Tsunami, Teguran bagi Pemerintah Benahi Sistem Peringatan Dini

Raúl Hernández Balbuena/123rf
Penulis: Safrezi Fitra
28/12/2018, 05.17 WIB

Sepanjang tahun ini, Indonesia sudah dua kali "kebobolan" bencana tsunami. Tanpa persiapan dan tanda bahaya, tsunami datang dan merenggut ribuan korban, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah pada September lalu, serta di Banten dan Lampung pekan lalu. Bencana ini menjadi teguran bagi pemerintah untuk membenahi sistem peringatan dini agar tidak terlalu banyak memakan korban.

Sabtu malam (22/12), sekitar pukul 21.30 WIB, gelombang tsunami setinggi 3 meter menghancurkan ratusan bangunan dan ribuan manusia menjadi korban di Banten dan Lampung. Bencana ini datang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan dan prediksi akan datangnya tsunami dari lembaga berwenang, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Bahkan, yang sangat disayangkan kedua lembaga ini awalnya menyatakan tidak ada tsunami di sekitar Selat Sunda tersebut. Tanpa memastikan terlebih dahulu, mereka mengatakan yang terjadi hanya gelombang air laut pasang. Ini merupakan fenomena biasa yang terjadi saat bulan purnama.

Dalam akun twitter-nya, BMKG mengatakan tidak ada gempa yang menyebabkan tsunami. "Yang terjadi di Anyer dan sekitarnya bukan tsunami, melainkan gelombang air pasang. Terlebih, malam ini ada fenomena bulan purnama," dalam keterangan resmi di akun @InfoBMKG, Sabtu malam (22/12).

(Baca: Sebagian Pengungsi di Lampung Belum Terjamah Bantuan)

Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pun menyatakan hal yang sama. Dia mengacu pada laporan BMKG bahwa tidak ada gempa besar yang dapat membangkitkan tsunami, baik gempa di sekitar Selat Sunda maupun di Samudera Hindia. Fenomena gelombang pasang ini juga tidak ada hubungannya dengan erupsi Anak Gunung Krakatau, yang terjadi sejak pagi. Erupsinya tergolong kecil dan tidak menimbulkan pengaruh kenaikan gelombang air laut.

“Jadi fenomena yang ada saat ini bukan tsunami. Tidak ada tsunami di wilayah Indonesia saat ini,” kata Sutopo dalam keterangan tertulisnya yang diunggah di akun Twitter @BNPB_Indonesia, pada Sabtu malam.

Namun, selang beberapa jam kemudian kedua lembaga ini meralat pernyataannya. Tanpa ada permintaan maaf, BMKG menghapus cuitannya. Kemudian mengeluarkan rilis baru yang menyebutkan adanya tsunami di Anyer dan Lampung. BMKG sulit memastikan tsunami tersebut karena tidak ada gempa sebelumnya.

Sutopo, meminta maaf atas adanya perubahan informasi yang disampaikan oleh BMKG sesuai analisis terbaru. Tsunami yang menghantam Kabupaten Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, dan Tanggamus itu mungkin terjadi akibat adanya kombinasi dua faktor alam, erupsi Anak Gunung Krakatau dan gelombang pasang akibat bulan purnama.

(Lihat Foto: Duka Tersisa Setelah Tsunami Menerjang Selat Sunda)

(BNPB)

Tiga bulan lalu, gempa dan tsunami juga menerjang Sulawesi Tengah. Bencana ini menewaskan 2.101 jiwa, 1.373 orang belum ditemukan, dan 4.438 orang luka-luka. Sebenarnya sinyal peringatan dini sudah menyala sebelum terjadi tsunami. Namun, BMKG mematikan sinyal tersebut karena merasa sudah aman. Beberapa saat kemudian tsunami benar-benar terjadi.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, sensor peringatan dini tsunami di Palu gagal mengirimkan sinyal. Alatnya berfungsi, tapi jaringan komunikasinya rusak karena terkena gempa. BMKG baru bisa menganalisis potensi tsunami dari sensor peringatan dini di Mamuju yang masih berfungsi.

Banyaknya korban yang terkena bencana tsunami, seharusnya bisa diantisipasi jika sistem peringatan dini berjalan dengan baik. Setidaknya, masyarakat bisa mendapatkan informasi lebih dahulu mengenai potensi tsunami yang akan terjadi di suatu wilayah, sehingga punya peluang untuk evakuasi.

Keterbatasan dana dan peralatan yang seadanya membuat sistem peringatan dini tidak maksimal. Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Tiar Prasetya mengatakan ketiadaan peringatan dini tsunami di Banten dan Lampung karena tidak ada gempa yang terjadi pada malam itu. "Memang tidak ada warning, karena secara BMKG mencatat tidak ada gempa yang terjadi malam itu", ujarnya di Jakarta, Selasa (25/12). Selama ini prediksi BMKG mengenai potensi tsunami memang mengacu pada gempa, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah.

Sebenarnya BMKG telah memiliki sistem peringatan dini tsunami, yakni InaTEWS. Sistem yang diluncurkan sejak 2009 ini menggabungkan data seismik, GPS, Buoy, dan Tide Gauge. Masalahnya, keterbatasan infrastruktur membuat tidak semua data tersebut bisa diperoleh.

