Retail Minimarket Masih Tumbuh 1000 Gerai Tiap Tahun

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey
Penulis: Michael Reily
Editor: Yuliawati
27/1/2019, 11.51 WIB

Penutupan gerai dan pemutusan hubungan kerja kembali mewarnai industri retail di awal Januari 2019. PT Hero Supermarket Tbk (HERO) memutuskan menutup 26 gerainya dan memecat 532 karyawan. Langkah tersebut ditempuh sebagai upaya efisiensi akibat menurunnya penjualan HERO sepanjang 2018.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Retail Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan penutupan gerai retail terkait dengan perubahan model bisnis. Saat ini industri retail yang paling berkembang jenis minimarket. “Pertumbuhan minimarket itu di atas 15% per tahun. Mereka masih bisa buka 1000 gerai per tahun,” kata Roy dalam wawancara bersama Michael Reily dan Yuliawati dari Katadata.co.id, pertengahan Januari lalu.

Industri retail saat ini pun terus mengikuti perubahan teknologi. Dari 400 anggota Aprindo yang memiliki sekitar 40.000 gerai, sebanyak 90% telah mengadopsi perdagangan lewat online.

(Baca juga: Penjualan Lesu, Hero Tutup 26 Gerai dan PHK 532 Karyawan)

Sepanjang 2018 terdapat beberapa penutupan gerai, bagaimana gambaran pertumbuhan retail 2018?

Tahun 2018 ini kami sangat mengapresiasi pemerintah karena industri retail mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Dari data yang kami himpun, pertumbuhan industri retail selama 2018 sekitar 9%-10%.

Sebelumnya, selama tiga tahun di bawah pemerintahan Jokowi, pertumbuhannya dalam kondisi yang underperform. Pada 2014 akhir hingga 2015, saat inflasi berada di angka 7%-8%, industri retail mulai redup. Bahkan, pada 2017, pertumbuhan terendah yang tidak mencapai 7%.

Apa saja faktor pendorong pertumbuhan industri retail tahun ini?

Pertama, pemerintah yang sudah menekan angka inflasi di tahun 2018 tidak lebih dari 3,2%. Kedua, pertumbuhan ekonomi 2018 mendekati 5,2%. Itu berarti pertumbuhan ekonomi masih berjalan dan tidak menurun, dan memberikan kontribusi ke seluruh industri ekonomi di Indonesia.

Ketiga, indeks keyakinan konsumen berada di angka sekitar 167 sampai akhir tahun. Di mana Indikator di atas 100 paling tidak mencerminkan tiga hal yang terjadi pada konsumen Indonesia.

Pertama, masyarakat yakin terhadap ekonomi sehingga mereka tetap berkonsumsi. Kedua, mereka yakin terhadap kondisi harga yang mereka beli telah sesuai dan tidak berlebihan. Ketiga, dari sisi pendapatan atau penghasilannya, mereka mampu untuk berbelanja. Kami melihat hal-hal ini memberikan kontribusi terhadap konsumsi retail tahun 2018.

Selama 2018 ada beberapa event yang diharapkan mendorong pertumbuhan retail, seperti Asian Games. Apakah cukup memberikan kontribusi untuk mendorong pertumbuhan retail?

Ada beberapa subsidiaries yang mendorong pertumbuhan retail. Pertama, konsistensi pemerintah dalam memberikan dana desa, sebesar Rp 60 triliun sudah tersalurkan di pertengahan tahun 2018. Kemudian rencana pemerintah untuk menaikkan dana desa hampir sekitar 20% menjadi Rp 73 triliun di tahun 2019. Itu subsidiaries yang membuat kami tetap optimis.

Kedua, adanya perhelatan besar di tahun 2018 yakni Asian Games di bulan Agustus dan IMF-World Bank di bulan November. Untuk daerah tempat penyelenggaraan event, tentu terjadi peningkatan signifikan terhadap konsumsi.

