Riuh Isu Suksesi SBY, Adu Kuat Faksi Internal Partai Demokrat

ANTARA FOTO/Moch Asim
Penulis: Ameidyo Daud
19/6/2019, 12.09 WIB

Internal Partai Demokrat tiba-tiba menghangat usai Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Mendadak, salah satu politisi senior Demokrat, Max Sopacua, melemparkan wacana suksesi kepemimpinan lewat Kongres Luar Biasa (KLB). Hal itu disampaikannya saat mendeklarasikan Gerakan Moral Penyelamat Partai Demokrat (GMPPD).

Max juga sempat menyerang tiga kader partai berlambang  bintang Mercy tersebut, yakni Wakil Sekretaris Jenderal Andi Arief dan Rachland Nashidik, serta Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Ketiganya dinilai kerap menimbulkan kegaduhan di internal partai. "Tak sesuai dengan marwah, karakter, dan jati diri Demokrat," kata Max akhir pekan lalu. 

Politisi senior lain yang bergabung dalam deklarasi GMPPD, Ahmad Mubarok, mengatakan KLB menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan Demokrat pada Pemilu 2024 mendatang. Bahkan, nama Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), disebutnya berpeluang menggantikan sang ayah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum. "Ujungnya, forum organisasi untuk pembenahan secara organisatoris," kata Mubarok yang juga salah satu pendiri Demokrat.

(Baca: BPN Prabowo-Sandi Tunggu Sikap Demokrat Tentukan Pilihan Koalisi)

Andi Arief yang diserang, lantas membalas sengit. Dalam akun Twitternya, Andi menyebut langkah Max bersama Ahmad Mubarok dan Subur Sembiring mengajak berkonflik, tidak tepat. Saat ini Demokrat sedang berduka setelah ditinggal istri SBY, Kristiani Herrawati (Ani) Yudhoyono. "Mubarok, Max Sopacua, dan Subur Sembiring tak pernah saya lihat berbuat untuk Partai Demokrat," kata Andi.

Bukan hanya itu, mantan Staf Khusus Presiden era SBY ini menyebut Mubarok dan Max coba mendorong KLB untuk mendorong posisi ketum kepada sosok semodel Gatot Nurmantyo atau Sandiaga Uno. Dia menuduh kedua koleganya merupakan makelar politik. "Menjadi makelar kerap menguntungkan, tapi Sandi Uno atau Gatot Nurmantyo bukan orang bodoh yang bisa dibohongi," ujarnya.

(Baca: Ani Yudhoyono, 'Bunga Flamboyan' yang Mengiringi Karier SBY)

Buntut cekcok ini, Dewan Kehormatan partai terpaksa mengeluarkan empat imbauan untuk dipatuhi seluruh kadernya. Anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) Amir Syamsuddin menjelaskan imbauan pertama, agar para kader tidak berbicara mengenai KLB. Kedua, kader diminta tak melakukan komunikasi apapun termasuk konferensi pers mengenai topik internal.

Ketiga, setiap kader dapat melaporkan kader lain kepada Wanhor, apabila ada perilaku yang tidak sesuai kode etik, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), hingga pakta integritas partai. Keempat, Wanhor akan memanggil semua pihak yang berkonflik untuk digali keterangannya. "Untuk sementara, saya tidak ada (penjelasan) apapun di luar itu," kata Amir.

Sedangkan Ferdinand mengatakan, Dewan Kehormatan sudah mulai bekerja untuk menyelesaikan masalah yang ada. Namun, ia mengaku tak dapat menyampaikan sejauh apa proses menetralisir masalah yang sedang dikerjakan Wanhor. "Silakan (bertanya) ke ketua Wanhor langsung," kata Ferdinand kepada katadata.co.id, Selasa (18/6).

(Baca: Silaturahmi AHY, Langkah Politik Demokrat Mendekat ke Jokowi)

Dua Faksi di Partai Demokrat

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Adi Prayitno mengatakan konflik internal Partai Demokrat merupakan wujud adanya dinamika dari dua faksi yang berkembang saat ini, yakni kelompok tua dan muda. Faksi senior diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Max Sopacua dan Ahmad Mubarok, sedangkan Andi Arief dan Rachland Nashidik mewakili kelompok yang lebih junior. "Ini memang baru pertama kali terjadi di Demokrat," kata Adi kepada katadata.co.id, Senin (17/6).

Dinamika ini disinyalir terjadi karena dua hal. Pertama, elektabilitas Partai Demokrat yang semakin anjlok hingga menyentuh angka 7,7 persen. Kedua, lantaran adanya manuver pengurus partai yang meninggalkan kubu Prabowo dan Sandiaga. Padahal, proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi belum juga usai.

"Apalagi setelah dua periode (Pemilu) malah perolehan suara Partai Demokrat terjun bebas hingga disalip Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nasdem," katanya.

Tahun Pemilu2004200920142019
Perolehan Suara7,45%20,85%10,19%7,77%

Adi juga mengatakan saat ini waktunya Demokrat untuk berkonsolidasi secara internal dalam rangka menentukan arah partai. Pilihannya ada dua, tetap menjadikan SBY sebagai simbol atau coba memberi kesempatan AHY sebagai pemimpin, agar memiliki pengalaman menyongsong 2024 mendatang. "Karena lima tahun ke depan belum bisa ditebak, banyak kepala daerah atau menteri era Jokowi yang berprestasi," kata dia.

(Baca: Pernyataan SBY dan Potensi Retak Koalisi Prabowo-Sandiaga)

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya tak sependapat dengan adanya faksi tua-muda, meski sejak dulu Demokrat memiliki kelompok-kelompok di dalamnya. Dia memprediksi dinamika ini merupakan bagian dari bargaining politik kepada SBY. Apalagi menurutnya, kubu Max serta Mubarok belakangan ini seperti tak terlihat di lingkar elit Demokrat.

"Jadi ini upaya menggeser faksi lain seperti Andi, Ferdinand, dan Rachland. Tapi kalau untuk menggoyang Pak SBY, menurut saya tidak," katanya kepada katadata.co.id, Selasa (18/6).

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) (ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN)


 

Meski demikian, momen ini merupakan titik di mana Partai Demokrat menegaskan tongkat kepemimpinan ke depan. Secara khusus ia mengatakan saat ini Demokrat perlu memilih apakah tetap menjadikan SBY dan menjadikan AHY sebagai bayang-bayang sang ayah atau memajukan AHY sebagai Ketum. Dinamika ini disebutnya wajar mengingat tahun 2024 nanti situasi politik akan lebih keras. Siapa yang menguasai partai, akan berpeluang menjadi presiden. Makanya pertarungan internal menjadi lebih keras.

(Baca: TKN Jokowi-Ma'ruf Tolak Usulan Demokrat Bubarkan Koalisi Partai)

Pengamat politik lainnya, Fahry Ali mengatakan SBY perlu berhati-hati apabila ingin meregenerasi partai dengan menjadikan AHY sebagai pimpinan. Pengalaman terdahulu, Anas Urbaningrum tanpa diduga ternyata mampu menjadi Ketum Demokrat, meski saat itu SBY dan keluarganya mendukung Andi Mallarangeng.

"Ini menunjukkan kemampuan individu di tataran tengah, mampu mendobrak skenario," kata Fahry yang pernah menjadi pengamat politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.