Jack Ma Hadir, Saatnya Olahraga Menjadi Industri

Ilustrator: Betaria Sarulina
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Yura Syahrul
1/9/2018, 18.50 WIB

Tak cuma jadi tuan rumah yang baik dengan menyedot antusiasme tinggi dari masyarakat, Indonesia juga mencetak prestasi olahraga tertinggi dalam Asian Games 2018. Hingga Sabtu (1/9) siang, Indonesia bertengger di posisi ke-4 –di bawah tiga raksasa olahraga Asia: Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan-- dengan meraih 30 medali emas atau total 93 medali dalam ajang empat tahunan tersebut.

Ini di luar perkiraan banyak orang dan dua kali lipat di atas target 16 medali emas yang ditetapkan pemerintah. Euforia pun melanda masyarakat di seluruh pelosok negeri. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan, pemerintah menjadikan Asian Games 2018 sebagai momentum peningkatan prestasi olahraga di Tanah Air pada masa depan dan level yang lebih tinggi lagi.

Untuk itu, perlu peran serta semua pihak. “Semuanya harus bersatu padu, swasta apalagi karena kita butuh bapak asuh terutama untuk pendanaannya, talent scouting, pembinaan, promosi atlet ke luar negeri,” kata pria berusia 45 tahun ini dalam wawancara khusus dengan Desi Dwi Jayanti dari katadata.co.id, Kamis (30/8/2018).

Selama wawancara dari pukul 10 pagi hingga 17 sore di dalam mobil dinasnya dan di sela-sela kunjungan ke lokasi pertandingan di JIExpo dan Gelola Bung Karno, Jakarta, Imam menguraikan kunci keberhasilan Indonesia, rencana olahraga ke depan, termasuk masalah peliknya menjadi tuan rumah dan kisruh tiket. Berikut petikan wawancaranya.

Apa kunci keberhasilan perolehan medali yang melampaui target ini?

Ini berkat dukungan dan perhatian banyak pihak. Presiden, Wakil Presiden, para menteri, serta masyarakat yang begitu gencar mendukung para pahlawan olahraga kita ini, termasuk di media sosial. Tapi yang paling penting, para atlet kita memang luar biasa keren. Pelatihnya keren. Pengurus cabang olahraga hingga semua stakeholder betul-betul meninggalkan ego sektoral untuk menyatakan, inilah saatnya kita menang di kandang sendiri.

Bagaimana upaya pemerintah menjaga keberlanjutan prestasi ini?

Kami akan terus mendorong kemandirian cabang olahraga. Mulai dari sistem kepelatihan, rekrutmen atlet, hingga memodifikasi kepelatihan di dalam dan di luar negeri. Pemerintah memberikan perhatian baik anggaran maupun pengawasan, agar dapat terlaksana baik sesuai dengan target medali. Kami minta KONI untuk mengawasi dan mengawal pemenuhan target tersebut. Ini proses yang harus terus dilakukan, sehingga olahraga didorong menjadi industri.

Industri yang seperti apa?

Masyarakat, terutama kalangan industri, BUMN, BUMD, serta mereka yang punya duit terlibat dalam pemenuhan kebutuhan para atlet maupun kepelatihan. Jadi tidak hanya di ujung memberi bonus, tapi mereka masuk ke Pelatnas atau bahkan merekrut atlet-atlet muda. Saya kira di sinilah pentingnya keterlibatan semua pihak.

Dalam menjaring atlet baru, adakah peluang pemanfaatan dana desa untuk membangun fasilitas olahraga?

Sejak 2015, Pak Jokowi memerintahkan saya merehabilitasi dan merenovasi sarana olahraga di desa dengan program “Satu Lapangan Satu Desa”.  Baik itu lapangan sepak bola, voli, sepak takraw, panjat tebing, atau bulu tangkis. Tapi karena keterbatasan anggaran di Kemenpora, Presiden memintasekalian memanfaatkan dana desa, sehingga satu pintu.

Dana desa diberi ruang untuk mengalokasikan perbaikan infrastruktur lapangan maupun kegiatan keolahragaan di desa-desa. Kemenpora tidak lagi terbebani. Alhamdulillah sekarang membuahkan hasil yang lumayan bagus.

Pembukaan Asian Games ( INASGOC/Jessica Margaretha)

Kembali ke Asian Games, bagaimana persiapan setiap cabang olahraga?

Persiapan sudah dilakukan sejak 1,5 tahun lalu dengan menggunakan anggaran 2017, yang dianggarkan kembali pada 2018. Model penganggarannya pun sudah berubah, tidak lagi per bulan melainkan di awal tahun diberikan kepada semua cabang olahraga. Tentu sesuai kebutuhan dan hasil veriifikasi Kemenpora.

Apa yang membedakan persiapan Asian Games 2014 dengan 2018?

Ini pertanyaan sulit.

Dari sisi anggaran mungkin?

Dari sisi anggaran pasti yang mendapatkan prioritas dari Bapak Presiden. Untuk Asian Games 2018, sudah disiapkan sekitar Rp 735 miliar, khusus untuk prestasi. Belum lagi bonus yang kami siapkan sekitar Rp 300-an miliar.

Bonus itu dari anggaran Kemenpora?

Dari anggaran Kemenpora. Tentu dari rakyat juga.

Bagaimana anggaran bonus kepada atlet yang berprestasi di Asian Games 2018, mulai dari uang, rumah, hingga janji diangkat sebagai PNS?

Kami beserta Menteri Keuangan terus berkoordinasi dan telah memperkirakan medali emas yang akan didapat Indonesia. Di anggaran 2017 sudah disusun beberapa opsi, termasuk jika melampaui target. Pemberian bonus ini juga diharapkan lebih cepat, tidak disamakan dengan Asian Para Games.

Seperti apa anggaran untuk penyelenggaraan Asian Games ini?

Kami alokasikan sekitar Rp 5,3 triliun ke Inasgoc yang dikelola oleh Erick Thohir. Anggaran itu untuk persiapan, acara pembukaan, dan penutupan. Tentunya juga untuk sarana pendukung di masing-masing venue, termasuk honor untuk tenaga asing yang terlibat.

Apakah anggaran itu mencukupi atau ada utang dan biaya tambahan lain?

Sejauh ini Inasgoc tidak mengajukan anggaran tambahan. Saya harus berterima kasih kepada Inasgoc yang telah melakukan beberapa penyederhanaan dan pemotongan anggaran dari sebelumnya Rp 8 triliun. Jadi ada penghematan sekitar Rp 2 triliun dan itu bisa ditutupi oleh sponsor, baik BUMN maupun sponsor lain.

Anda dapat menjamin kerapian administrasi penggunaan anggaran?

Itu harus dan diwanti-wanti presiden kepada saya, kepada para menteri, Inasgoc, dan pengurus cabang olahraga bahwa dana yang dipakai adalah dana negara. Lakukan dengan benar, cepat, profesional, akuntabel, dan tentu harus sesuai administrasi.

Jelang penutupan Asian Games, adakah yang tak berjalan sesuai rencana?

Untungnya kami pernah melakukan uji coba untuk melihat kemampuan sumber daya, baik pelaksananya, volunteer, sampai atletnya. Kami lakukan test event untuk mengevaluasi apa yang kurang, transportasi, keamanan, konsumsi, sampai kebutuhan publik. Kawasan Gelora Bung Karno (GBK) disulap menjadi rumah yang nyaman bagi semuanya, sampai soal ticketing, dan sebagainya.

Tentu saya juga punya banyak catatan tentang itu, tapi itu akan kami jadikan evaluasi pasca-Asian Games, agar ke depan ketika masyarakat dunia mempercayai kita sebagai tempat multi event yang lebih besar, seperti olimpiade atau bal-balan tingkat dunia.

Bagaimana dengan masalah ticketing?