Ketiga, subsidi energi berkelanjutan. Meski harga minyak di kuartal ke 3 dan 4 ada peningkatan, subsidi masih bisa diberikan. Walaupun ada wacana subsidi dilepas karena memang cadangan devisa kita defisitnya meningkat, tahun lalu 2018 berhasil tertahan. Subsidi energi memberikan kontribusi kepada masyarakat untuk tetap konsumsi. Harga energi sangat sensitif terhadap konsumsi masyarakat.

Penutupan gerai tak terkait dengan pelemahan daya beli?

Tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelemahan daya beli, karena hanya dialami oleh 1-2 perusahaan saja kok. Kita bisa mengatakan terkait daya beli apabila hampir semua perusahaan retail mengklaim akan tutup. 

Penutupan gerai karena dua hal. Pertama, efisiensi terhadap besaran atau luasan toko, sehingga menutup toko. Mengapa harus terjadi efisiensi? Karena, beberapa luasan yang besar, dengan klasifikasi hypermarket, oleh beberapa lembaga survei baik itu AC Nielsen dan BPS, menunjukkan produktivitasnya sudah minus. Berarti, yang retail besar ini harus diefisiensikan.

Kedua, harus terjadi perubahan model bisnis seperti menyerap digital, memasukkan teknologi e-commerce, mengkolaborasikan atau mix use terhadap bisnis utama. Seperti bagaimana dalam satu area tidak hanya supermarket, namun juga tersedia kuliner dan hiburan.  Ini tuntutan zaman dan masyarakat. Konsumen sekarang ingin yang efisien, efektif, cepat, dan mudah.

Ke depannya masih akan ada penutupan gerai?

Bisa saja. Kami juga tidak tahu. Itu keputusan business to business. Aprindo tidak memaksa untuk mendapatkan informasi. Tetapi bila terjadi penutupan gerai karena disebabkan dua hal tadi, perubahan model bisnis dan efisiensi dari tipe gerai yang sudah tidak produktif.

Gerai jenis hypermarket dengan luas yang besar seperti Hypermart dan Carrefour akan mengalami penurunan?

Pasti. Penyebabnya, lifestyle masyarakat bukan lagi ke luasan gerai. Dulu pengusaha membangun hypermarket supaya masyarakat tidak perlu belanja ke mana-mana lagi. Semuanya bisa belanja di satu tempat. Makanya tersedia 40 ribu SKU, dengan luasannya besar 5 ribu-6 ribu meter persegi.

Tetapi, sekarang orang sudah malak ke mal karena macet di perjalanan. Mau keliling hypermarket juga sudah capek. Masih ada masyarakat yang berbelanja, tetapi signifikan turun.

Sementara, retail yang masih stabil adalah supermarket, karena luasannya tidak besar. Sementara yang peningkatannya masih sangat besar yakni minimarket.

Berapa besar pertumbuhan minimarket?

Pertumbuhan minimarket itu di atas 15% per tahun. Mereka masih bisa buka 1000 gerai per tahun. Bukan hanya Indomaret dan Alfamart, minimarket mana saja. Kan ada minimarket lokal yang berkembang. Contohnya di Bali ada Coco Mart yang mau go public.

Minimarket yang tumbuh besar artinya behavior masyarakat sudah berubah, mereka beli sesuai kebutuhan saja. Nah minimarket yang menyediakan.

Alasan utama juga karena faktor jarak. Misalnya di jalan mau ke kantor atau pulang kantor, tinggal menyeberang, sudah dapat cokelat atau minuman ringan. Sementara, untuk belanja besar tinggal kirim dengan transportasi online.

Ini terjadi di Jawa saja atau bagaimana?

Rata-rata hampir di seluruh wilayah Indonesia.

(Baca juga: Beralih ke Gerai Kecil, IKEA Akan Pangkas 7.500 Karyawan)

Gambaran industri retail 2019, seperti bagaimana?

Dengan ada pesta demokrasi, paling tidak ada dua pengeluaran yang meningkat. Pertama, pengeluaran pemerintah pasti meningkat untuk mendukung Pemilu. Kedua, pengeluaran rumah tangga yang dilakukan partai. Untuk kegiatan kampanye belanja sandang, makanan akan mengalami peningkatan, walaupun tidak sangat drastis.

