinggi hingga mengakibatkan banjir kali ini di luar prediksi. Pasalnya, puncak musim hujan pada periode Desember-Februari sudah terlewati. Bahkan, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan sebagian wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau.
Faktor cuaca ekstrem yang tidak menentu ini membuat pencegahan banjir tergolong terlambat. Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan modifikasi cuaca di Jabodetabek dinilai belum mampu menyelesaikan masalah dan membutuhkan anggaran miliaran rupiah.
Pakar tata kota mengajukan sejumlah solusi agar Jabodetabek bisa mengantisipasi banjir lebih baik lagi di kemudian hari. Berikut ini detailnya.
1. Normalisasi Sungai
Yayat menyebut, Jakarta membutuhkan normalisasi sungai. Normalisasi sungai dilakukan dengan memperlebar dan memperdalam sungai untuk mempercepat aliran air menuju hilir.
“Upaya normalisasi, pelebaran sungai, dan meningkatkan kapasitas daya tampungnya, itu jadi sebuah pekerjaan rumah. Bagaimanapun upaya memperindah Jakarta juga bisa dilakukan, termasuk dengan normalisasi daerah aliran sungai,” kata Yayat kepada Katadata.co.id.
Hendricus Andy, Pakar Tata Kota sekaligus Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Indonesia menambahkan, upaya lainnya seperti pembangunan tanggul dan pengerukan kali juga harus memperkirakan faktor cuaca ekstrem.
“Kalau curah hujan normal, itu berfungsi. Kita harus lebih dari itu berpikirnya. Kalau cuaca ekstrem, bisa tidak (memadai) walaupun sudah dibangun tanggul dan sungai dikeruk," ujar Hendricus.
2. Pembangunan Jakarta Belum Menyertakan Ekosistem Buatan
Hendricus mengatakan penanggulangan banjir di Jakarta tidak bisa lagi mengandalkan ekosistem alamiah. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah di Jakarta sudah terbangun. Persoalan lainnya, pembangunan-pembangunan di Jakarta belum disertai dengan artificial ecosystem atau ekosistem buatan dan infrastruktur ekologis.
“Misalnya, yang tadinya rawa, dibangun perumahan, harusnya dibuat polder sendiri. Karena tadinya rawa menyerap 10 ribu meter kubik harus dibuatkan polder yang sebesar itu. Nah, ini yang kayaknya tidak tereksekusi dengan baik,” kata Hendricus.
Selain karena curah hujan tinggi dan rob, Hendricus menilai, banjir kiriman dari daerah sekitar Jakarta belum tertangani dengan optimal.
3. Dampak Rehabilitasi DAS di Kawasan Puncak
Selain menyiapkan berbagai strategi di Jakarta, Yayat mengatakan, penanganan banjir juga terkait dengan penertiban di daerah aliran sungai (DAS) di kawasan Puncak dan sekitarnya. Namun, upaya penertiban DAS baru sebatas mencegah bencana longsor di lokasi tersebut. Menurut Yayat, pengelolaan di kawasan tengah dan hilir justru menjadi kunci.
Akan tetapi, Hendricus menyampaikan tanggapan berbeda. Menurutnya, upaya rehabilitasi DAS di kawasan Puncak dan sekitarnya dapat membantu meredam banjir kiriman. Meskipun demikian, banjir juga ditentukan faktor lainnya seperti curah hujan tinggi dan rob yang harus ditanggulangi dengan solusi lain.
4. Peringatan Dini kepada Masyarakat
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah melaporkan anomali cuaca di berbagai daerah. Informasi ini harus tersampaikan kepada masyarakat agar langkah-langkah antisipasi dapat dilakukan.
Yayat mengungkapkan, persoalan lain yang dihadapi pemerintah daerah adalah pengendalian penduduk di wilayah "Jumlah penduduk terus bertambah, (wilayah) padat, terjadi hujan besar, hingga banjir,” kata Yayat.
Menanggapi hal tersebut, Hendricus menilai penataan ulang tata ruang di Jabodetabek sangat diperlukan. “Yang sekarang diperlukan adalah mengurangi potential loss and damage-nya, bagaimana mengurangi kerugian dan ancaman kehilangan dari sisi ekonomi yang ada dari rumah masyarakat, alat transportasi, itu yang yang bisa kita lakukan dengan menata ulang pola struktur ruang di Jabodetabek,” ujar Hendricus.