Penyebab listrik mati selama 5-36 jam yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta, Jawa Barat dan Banten hingga kini belum terjawab. Spekulasi muncul, mulai dari masalah pohon yang mengganggu jaringan transmisi, isu sabotase, hingga upaya efisiensi yang dilakukan PLN dengan mengabaikan keamanan sistem kelistrikan.

Akibat mati lampu yang melanda Ibu Kota, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai mendatangi Kantor Pusat PLN di Kawasan Jakarta Selatan sehari setelah insiden tersebut. Dengan geram, Jokowi menegur dan meminta penjelasan kepada para pimpinan PLN. Bahkan, Jokowi merasa PLN tidak memiliki perhitungan matang dalam operasionalnya, sehingga listrik di pusat pemerintahan bisa padam.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani menjelaskan kronologi padamnya listrik di wilayah Jawa bagian barat yang dipicu gangguan sirkuit transmisi. Namun, penyebab pastinya masih dikaji lebih mendalam.

(Baca: Listrik Separuh Jawa Padam 2 Hari, Plt Dirut PLN: Penyebabnya Kompleks)

Aliran listrik di Pulau Jawa dan Pulau Bali berasal dari timur ke barat. "Penopang jaringan backbone lewat dua transmisi, yaitu utara dan selatan, masing-masing memiliki dua sirkuit, jadi ada empat sirkuit," kata Sripeni di Jakarta, Senin (5/8).

Sistem transmisi utara membentang dari Rembang-Ungaran-Mandiraja dan selatan lewat Kediri-Kasugihan-Tasik. Masing-masing sirkuit memiliki daya kirim sebesar 500 kilovolt. Pada Minggu (4/8) pukul 11.48 WIB, sistem transmisi listrik di dua sirkuit wilayah utara mati, akibat adanya pohon sengon yang terlalu tinggi hingga mengganggu kabel transmisi. Akibatnya, seluruh arus listrik dari Ungaran di utara pindah ke Kasugihan dan Tasik di wilayah selatan.

Saat sistem transmisi utara mati, PLN tengah melakukan pemeliharaan pada satu sirkuit di selatan. Alhasil, arus listrik dari timur ke barat yang biasanya lewat empat sirkuit, jadi hanya lewat satu sirkuit. Sehingga, ada kelebihan beban dan pembangkit di wilayah barat mengalami pelepasan beban, yang mengakibatkan listrik di sebagian wilayah padam (black out).

(Baca: Listrik Mati Massal di Jawa Bukan Kali Pertama, Tahun Lalu pun Terjadi)

Masalahnya, proses antisipasi PLN lambat setelah terjadi pemadaman. Menurut Sripeni, pembangkit listrik di Saguling, Jawa Barat sebagai stabilisator darurat baru bisa memberikan arus ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya dan Balaraja, dua jam setelah kejadian. Di sisi lain, mesin pembangkit PLTU Suralaya yang dingin butuh waktu lebih dari 8 jam supaya panas dan menghasilkan uap.

Padahal, listrik dari PLTU Suralaya punya kapasitas yang dibutuhkan untuk menghidupkan pembangkit listrik di Muara Karang dan Tanjung Priok. Karena butuh waktu yang lama, kedua PLTGU di Jakarta ini lambat dihidupkan. "Baru sampai di Muara Karang dan Tanjung Priok pukul 18.00 WIB masuk secara bertahap karena harus hidup satu per satu," kata Sripeni.

(Baca: PLTU Suralaya dan Peristiwa Listrik Mati di Jawa)

PLN (Katadata)

Dugaan Kejar Untung Abaikan Keamanan

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menduga ada permasalahan lain yang menyebabkan padamnya listrik di tiga provinsi Jawa Bagian Barat, hingga ke sebagian Jawa Tengah. Gangguan transmisi bisa saja terjadi, tapi PLN seharusnya bisa mengantisipasi hal ini.