Berikutnya, ketika pemerintah terpilih. Paling tidak 100 hari pertama akan melakukan pembenahan signifikan. Seperti kebijakan moneter dan fiskal pasti akan ditata. Misalnya inflasi mungkin bisa turun, kebijakan moneter untuk penguatan rupiah. Pasti akan dilakukan dalam semangat euforia pemerintahan yang baru. Itu akan mendorong konsumsi.

Plus, rencana program Bappenas tentang penguatan industri padat karya dan pembangunan manusia lebih fokus, supaya menyerap tenaga kerja. Bila padat karya dibuka lebar, berarti pertumbuhan industri manufaktur dan menyerap tenaga kerja. Itu pasti akan menghasilkan pendapatan masyarakat untuk konsumsi. Saya tidak bicara pasangan calon tertentu, tapi bicara tentang potensi kebijakan ekonomi.

Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan aturan pajak dalam transaksi perdagangan melalui e-commerce. Selain pajak, hal apa saja yang perlu diatur untuk menciptakan kesetaraan antara yang konvensional dan online?

Aturan pajak e-commerce ini memberikan harapan bagi peretail konvensional dalam kesamaan perlakukan. Walau nanti berjalan 1 April 2019, persiapannya sudah mulai. Kami mengapresiasi kebijakan penarikan pajak untuk e-commerce, ini juga kan memberikan kontribusi untuk peningkatan pajak 2019.

Selain pajak, hal yang harus diperhatikan mengenai aturan penjualan produk yang bersertifikat SNI. Ini ranahnya Kementerian Perdagangan melalui Badan Serifikasi Nasional.

Kami berharap ada kesamaan level playing field, sehingga produk yang diterima masyarakat yang sudah tersertifikat SNI. Ini pun dapat melindungi konsumen, sehingga tidak menerima produk yang membahayakan seperti tutup gas yang bisa meledak misalnya.

Bagaimana dengan penjualan barang di media sosial, perlu diatur juga?

Penjualan via barang media sosial ini seharusnya menjadi fokus Kementerian Keuangan. Karena transaksi media sosial, hingga saat ini belum ada yang mengukur atau memperhitungkan. Padahal transaksi sangat signifikan dan tak menggunakan sistem keuangan, misal membayar cash tanpa ada transfer atau kartu kredit. Jadi seharusnya perlu ditentukan mekanisme pembayaran pajak dan kedua perlu ada kewajiban sertifikasi SNI.

(Baca juga: Sri Mulyani Terbitkan Aturan Pajak E-commerce dan Dagang lewat Medsos)

Sebagai pihak yang terlibat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai perdagangan online atau e-commerce, bagaimana perkembangannya?

RPP mengenai transaksi e-commerce masih terus kami suarakan, sampai saat ini belum diketok. Hampir lima tahun transaksi perdagangan online hanya mengacu pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal UU ITE, tidak mendeskripsikan hak dan kewajiban secara detail soal produk yang perlu dilengkapi SNI dan mekanisme perdagangan di media sosial.

Kendala dalam pembahasan RPP tentang e-commerce apa saja?

Kendalanya adalah menentukan siapa yang akan mengeluarkan aturan ini. Bila Kemendag, ini perlu ada kaitannya dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Lantas, kemudian siapa yang akan menjadi kendali karena perlu ada tupoksi di kementerian. Ini masih dibicarakan level kementerian.

Sementara itu, suara legislatif yang mengatakan teknologi terus berkembang, maka kami tunggu teknologi sampai mapan. Itu tak bisa.

Sarannya?

Peraturan tentang e-commerce secepatnya harus diterbitkan oleh salah satu kementerian saja, tidak perlu Undang-undang tapi Peraturan Menteri. Permen kan lebih gampang diubah daripada UU. Untuk e-commerce, menurut saya lebih cocok Permen yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan.