Potensi Merapatnya Dua Partai dan Hitungan Kekuatan Kubu Jokowi di DPR

123rf.com/Andrii Torianyk
Ilustrasi bergabungnya parpol baru ke koalisi Jokowi-Amin.
Penulis: Ameidyo Daud
6/5/2019, 20.37 WIB

Sinyal merapatnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat ke partai koalisi pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin menuai polemik. Kedua partai anggota Koalisi Adil Makmur di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ini disebut-sebut berpotensi memperkuat dukungan untuk Jokowi di Parlemen lima tahun ke depan.

Rangkaian kejadian ini bermula dari kedatangan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan ke Istana Merdeka yang diikuti pertemuannya dengan Jokowi pada 24 April lalu. Pertemuan tersebut sebenarnya terjadi usai Jokowi melantik Murad Ismail-Barnabas Orno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.

Kebetulan, PAN menjadi salah satu partai politik yang mendukung Murad dan Barnabas. Namun, Zulkifli dalam cuitannya mengaku hadir sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meski tidak secara eksplisit menyebut makna kedatangannya, Zulkifli menegaskan pentingnya menjaga persaudaraan di antara anak bangsa. 
"Merah-putih kita tetap sama,” ujar Zulkifli melalui akun twitter @ZUL_hasan beberapa hari lalu.

Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan juga memastikan partai berlambang matahari tersebut membuka kemungkinan merapat ke kubu Jokowi-Ma’ruf Amin. Namun, hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu secara internal partai. Kalau pun nanti ada suara kontra dengan kemungkinan pergantian kubu, ia menganggap hal itu wajar saja terjadi. "Nanti kami lakukan pembicaraan,” ujar Bara.

(Baca: PAN Berpeluang Besar Menyeberang ke Kubu Jokowi)

Berselang beberapa hari kemudian, giliran Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang muncul di Istana Merdeka untuk memenuhi undangan Jokowi. Keduanya menghabiskan 25 menit untuk saling bertukar pikiran sebelum Agus memberikan keterangan kepada awak media.

Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengatakan, pertemuan dengan Jokowi membahas kondisi pasca-Pemilu 2019. "Tentunya kami harus terus melakukan tukar pikiran dan saling memberikan masukan yang baik dan positif," kata AHY.

Belum selesai publik memperkirakan berbagai kemungkinan, kali ini Andi Arief menuding adanya elemen 'setan gundul' yang tidak rasional yang mendominasi koalisi pengusung Prabowo. Padahal, di dalam Koalisi Adil Makmur terdapat sejumlah parpol, seperti Gerindra, Demokrat, PAN, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), hingga Partai Berkarya.

Andi bahkan mengancam Demokrat akan memilih jalan sendiri apabila Prabowo terus-menerus disetir kelompok 'setan gundul' tersebut. "Partai Demokrat akan memilih jalan yang tidak mengkhianati rakyat," cuit Andi melalui akun Twitter @AndiArief_.

(Baca: Bertemu Jokowi, AHY: Kami Satu Semangat untuk Indonesia Makin Baik)

AHY bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Kamis (2/5). (Katadata/Michael Reily)

Sinyal merapatnya kedua parpol tersebut tidak serta-merta disambut hangat oleh anggota Koalisi Indonesia Kerja.  Politisi PDI Perjuangan Puan Maharani mengatakan, bergabungnya kedua partai ini jelas harus dibicarakan lagi dengan seluruh anggota koalisi.

Politisi partai banteng lain, yang juga Sekretaris Kabinet Pramono Anung, mengatakan sebenarnya dari perhitungan yang ada, kekuatan koalisi saat ini sudah melebihi 50% kursi yang ada di parlemen. Meski demikian, keputusan akhir soal kedua partai itu ditampung dalam koalisi atau tidak merupakan kewenangan Jokowi. "Ada tambahan atau tidak, kewenangan sepenuhnya pada Presiden terpilih," kata Pramono, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon enggan berkomentar banyak terkait pertemuan. "Terserahlah, itu bukan urusan saya. Tanya saja sama mereka," kata Fadli, jelang akhir pekan lalu di Gedung KPU.