Dari awal kami sudah minta kepada Inasgoc agar animo masyarakat yang demam Asian Games ditanggapi serius dengan mengantisipasi proses pembelian tiket yang profesional. Maka libatkan pihak yang sudah teruji. Tidak sekadar yang penting ada pihak ketiga yang bertanggung jawab, tapi betul-betul harus teruji secara internasional, karena ini event luar biasa besar.

Bagaimana Kemenpora menyikapi pengajuan nama vendor tiket—yang sempat bermasalah?

Tentu bukan domain kementerian. Saya sebagai pengguna anggaran pun tidak dilaporkan. Tapi ketika ada masalah, saya harus mengonfirmasi dan meminta cepat dilakukan pergantian, dan Alhamdulillah setelah itu langsung dilakukan.

Bukankah masih ada antrean panjang pembelian tiket dan juga calo?

Masih ada calo? Saya kira ini proses yang harus kita benahi bersama, bahwa bagaimana mindset sebagai bangsa harus berubah. Kalau masih ada praktik-praktik seperti itu, tentu menjadi tantangan terberat untuk Indonesia ikut biding olimpiade atau Piala Dunia sepak bola.

Kami akan melakukan evaluasi besar-besaran. Apa memang pihak ketiga yang ditunjuk Inasgoc, katakanlah sudah betul-betul tidak bisa melakukan dengan baik di momentum ini, di-blacklist, dicoret jangan lagi dipakai.

Apakah soal ticketing ini signifikan mempengaruhi jumlah penonton?

Tidak, meskipun orang mengeluh pasti biasa ya, antre lama pasti mengeluh. Ketika ada antrean panjang di hari kedua kalau tidak salah, kami langsung minta ke Pak Erick Thohir menyiapkan alternatif agar masyakarat tenang dan senang. Langsung dibikin layar tancap sebagai solusi untuk masyarakat yang tidak masuk ke stadion maupun ke venue.

Tentu saya harus minta maaf kepada masyarakat  Indonesia yang sempat kecewa. Mohon maaf sekali lagi karena kapasitas Istora hanya 3-4 ribuan, tapi yang nonton puluhan ribu.

Banyak orang juga kesulitan mendapatkan tiket untuk menonton acara penutupan…

Ya sekali lagi harus dimaklumi karena dari kapasitas stadion 70 ribu, yang dipakai hanya 40 ribu. Selebihnya untuk pertunjukan.

Apakah betul salah satu syarat yang diminta ke Komite Olimpiade Asia (OCA) agar Indonesia mau jadi tuan rumah Asian Games 2018 menggantikan Vietnam adalah pencak silat masuk cabang yang dipertandingkan?

Ya, itu kami lakukan sebelum menandatangani dana untuk broadcasting fee kepada OCA. Kami sampaikan beberapa hal harus dipenuhi oleh OCA kepada Indonesia, karena pendanaan Asian Games bersumber dari APBN, dari rakyat Indonesia, maka kepentingan rakyat Indonesia harus diakomodasi. Salah satunya adalah cabang olahraga khas Indonesia harus dipertandingkan yaitu pencak silat. Meskipun sebelumnya tidak dipertandingkan di Asian Games.

(ANTARA FOTO/Kumparan/INASGOC/Aditia Noviansyah)

Bagaimana proses negosiasinya?

Saya dengan Bu Rita (Subowo)—mantan Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) 2007-2015—atas perintah Presiden melakukan negosiasi lagi dengan OCA dan semua negara anggota di Turkmenistan. Kami sampaikan di forum bahwa ada berapa hal yang diajukan Indonesia. Pertama, soal pencak silat. Kedua, biasanya Asian Games itu hanya berlangsung di satu kota, tapi kami mengusulkan tiga kota: Jakarta, Palembang, dan di Jawa Barat.

Sempat ada penolakan karena tidak ada dalam sejarah Asian Games berlangsung di dua kota. Namun saya sampaikan bahwa bal-balan (sepakbola) dunia juga pernah punya sejarah di Korea dan Jepang, Kenapa Asian Games yang pembiayaannya murni dari APBN Indonesia, tidak diberi toleransi? Alhamdulillah Presiden OCA Sheikh Ahmad Al-Fahad Al-Sabah Presiden menyetujui itu dan disampaikan di forum Turkmenistan, bahwa Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.

Mengapa kita mengajukan dua kota untuk penyelenggaraan Asian Games?

Saya menindaklanjuti keputusan yang ditandatangani pemerintah di Incheon (Korea).  Bahwa Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Sumatera Selatan, KOI, dan Presiden OCA Sheikh Ahmad itu tanda tangan bersama. Itu yang kami kejar bahwa kita harus konsisten dengan penandatanganan di Incheon.

Apa itu sesuai dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal desentralisasi sehingga masyarakat di daerah bisa ikut menikmati Asian Games?

Betul, karena kita negara besar. Pulaunya, provinsinya, dan itu semua betul-betul merasakan bahwa kalau daerahnya ditempati multi event seperti Asian Games, pasti ada perkembangan yang luar biasa. Baik infrastruktur sampai kegembiraan dan semangat masyarakat lokal untuk berpartisipasi.

Palembang jadi tuan rumah Asian Games, LRT dibangun. Venue-nya sekarang keren. Kita punya lapangan tembak terbaik di dunia, punya wahana dayung terbaik di dunia. Semakin banyak provinsi yang jadi tuan rumah multi event, infrastruktur, orang-orangnya akan terlatih, ekonomi kreatifnya bangkit, dan tentu semakin kuat rasa nasionalisme kita.

Jadi,  keberhasilan pencak silat panen emas karena faktor tuan rumah atau kehebatan atlet kita?

Semuanya bersatu padu, atletnya keren-keren. Saya tahu persis karena lama berkomunikasi dengan atlet pencak silat. Kemudian pelatihnya yang hebat. Manajernya luar biasa, serta Ketua Umum Pak Prabowo (Subianto) terus menginspirasi para atlet.

Jack Ma (pemilik Alibaba) akan hadir di acara penutupan sekaligus untuk mengambil estafet penyelenggaraan Asian Games 2022 di Hangzhou, Tiongkok. Apa ada persiapan khusus?

Saya kira sudah disiapkan semuanya dengan baik oleh pemerintah, Inasgoc, dan KOI. Sekaligus memberitahu bahwa Jack Ma pun bisa nonton dan peduli terhadap olahraga. Ini pasti menjadi inspirasi dunia usaha, baik sektoral maupun multinasional, sehingga olahraga tidak hanya dipandang dari satu sudut saja, berprestasi atau harus menang, tapi sudah masuk ke soal industri.

Ini tidak hanya tugas pemerintah. Semuanya harus bersatu padu. Apalagi swasta, karena kita butuh bapak asuh terutama untuk pendanaannya, talent scouting, pembinaan, promosi atlet ke luar negeri, sampai memotret masa depan atlet.

(ANTARA FOTO/ INASGOC/SUNYOTO)

London butuh waktu 10 tahun untuk meyiapkan Olimpiade 2012, bahkan Tiongkok mulai dari sekarang untuk menyambut Asian Games 2022. Sedangkan persiapan Asian Games kita singkat sekali. Apa tantangan dan hambatannya?

Kedahsyatan Indonesia sesungguhnya di sini. Kita ini ambil alih tugas Vietnam yang angkat tangan menjadi tuan rumah. Mestinya Asian Games ini diselenggarakan 2019, tapi kita majukan 2018. Persiapan hanya 3,5 tahun dan kita bersyukur punya presiden yang betul-betul mengawal persiapan penyelenggara, persiapan prestasi, sampai kebutuhan anggaran yang dikawal dengan serius, teliti, dan detail. Setiap hari, setiap detik ditanyakan sampai mana progress-nya. Sehingga ini bisa berjalan dengan begitu cepat di luar dugaan. Persiapan hanya 3,5 tahun dan semua sekarang merasakan hasilnya.

