KATADATA ? Senin kemarin (24/8), perdagangan saham di seluruh dunia ditutup negatif. Peristiwa ini disebut Black Monday oleh para praktisi keuangan. Istilah tersebut mengacu pada kejadian jatuhnya bursa saham Wall Street pada Senin, 24 Oktober 1929. Kejatuhan saham saat itu menjadi sinyal atas dimulainya 10 tahun era depresi ekonomi yang kemudian mempengaruhi negara-negara industri di barat.

Black Monday yang terjadi saat ini terutama dipengaruhi oleh kebijakan devaluasi yuan oleh pemerintah Cina. Kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor, sebab sinyal perlambatan ekonomi Cina yang diproyeksikan sebelumnya menjadi semakin jelas. Selain itu, adapula pengaruh dari tekanan melemahnya hatga komoditas dan harga minyak dunia yang menembus level di bawah US$ 40 per barel. Ketidakpastian rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dalam menaikan suku bunga acuanya juga turut mempengaruhi.

Akumulasi faktor-faktor tersebut memicu aksi jual saham secara masif di pasar bursa. Alhasil, indeks bursa saham utama dunia rontok. Indeks bursa saham di AS jatuh 3,6 persen sedangkan indeks bursa di Cina rontok 8,5 persen. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ikut turun 4 persen. Berdasarkan riset DBS, kondisi bursa saham akan tetap dalam keadaan rapuh hingga Cina dapat menunjukan kondisi ekonomi yang stabil. 

Ekonom DBS untuk ASEAN Gundy Cahyadi menyatakan bagi Indonesia penurunan IHSG tak bisa dipisahkan dari pelemahan kurs rupiah. Untuk mereda efek jatuhnya IHSG, diperlukan peran Bank Indonesia untuk mengembalikan kepercayaan investor di lantai bursa. Selain itu, perlu juga perubahan struktur ekonomi nasional sehingga ekspor tidak hanya bergantung kepada ekspor komoditas.

Reporter: Leafy Anjangi