(Baca: Kubu Prabowo Anggap Pertemuan Jokowi dan AHY Bukan Urusan Politik)

Pernah Terjadi di Era SBY

Analis Politik Exposit Strategic Arief Susanto mengatakan, struktur politik pasca-Orde Baru membutuhkan perimbangan kekuasaan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perimbangan itu membuat kesepahaman antara eksekutif dan legislatif menjadi nyaris mutlak bagi berjalannya pemerintahan. 

Dia menjelaskan, pemerintahan Jokowi yang pertama yakni 2014-2019 diwarnai beberapa guncangan. Hal ini juga terasa saat era pertama pemerintahan SBY. Alhasil, penguatan koalisi menjadi jalan tengah yang diambil ketika memenangkan Pemilihan Presiden 2009 lalu.

Saat SBY menjadi presiden di era 2004-2009, Partai Demokrat bukan menjadi partai terbesar di parlemen saat itu. Golkar lah yang menguasai DPR. Meski kedua partai itu berlawanan saat Pilpres 2009, ternyata Yudhoyono berhasil membuat partai berlambang beringin itu merapat ke Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. "Ini membuat pemerintah terpilih berusaha memperbesar koalisi di DPR agar unggul secara proporsional," kata Arif kepada Katadata

Dari data Situng KPU hingga 18.30 WIB, total perolehan suara lima partai yang berada dalam koalisi Jokowi-Amin mencapai 55,38%. Akan tetapi suara tersebut bisa saja bertambah hingga 70,62% apabila ditambah suara Demokrat (8,24%) dan PAN (7%).

Perkiraan Suara Parpol Koalisi Indonesia Kerja dari Situng KPU

PDIPGolkarNasdemPKBPPPTotal
19,98%13,39%9,76%8,08%4,17%55,38%



Meski demikian, Arif mensinyalir, kebutuhan merapat bukan hanya diperlukan koalisi Jokowi. Terbukanya kesempatan politik pada 2024 membuat banyak aktor politik baru berusaha mencari kesempatan bagi dirinya maupun partainya. "Ini yang sedang diupayakan beberapa pihak, termasuk PAN dan Demokrat," katanya.

Arif juga mengingatkan apabila kedua partai tersebut bergabung, tetap ada risiko yang akan dihadapi pemerintahan Jokowi berikutnya. Hal yang dimaksud adalah pemerintahan yang kurang efektif dalam memenuhi janji politiknya kepada masyarakat. Ini lantaran strategi akomodatif kepada banyak kelompok untuk memperkuat koalisi pemerintah. “Itu sering menjadi harga atas bertahannya kekuasaan,” kata Arief.

Kepala Staf Presiden Moeldoko menduga, Jokowi mungkin sudah memikirkan manuver politik yang bakal terjadi. Moeldoko menyatakan, ada kemungkinan reshuffle kabinet sebelum pelantikan presiden bakal terjadi. Dia menjelaskan, Jokowi-Amin juga membuka kemungkinan PAN dan Demokrat masuk ke pemerintahan 5 tahun ke depan, meski tak harus sebagai menteri.

"Negosiasi tidak hanya di kabinet, bisa saja posisi lain seperti DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)," ujar Moeldoko.

Sementara itu, Sandiaga Uno menyatakan Koalisi Adil Makmur masih solid mengawal hasil Pilpres hingga prosesinya selesai pada 22 Mei mendatang. “Bagi kita, proses ini harus kita tuntaskan sampai akhir,” kata calon wakil presiden pendamping Prabowo tersebut.

(Baca: Peluang Demokrat Gabung Kubu Jokowi, Puan: Perlu Pertimbangan Koalisi)

Reporter: Ameidyo Daud