Sejauh mana peran pemerintah mendukung prestasi atlet? Sebab, ada atlet yang bertanding di luar negeri menggunakan biaya sendiri, bahkan Lalu Muhammad Zohri (sprinter lari 100 meter) sebelum Asian Games tak sanggup membeli sepatu.

Siapa bilang? Saya sudah tanya ke  Zohri, soal sepatu. Dia bilang uangnya dipegang oleh kakaknya. Jadi kabar Zohri tidak bisa membeli sepatu dibantahnya sendiri. “Kalau itu berlebihan Pak,” katanya. Saya masih ada rekamannya.

Jadi pemberitaan media berlebihan soal itu?

Ya banyak hal yang dicari-cari untuk melihat kelemahan pemerintah. Padahal Zohri itu adalah siswa PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) sebelum masuk Pelatnas yang dikelola Kemenpora dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menyiapkan tempat, Kemenpora yang membiayai uang makan, uang saku, sampai seragam dari siswa PPLP itu.

Zohri salah satu siswa PPLP NTB. Karena prestasinya bagus, dia ikut beberapa perlombaan antar-PPLP, antar-sekolah yang diselenggarakan pemerintah, kemudian direkrut oleh PB PASI masuk Pelatnas. Ketika di Pelatnas pun PB PASI tentu yang membiayai, juga pemerintah. Tapi kami siapkan selama tahun anggaran 2018 kurang lebih sekitar Rp 11 miliar. Jadi sesungguhnya pemerintah tidak akan membiarkan para calon bintang dunia ini berjalan sendiri.

ANTARA FOTO/INASGOC/Andika Wahyu)

Mengapa ekspektasi masyarakat tinggi terhadap Zohri pada Asian Games ini?

Saya kira masyarakat harus teredukasi. Zohri juara dunia 100 meter di bawah umur 20. Setelah kami sambut di bandara bersama PB-PASI, Pak Bob (Hasan) juga menyampaikan bahwa beda antara kejuaraan yang ditempuh Zohri dengan Asian Games. Musuh Zohri di Asian Games itu atlet yang dari sisi kecepatan di atasnya. Jadi Asian Games untuk mengasah kemampuan Zohri, karena dia tidak disiapkan untuk Asian Games tapi setidaknya nanti Olimpiade 2020.

Ketika Zohri masuk di final (lari 100 meter Asian Games 2018), itu kegembiraan luar biasa bagi kita. Apalagi dia finish di urutan ke-6 atau 7 kalau tidak salah. Jadi bukan di paling belakang. Ini kabar menggembirakan untuk kita. Artinya Zohri adalah masa depan atletik Indonesia.

Bagaimana skema jaminan pensiun untuk para atlet?

Skema itu sudah ada, tapi lebih kuat ke depan harus ada inisiasi Undang-Undang Atlet. Biar payung hukumnya ada dan tegas. Saya berterima kasih kepada Komisi X DPR, kegalauan atlet dan harapan pemerintah betul-betul direspons. Semoga nanti 2019 sudah masuk di Prolegnas.

Pernah kita memberikan tunjangan seumur hidup Rp 15 juta per bulan kepada peraih medali emas olimpiade. Tapi kemudian ada hasil pemeriksaan yang mengatakan harus ada payung yang lebih kuat lagi.

Program pensiun itu atlet peraih medali olimpiade. Kalau Asian Games sekarang sudah ada solusinya yaitu menjadi PNS. Itu jadi bagian dari opsi atau skenario jangka panjang yang membutuhkan regulasi seperti undang-undang.

Tentu bagi atlet yang pensiun dan belum berhasil, maka perlu bantuan pengembangan kewirausahaan, bisnis, atau mungkin tempat pelatihan kebugaran. Jadi penting melatih para atlet tidak hanya teknis keolahragaan atau kepelatihan tapi juga soal kewirausahaan, manajemen keuangan, manajemen kehidupan mereka.