Kami Mencetak Generasi yang Siap Menghadapi Disrupsi

Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Rektor BRI Institute Dana Saroso
Penulis: Dana Santoso Saroso
1/1/2020, 06.00 WIB

Bila membandingkan dengan Tiongkok, kita agak jauh tertinggal, walaupun di sana juga mempunyai masalah, banyak yang berkembang kemudian tak sedikit yang tumbang. Menurut Anda, bagaimana perkembangan fintech di Indonesia?

Sekarang, di industri bukan lagi bicara lokasi, size dari pabrik, kemudian jumlah distributor, karyawan, armada, dan sebagainya. Karena ada teknologi digital, maka yang dilihat seberapa besar komunitas yang bisa dikembangkan dan dibangun dari industri tersebut.

Bahasa sederhananya mungkin berapa banyak followers-nya? Indonesia adalah market yang bisa diakses oleh siapa pun, dari manapun, dengan cara cepat. Dengan jumlah penduduk yang begitu besar, potensi industri fintech juga besar. Bukan berarti bahwa harus fintech, tapi industri tertentu yang ada sentuhan fintech-nya. Pasti akan banyak pelaku dari industri luar melirik Indonesia.

Zaman dulu, kalau barang kita belum masuk Amerika jangan berharap dunia akan tahu. Tapi hari ini, mungkin tidak mesti semua dijual di Amerika untuk masuk ke seluruh dunia. Itu sebuah kesempatan dan tantangan. Sehingga kami sebagai pelaku di bidang pendidikan merasa harus bertanggung jawab. Kami punya peran dalam menyiapkan anak mudah yang sanggup menghadapi perubahan tadi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru merumuskan 15 kategori terkait fintech, yang terbaru agen laku pandai digital. Bagaimana BRI Institute mengembangkan kurikulum yang model bisnisnya terus berkembang?

Secara teori, membangun kurikulum ada dua faktor penting. Pertama, yang paling kasat mata adalah market needs. Industri bukan hanya sebagai pengundang lulusan karena tidak harus menjadi pegawai semua. Bisa saja dia penggiat bisnis. Market needs itu artinya industri membutuhkan seorang sarjana yang seperti apa? Untuk itu kami butuh kerja sama dengan Aftech dan asosisasi-asosiasi yang lain.

Kedua, technology development-nya. Kira-kira, lima hingga sepuluh tahun lagi teknologi di bidang itu akan seperti apa? Kurikulum harus dibangun berdasarkan dua faktor tadi. Untuk visi teknologi, kami menggandeng Massachusetts Institute of Technology (MIT), universitas di bidang teknologi yang terdepan. Dalam agreement signing November lalu, kami bersepakat saling sharing session. Apa yang pernah MIT lakukan di riset, kajian, studi, semua hasilnya bisa kami dapatkan.

Payung BRI Institute itu Bank BRI. Bagaimana kolaborasi dengan anak usaha atau unit bisnis BRI yang banyak, di mana posisi BRI Institute?

Bank BRI memiliki 60 divisi dan 30 lebih anak perusahaan yang bergerak di asuransi, properti, perhotelan, dan sebagainya. Kami dengan anak perusaahan sudah difasilitasi oleh Bank BRI menandatangani perjanjian dengan 24 anak perusahaan. Intinya, kami butuh partner.

Misalnya, sekitar tiga bulan lalu kami menggarap sekitar enam anak perusahaan untuk duduk sama-sama, di antaranya divisi retail dan digital. Kami, perguruan tinggi, tidak boleh membuat penelitian sendiri, asik sendiri.

Milenial dianggap sebagai generasi “instant”, ingin cepat, ingin dekat. Perguruan tinggi harus mampu menerjemahkan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka. (Katadata)
 

Termasuk dengan BRI Venture yang akan membangun startup?

Iya. BRI merupakan salah satu bank yang terdepan untuk proses digitalisasi. Ada 18 divisi yang bicara soal IT, salah satunya BRI Venture yang ingin membuat start up. Kami tanya strategi mereka, yang dibutuhkan, knowledge yang diinginkan, dan sebagainya.

Kami akan mencari talent-talent dari siswa SMA yang baru lulus untuk masuk ke dunia itu. Jadi, posisi kami di tengah. Kami yang memberikan pengetahuan, bagian akhirnya mereka yang menjahit dan menggunakan.

Ke mana arah mana pengembangan startup fintech ini? Pembiayaan atau yang lainnya?

Kami tidak masuk ke sana. Misalkan akan ada sebuah start up yang bicara invesment. Mereka akan mempekerjakan orang, membangun sebuah aplikasi, atau yang lainnya. Untuk ini, kira-kira modal apa yang harus dia punya. Apakah untuk menganalisis pertumbuhan market, pendapatan keluarga, politik, dan seterusnya untuk menganalisa data. Berarti dia butuh data analysis, mahasiswa yang tahu mengenai metematika, matriks, dan sebagainya. Itu yang kami siapkan.

Fintech berkembang begitu pesat, salah satunya untuk memperluas inklusi keuangan. BRI juga arahnya ke sana. Apakah BRI Institute turut merancang peta jalannya?

Itu sebenarnya domain Bank BRI yang terus berupaya dan cukup berhasil dalam menerapkan teknologi dari ­end to end bisnisnya. Yang bisa saya sampaikan di mana kontribusi kami dalam road map Bank BRI dan kaitannya dengan fintech, digitalisasi.

Dari banyak divisi mereka sedang menyusun level. Kalau level entry itu ada di level sekian, kami akan menyiapkan mahasiswa semester satu mata kuliah yang mendukungnya, mulai dari penugasan dan sebagainya. Jadi, kami menerjemahkan level-level tadi ke mata kuliah. Kontribusi kami ada pada road map di proses akademik.

Sebagian besar generasi sekarang milenial. Menurut Anda, apa tantangan dan solusi bagi kelompok besar ini?

Mereka adalah generasi “instant”, semua ingin cepat, ingin dekat. Tim manajemen perguruan tinggi harus mampu menerjemahkan bagaimana metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Harus memberikan variasi pembelajaran. Tantangan tidak hanya dari mahasiswa, juga dari staf pengajar. Dosen harus adaptif terhadap perkembangan karena berpengaruh dengan perilaku sehari-hari.

Nanti, kami tidak hanya mengeluarkan ijazah dan transkrip, juga suplemen yang berisi tentang softskill. Misalnya terkait kreativitas, inisiatif, keberanian mengemukakan pendapat, integritas, kedisiplinan. Pada tahun terakhir saat magang kami akan menitipkan buku rapor pada industri untuk minta tolong diisi.