(BNPB)

BMKG memiliki 263 stasiun seismik untuk mendeteksi gempa di Indonesia. Alat ini dapat mendeteksi potensi tsunami dalam 5 menit setelah adanya gempa. Karena jumlah stasiunnya cukup banyak, data dari seismograf ini menjadi andalan dalam pemantauan tsunami. Idealnya, semua data di InaTEWS bisa dimanfaatkan.

Pada dasarnya, data seismik saja belum cukup akurat dalam mendeteksi potensi tsunami. Perlu didukung data tambahan, salah satunya dari stasiun sistem pemosisian global (GPS). Alat ini bisa mengukur data pergeseran permukaan bumi yang disebabkan gempa dengan bantuan satelit. Saat ini Indonesia hanya memiliki tujuh stasiun GPS.

Data yang lebih akurat dalam mendeteksi tsunami, bisa menggunakan buoy. Alat ini bisa mendeteksi tekanan gelombang di dasar laut dengan cepat. Tinggi gelombang yang akan terhempas ke pesisir pantai, bisa terdeteksi secara akurat. Jika berpotensi tsunami, alarm peringatan dini sudah bisa diaktifkan.

Masalahnya, perangkat buoy yang ada di Indonesia sedikit, hanya 27 unit. Itupun mayoritas sumbangan dari negara lain pasca-Tsunami Aceh 2004. Jerman menyumbang 10 unit, Malaysia (1 unit), dan Amerika Serikat (2 unit). Hanya 8 unit yang dibangun sendiri oleh pemerintah. Sebanyak 22 unit diantaranya sudah tidak berfungsi sejak 2012. Hanya ada 5 unit buoy yang bukan milik Indonesia masih bisa digunakan. India (1 unit) di Aceh, Thailand (1 unit) di Laut Andaman, 2 unit milik Australia di Sumba, dan milik Amerika Serikat di Papua.

(Baca: BNPB: Tak Punya Alat Pendeteksi Tsunami, RI Andalkan Milik Negara Lain)

Pemerintah perlu mengalokasikan dana membenahinya. Harga untuk 1 unit buoy mencapai Rp 7,8 miliar. Sedangkan jika dibuat sendiri, biayanya hanya Rp 4 miliar. "Kita butuh 25 unit, sekitar Rp 100 miliar. Tidak terlalu besar untuk mengawal seluruh wilayah Indonesia. Semakin rapat jaringannya semakin baik," ujar Sutopo saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (26/12).

Selain buoy, Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan dan rawan bencana membutuhkan banyak sirine peringatan tanda bahaya tsunami. Saat ini hanya terdapat 52 sirine yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Sutopo mengatakan setidaknya butuh 1.000 unit sirine, sehingga masih kurang 948 unit lagi.

Selama ini pengadaan dan perawatan buoy menjadi kewenangan Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT). Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza pernah mengatakan pemerintah perlu mengalokasikan dana lebih, jika ingin menghidupkan kembali buoy.

Menurutnya, biaya untuk pengadaan 25 unit buoy mencapai Rp 150 miliar dan biaya perawatannya sebesar Rp 30 miliar per tahun. Artinya, anggaran yang diperlukan untuk pengelolaan buoy setara dengan 12% dari total anggaran BPPT sebesar Rp 1,47 triliun pada tahun 2017.

Jika dibandingkan dengan total belanja pemerintah pusat tahun ini sebesar Rp 1.454,5 triliun, anggaran untuk buoy hanya 0,012%. Jumlah ini tergolong sangat kecil, mengingat pentingnya memaksimalkan kemampuan deteksi dini tsunami untuk menyelamatkan nyawa banyak orang.

(Baca juga: BNPB: Pelaksanaan Masterplan Pengurangan Risiko Tsunami Terhenti 2015)

Pemerintah sepertinya telat merespons lemahnya sistem pencegahan bencana ini. Setelah tsunami di Banten dan Lampung, Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru menyadari perlu adanya pembenahan. Dia  memerintahkan BMKG untuk segera membeli alat deteksi dini tsunami.

"Saya sudah perintahkan BMKG untuk membeli alat-alat deteksi early warning system yang bisa memberikan peringatan-peringatan dini," kata Jokowi saat meninjau lokasi bencana di Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin (24/12).

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memandang tingkat kesiapsiagaan Indonesia menghadapi bencana masih rendah. Peneliti Bidang Ekologi Manusia Deny Hidayati mengatakan di tingkat daerah kepedulian bencananya tak memenuhi parameter kesiapsiagaan. Setelah terjadi bencana besar seperti tsunami Aceh, gempa di Lombok dan Palu, kepeduliannya meningkat, namun dengan mudah kembali dilupakan.

"Jadi kepedulian itu yang harusnya ditingkatkan lagi bahwa kita memang di daerah rawan bencana, kita harus siap-siap," ujar Deny saat ditemui di LIPI, Jakarta Selatan, Kamis (27/12).

(BNPB)