Advertisement
Analisis | Anomali Kekalahan Ganjar di Kandang Banteng saat PDIP Menjuarai Pileg 2024 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Anomali Kekalahan Ganjar di Kandang Banteng saat PDIP Menjuarai Pileg 2024

Foto: Katadata
Perolehan suara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md keok di provinsi-provinsi yang menjadi basis PDIP selama bertahun-tahun. Sebaliknya, PDIP justru berhasil mengamankan posisinya sebagai partai peraih suara terbanyak. Bagaimana anomali ini bisa terjadi?
Author's Photo
Oleh
7 Maret 2024, 16.48
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md menelan kekalahan telak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 14 Februari 2024 lalu. Hasil hitung cepat lembaga survei menunjukkan, tak ada satu provinsi pun yang berhasil dimenangkan pasangan nomor 03 tersebut. Bahkan di Jawa Tengah, di mana Ganjar pernah memimpin provinsi itu selama dua periode.

Tak hanya Jawa Tengah, Ganjar juga kalah telak di provinsi yang dikenal sebagai lumbung suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang mengusungnya sebagai calon presiden (capres). DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara adalah kantong-kantong suara PDIP.

Pada Pemilu 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bersama partai pengusungnya PDIP berhasil memerahkan mayoritas provinsi di Indonesia. Berdasarkan hasil quick count Pemilu 2024 Poltracking Indonesia, PDIP juga tampak masih paling unggul di wilayah Jawa Tengah-DI Yogyakarta sebesar 26,6% dan Bali-Nusa Tenggara (23,6%).

Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Bali memang memiliki sejarah panjang sebagai basis PDIP. Sejalan dengan Pemilu 2019 di mana wilayah ini juga menjadi penyumbang suara untuk pasangan yang diusung PDIP, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun di Pemilu kali ini, pasangan Ganjar-Mahfud tidak berhasil mengamankan suara di tiga provinsi ini. 

Menurut hasil quick count Centre for Strategic and International Studies (CSIS), basis tradisional PDIP seperti Jawa Tengah, Bali, hingga Sulawesi Utara berhasil dibobol pasangan 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dengan selisih suara yang lebar. 

Jika dibedah per kabupaten/kota berdasarkan real count per 26 Februari 2024, di Jawa Tengah misalnya, dari total 35 kabupaten/kota, Ganjar hanya memenangkan suara di Kabupaten Wonogiri (46,9%) dan Kabupaten Boyolali (49,5). Kabupaten/kota sisanya dimenangkan oleh Prabowo-Gibran termasuk kabupaten/kota Mataraman lain yang notabene disebut basis kuat PDIP yang susah ditembus. 

“Ganjar bahkan kalah di kabupaten kelahirannya, Karanganyar. Itu kan sebetulnya mustahil,” kata Made Supriatma, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, kepada Katadata.co.id, Selasa, 27 Februari. 

Di Bali, Ganjar berhasil memenangkan suara di Kabupaten Tabanan (60,2%) dan Kabupaten Gianyar (49,8%). Sedangkan di DI Yogyakarta, Ganjar tidak memenangkan suara di satu kabupaten/kota manapun.

Made menyebut bahwa dua kabupaten di Bali ini memang adalah bentengnya PDIP. “Tapi Ganjar kalah di lumbung PDIP paling besar, yaitu di Buleleng. Di Buleleng itu selalu menentukan pemilihan gubernur di Bali. Gubernur di Bali hampir selalu dari Buleleng,” kata Made.

Efek Terpecahnya Basis Suara PDIP

Elektabilitas Ganjar memang terus mengalami penurunan, utamanya sejak Gibran, putra sulung Jokowi yang menjabat sebagai Walikota Surakarta sekaligus kader PDIP resmi menjadi pendamping Prabowo. Suara PDIP perlahan-lahan terpecah, termasuk saat Jokowi mulai menunjukkan keberpihakannya pada Prabowo-Gibran secara gamblang.

Hal ini terlihat dari basis suara PDIP yang memilih Ganjar-Mahfud terus mengalami penurunan sejak Oktober 2023. Sebaliknya, suara untuk Prabowo-Gibran terus mengalami peningkatan. Artinya, ada perpindahan suara basis PDIP dari Ganjar-Mahfud ke Prabowo-Gibran.

Sebelum penetapan cawapres, sebanyak 81,7% suara pemilih PDIP berlabuh ke Ganjar. Pada hasil exit poll Indikator Politik Indonesia 14 Februari 2024 lalu, basis suara PDIP yang memilih Ganjar menurun hingga 58,4%. 

CSIS menyoroti adanya split-ticket voting. Survei CSIS pada 13-18 Desember 2023 menunjukkan hanya 64,8% dari total pemilih PDIP yang mengaku memilih Ganjar-Mahfud. Sedangkan sebanyak 25,4% pemilih PDIP memilih Prabowo-Gibran. 

Hal ini berbeda dengan Pemilu 2019 dimana split-ticket voting tidak terjadi. Pada Pemilu 2019, sebanyak 88,8% pemilih PDIP memilih pasangan calon (paslon) yang diusungnya, yaitu Jokowi-Ma’ruf.

“Suara pemilih PDIP tidak solid betul terhadap Ganjar-Mahfud. Suara PDIP masih mendominasi seperti di Jateng, Bali, Sulawesi Utara. Tetapi Ganjar-Mahfud kalah di tiga daerah ini. Sebagian split ke memilih Prabowo-Gibran,” kata Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa, 27 Februari.

Mesin Partai tidak Mampu Mengerek Suara Ganjar-Mahfud

Made Supriatma juga menyoroti bagaimana faktor PDIP tidak mampu mengerek suara Ganjar. Hal ini terlihat dari suara PDIP pada Pemilu 2019 ke 2024 yang cenderung stabil di tiga provinsi yang menjadi kadang banteng. Kebalikannya, suara pasangan yang diusung pada tahun yang sama mengalami penurunan yang signifikan. 

Suara PDIP di Jawa Tengah misalnya pada Pemilu 2019 dan 2024 berada di kisaran 27% - 29%. Di sisi lain, suara paslon yang diusung PDIP yaitu Jokowi pada 2019 dan Ganjar pada 2024 mengalami penurunan, dari 77,2% menjadi 34,4%. Tren yang serupa juga terjadi di DI Yogyakarta dan Bali. 

Berdasarkan exit poll Poltracking Indonesia, salah satu alasan pemilih Ganjar-Mahfud adalah karena faktor partai pengusungnya, yaitu PDIP dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini menunjukkan bahwa suara Ganjar masih banyak dipengaruhi PDIP. Yang juga berarti dengan terpecahnya suara PDIP, efek partai terhadap Ganjar pun turut melemah.

Alasan lain mengapa memilih Ganjar-Mahfud adalah karena mereka dianggap sosok yang merakyat (34,5%). Namun, menurut survei CSIS, pada Pemilu 2024 terjadi penurunan selera pemilih yang memilih faktor “merakyat/sederhana” dari 37,9% pada Pemilu 2019 menjadi 24,9% pada Pemilu 2024. 

Faktor merakyat dan sederhana ini sebelumnya adalah salah satu faktor kemenangan Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. 

Di sisi lain, pada Pemilu 2024 ini faktor “pemimpin kuat” alias tegas/ berwibawa” tampak mengalami peningkatan dari 16,4% pada Pemilu 2019 menjadi 23% pada Pemilu 2024. Menurut exit poll Poltracking Indonesia, imej tegas ini adalah salah satu faktor paling besar keterpilihan Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024.

Tidak Ada Efek Ekor Jas

Menurut exit poll Indikator Politik Indonesia, ketika pemilih ditanya kapan menentukan pilihan partai atau calon partai, banyak basis Ganjar-Mahfud yang menjawab sudah sejak dulu, sekitar setahun atau lebih dari setahun yang lalu (40,4%). Hal ini dapat diartikan pemilih mendukung siapapun yang diusung PDIP bahkan ketika Ganjar-Mahfud belum diumumkan secara resmi maju dalam Pemilu 2024.

Efek ekor jas atau coattail effect adalah kondisi di mana suara yang didapat dalam pemilihan presiden berpengaruh terhadap pemilihan legislatif. Artinya, suara capres yang diusung suatu partai mampu mendongkrak atau berjalan linier dengan suara partai yang mengusung.

Jokowi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 disebut mampu mendongkrak suara PDIP dari 14,03% di Pemilu 2009 menjadi 18,95% di Pemilu 2014. Angkanya terus merangkak naik hingga 19,33% di Pemilu 2019.

Namun dalam Pemilu 2024, efek “ekor jas” tampak tidak berlaku pada capres-cawapresnya. Ganjar-Mahfud tidak mampu mendongkrak suara PDIP dan sebaliknya. Begitu pula dengan paslon lain, seperti Prabowo-Gibran yang juga dinilai tidak mampu mendongkrak suara partai pengusungnya, Gerindra. Begitu pula dengan paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar terhadap PKB.

Faktor Jokowi

Di sisi lain menurut data exit poll, masa kampanye terbuka sekitar dua pekan sebelum Pemilu 2024 menjadi periode Prabowo-Gibran mengumpulkan basis suara, tertinggi dibandingkan paslon lain. Setidaknya 13,3% basis suara Prabowo-Gibran menentukan pilihannya pada periode tersebut. 

Basis ini kuat kemungkinannya ditarik karena faktor gencarnya Jokowi secara terbuka mendukung Prabowo-Gibran, termasuk di wilayah kandang banteng.

Salah satu yang menarik dari hasil sementara real count KPU per 23 Februari adalah pengambilalihan suara mayoritas Kota Surakarta oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kota Surakarta yang sempat dipimpin oleh Jokowi dan Gibran termasuk dalam daerah Mataraman yang dikenal sebagai daerah basis kuat PDIP.  

Pada Pemilu 2024 ini, data menunjukkan PSI yang saat ini diketuai oleh anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, unggul mengalahkan PDIP (26,9%). Kabupaten Sukoharjo juga berhasil dibobol Partai Gerindra yang unggul 24,5%.

Sebagai informasi, PSI adalah salah satu pengusung Prabowo-Gibran. Walaupun secara nasional efek Jokowi tidak terlalu signifikan mendongkrak suara PSI dalam mengamankan kursi parlemen, tetapi apa yang terjadi di Surakarta ini patut menjadi catatan seberapa kuat efek Jokowi dalam mendongkrak suara pengikutnya.

Menurut Made Supriatma, Surakarta adalah daerah simbolik untuk Jokowi dan keluarga yang kemudian menjadi target untuk diamankan suaranya dalam Pemilu 2024 ini. “Padahal Surakarta itu daerah ‘merah’ sekali. Ini daerah PDIP selama bertahun-tahun. Bahkan saat Orde Baru dan Golkar berkuasa, suara PDIP masih tinggi. Kalau ini bisa dikalahkan oleh PSI, ini anomali. Mesin apa yang bekerja di sini?” kata Made.

Made Supriatma menyebut salah satu efek dari kekuatan petahana (the power of incumbency) yang dijalankan oleh Jokowi adalah lewat pemberian bansos serta berbagai kebijakan seperti merapel kenaikan gaji tunjangan pensiunan selama tiga bulan, menaikkan gaji ASN, polisi, dan militer sebanyak 12%. Langkah ini telah menimbulkan dampak yang sangat besar dalam membangun dukungan untuk Prabowo-Gibran.

Menurut catatan Katadata.co.id, setidaknya sepanjang Januari 2024 Jokowi melakukan kunjungan ke sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah selama enam hari dan DI Yogyakarta selama empat hari, berdekatan dengan jadwal kampanye Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Beberapa kunjungan Jokowi juga diiringi dengan pemberian bantuan seperti bantuan pangan cadangan beras pemerintah, bantuan Program Indonesia Pintar, hingga BLT El Nino.

Selain bansos, Made juga menyoroti bagaimana kekuatan aparat digerakan Jokowi untuk memenangkan Prabowo-Gibran di kandang-kandang banteng.

“Studi menunjukkan ada efek penerima bansos dan kunjungan Jokowi suaranya ke Prabowo-Gibran. Tetapi jauh lebih signifikan itu keterlibatan aparat. Kalau misalnya Jokowi kampanye, itu masih memberi kebebasan orang untuk memilih. Tapi ketika Anda masuk ke ranah aparat, kita membentengi untuk tidak bisa (memilih),” kata Made.

Kekalahan Ganjar di kabupaten kelahirannya di Karanganyar adalah bagian dari campur tangan aparat yang dimaksud Made. “Operasi di Karanganyar sudah digarap duluan sejak November 2023 lewat pemanggilan kepala-kepala desa oleh aparat. Tidak ada kepala desa yang berani memilih Ganjar,” kata Made.

Tekanan aparat juga sampai pada calon-calon legislatif PDIP di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. “Caleg-caleg PDIP terancam. Mereka tidak berani berkampanye untuk Ganjar. Ganjar tidak bisa membangun koalisi, bahkan di dalam partai itu sendiri. Makanya suaranya jeblok,” kata Made.

Di sisi lain, peneliti CSIS Arya Fernandes juga menyebut bahwa caleg-caleg PDIP sudah terdistraksi setelah melihat melemahnya tren elektabilitas Ganjar-Mahfud. Untuk mengamankan posisi mereka, para caleg ini akhirnya tidak fokus pada pilpres melainkan melakukan kampanye untuk diri mereka sendiri demi mendapatkan kursi.

Editor: Lina Amalia