Sebenarnya, total kapasitas pembangkit yang ada di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) mencapai 13,5 ribu megawatt (MW), sedangkan kebutuhan saat puncak hanya 11 ribu MW. Artinya masih ada surplus, tanpa perlu bergantung pada kiriman listrik dari Jawa Bagian Timur. Ketika ada gangguan pasokan listrik dari timur pun seharusnya Jabotabek masih aman. Namun, yang terjadi beberapa waktu lalu tidak demikian. Listrik di wilayah ini terpaksa harus padam karena pasokan dari timur terputus.

(Baca: Pohon Sengon Picu Listrik Mati Massal, Ini Daftar Penyebab Lainnya)

Dia menduga hal ini ada kaitannya dengan upaya efisiensi yang dilakukan PLN. Apalagi, saat ini PLN memiliki utang yang cukup besar, mencapai Rp 394 triliun. Meski tercatat ada laba hampir Rp 12 triliun, tapi pemerintah masih menunggak pembayaran subsidi listrik sebesar Rp 48,1 triliun untuk 2017-2018.

Dengan kondisi keuangan yang banyak utang dan harus mengejar untung, PLN harus melakukan penghematan dalam operasinya. "Dugaan saya, ada pressure (tekanan) untuk memperbaiki keuangan PLN. Cara paling gampang mengurangi operasinal yang high cost (berbiaya besar) dan maintenance cost (biaya pemeliharaan),” kata Rizal yang pernah menjabat Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam forum ILC TVOne.

Rizal juga menjelaskan cara yang paling mudah yang bisa dilakukan PLN dalam upaya penghematan, yakni dengan mematikan pembangkit yang biayanya besar. Di Jakarta ada pembangkit yang menggunakan bahan bakar gas, seperti PLTGU Muara Karang dan Tanjung Priok. Dia menduga ada 6-7 pembangkit yang dimatikan.

(Baca: Anies Rancang Standar Operasional Darurat Pemadaman Listrik)

Pembangkit tenaga gas biayanya mencapai 12 sen dolar per kilowatt jam (kWh) atau dua kali lipat lebih mahal dibandingkan pembangkit batu bara yang hanya 6 sen dolar per kWh. Makanya, kata Rizal, pembangkit gas di barat dimatikan dan kebutuhan listriknya dipasok dari timur yang lebih murah. 

Menurutnya upaya seperti ini bisa saja dilakukan sebagai upaya efisiensi. Namun, tidak bisa semua pembangkitnya dimatikan. Karena perlu ada cadangan sebagai antisipasi jika ada gangguan dalam pengiriman listrik dari timur. Beberapa pembangkit harus tetap dinyalakan agar bisa cepat memulihkan sistem ketika ada masalah.

Sebenarnya PLN juga telah memiliki skema proteksi yang bisa menjaga sistem kelistrikan apabila terjadi hal yang tidak normal pada operasi, atau yang biasa disebut defense scheme. Skema ini bisa meminimalkan dampak akibat gangguan pada sistem, mengatasi kondisi N-1 tidak terpenuhi, dan mengantisipasi adanya kenaikan beban. "Masalahnya, apakah defense scheme ini dijalankan atau tidak?" kata sumber katadata.co.id yang pernah menjadi petinggi PLN.

Sama halnya dengan kritikan Rizal Ramli, sumber ini menyinggung pimpinan PLN sebelumnya yang dipegang oleh orang yang berlatar belakang industri keuangan. Menurutnya, PLN merupakan perusahaan yang bertugas melayani dan memastikan ketersediaan listrik seluruh masyarakat. 

Dalam operasionalnya, defense scheme memang memakan biaya yang besar. Banyak pembangkit yang harus hidup sebagai cadangan (back up). Karena butuh waktu yang lama untuk bisa menghidupkan pembangkit tersebut ketika dibutuhkan seketika.  

(Baca: Evaluasi Listrik Mati, Luhut Minta Direksi PLN Dijabat Orang Teknis)

Bagi orang yang berlatar keuangan, mungkin merasa perusahaan yang baik adalah yang operasionalnya efisien dengan kinerja keuangan yang positif. Menghidupkan pembangkit yang tidak diperlukan mungkin dianggap pemborosan. Apalagi PLN terlilit utang yang besar dan butuh dana besar untuk modal membangun infrastruktur baru di wilayah yang belum terjangkau listrik.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan pun menyadari hal ini. Menurutnya Direksi PLN seharusnya diisi oleh orang-orang yang mengerti teknis kelistrikan, bukan diisi oleh orang-orang yang hanya mengerti masalah keuangan. Dengan begitu, kondisi kelistrikan Indonesia bisa lebih kondusif. "Saya pikir peran PLN tidak hanya diisi oleh orang-orang yang mengerti masalah finance saja. Jadi harus balik lagi ke major-nya, masalah teknis kelistrikan," ujarnya dalam acara dengan tajuk 'Tea Time With Wartawan' di kantor Kementrian Kemaritiman, Jakarta, pada Senin (5/8). 

PLN Bantah Efisiensi Penyebab Listrik Padam

Sripeni membantah upaya penghematan yang dilakukan PLN telah mengabaikan keamanan sistem kelistrikan. Dalam Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne pekan lalu, dia mengatakan PLN tidak bisa sembarangan melakukan efisiensi, karena ada aturan yang tidak boleh dilanggar. Dia memastikan operasi yang dilakukan PLN sudah sesuai standar prosedur (SOP) dan aspek keamanan sistem kelistrikan.

Saat melakukan pemeliharaan, upaya mitigasi pun sudah dijalankan. Sripeni memastikan PLN telah melakukan mitigasi dengan skema n-1. Artinya, sistem kelistrikan masih bisa berjalan normal ketika satu sirkuit transmisi terganggu. Masalahnya, gangguan yang terjadi adalah n-2, gangguannya ada pada dua sirkuit transmisi.

(Baca: Infografik: Ragam Masalah Menerpa BUMN, dari Sistem Eror hingga Listrik Padam)

Meski begitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap mengkritik lemahnya sistem mitigasi PT PLN dalam mencegah terjadinya listrik mati massal. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan seharusnya PLN memiliki rencana yang sistematis dalam menanggulangi gangguan listrik agar tak meluas. "Harusnya bisa diminimalisir. Kalau plan A tidak bekerja, ada perencanaan apalagi, kenapa ini tidak bisa bekerja," kata Rida dalam konferensi pers, Senin (5/8).

PLN (Katadata)

Masalah lainnya, terkait koordinasi dan siapa yang bertanggung jawab terhadap kelistrikan Jawa-Bali. Sistem kelistrikan Jawa-Bali adalah satu kesatuan yang dikendalikan oleh Pusat Pengaturan Beban (P2B). Petugasnya merupakan tenaga terdidik dan  bersertifikat. Mantan Direktur Utama PLN Dahlan pernah mengistimewakan para petugas P2B yang dijuluki 'kopasusnya PLN'. Namun, dengan padamnya listrik kemarin, dia mempertanyakan keberadaan pasukan tersebut.

Dalam jajaran direksi PLN sekarang terbagi menjadi beberapa regional. Penanggung jawab sistem kelistrikan Jawa-Bali yang seharusnya berada dalam satu kesatuan, malah terpecah di bawah tiga direksi, yakni Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Barat, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Tengah, dan Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara.

Menurutnya, P2B itu perlu terus berkoordinasi, rapat setiap tiga bulan untuk mengevaluasi perkembangan sistem di Jawa. "Rapat-rapat P2B tidak boleh dianggap rapat biasa, yang bisa dihapus demi penghematan demi laba," kata Dahlan.

(Baca: Peristiwa Listrik Mati Terparah di Dunia Setelah Tahun 2000)