Nasib Wajah Baru Pimpinan KPK di Tangan Jokowi

Jakub Jirsak/123rf
Penulis: Safrezi Fitra
30/8/2019, 12.36 WIB

Proses pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 menuai kritik. Dalam beberapa kali penyaringan Panitia Seleksi (Pansel) masih meloloskan calon-calon yang bermasalah. Pansel juga dinilai tidak bisa menerima masukan dari masyarakat dan KPK terkait hal ini.

Mei lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan sembilan orang sebagai Pansel Capim KPK 2019-2023. Setelah itu pansel membuka pendaftaran seleksi. Dari 367 orang yang mendaftar, 192 orang di antaranya lolos dalam tahap administrasi. Kemudian disaring lagi menjadi 104 orang, 40 orang, hingga yang lolos ke tahap profile assesment sebanyak 20 orang.

Kini, Pansel hampir final melakukan seleksi. Dari 20 nama, pansel akan memilih 10 nama yang selanjutnya akan diserahkan kepada Presiden Jokowi. Masalah muncul ketika dalam serangkaian proses seleksi ini Pansel masih meloloskan nama-nama calon yang dianggap bermasalah.

(Baca: Jokowi Didesak Evaluasi Pansel KPK, Moeldoko: Tak Boleh Ikut Campur)

Sejumlah orang dan organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Capim KPK mengkritisi proses seleksi yang dilakukan pansel. Koalisi yang berisi berbagai lembaga antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai banyak masalah dalam proses pemilihan pimpinan KPK. 

Koalisi pun melayangkan petisi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hingga tulisan ini dibuat, petisi itu telah ditandatangani sebanyak 71.327 orang. "Presiden Joko Widodo segera perintahkan Pansel KPK untuk tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang terbukti tidak berkualitas maupun berintegritas," seperti dikutip dalam petisi di laman change.org, Jumat (30/8).

Para mantan pimpinan KPK juga mengatakan ada upaya melemahkan KPK melalui proses pemilihan pimpinan lembaga antirasuah tersebut. Mereka meminta Presiden Jokowi tidak meloloskan Capim yang bermasalah. Ini disampaikan oleh mantan pimpinan KPK Busyro Muqodas, Abraham Samad, Muhammad Yasin dan Bambang Widjojanto.

(Baca: Proses Seleksi Pimpinan KPK Mengandung Enam Masalah)

Mereka menilai Pansel belum mampu mengakomodasi masukan dari masyarakat dalam proses pemilihan Capim KPK. "Komitmen Pansel dalam memilih 10 Capim KPK itu masih banyak yang meragukan,” kata Busyro.

Beberapa Kandidat Capim KPK Diduga Bermasalah

Anggota Koalisi dari Indonesia Corruption watch Kurnia Ramadhana mengatakan Pansel tidak mempertimbangkan isu rekam jejak para kandidat yang diseleksi. Menurutnya, apabila calon-calon dengan rekam jejak bermasalah bisa lolos, berarti Pansel KPK berperan dalam pelemahan pemberantasan korupsi. "Ada beberapa nama yang dinyatakan lolos seleksi mempunyai catatan kelam pada masa lalu," ujarnya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga mengatakan terdapat sejumlah capim yang memiliki rekam jejak yang tidak cukup baik. Misalnya, dugaan penerimaan gratifikasi, ketidakpatuhan menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dugaan pelanggaran etik saat bekerja di KPK, hingga dugaan perbuatan yang menghambat kerja KPK.

"(Capim yang) tidak pernah melaporkan LHKPN sebanyak dua orang yang merupakan pegawai dari unsur Polri dan Karyawan BUMN," kata Febri, Jumat (23/8).

(Baca: Calon Pimpinan KPK Kritik Operasi Tangkap Tangan, ICW: Calon Tak Paham)

Berdasarkan penulusuran pemberitaan media, tiga dari 20 nama calon mirip dengan catatan yang disampaikan Febri. Antam Novambar pernah diduga mengancam bekas Direktur Penindakan KPK Kombes Endang Tarsa. Saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri pernah diduga bertemu terperiksa kasus korupsi. Sementara M. Jasman Panjaitan, bekas jaksa yang diduga menerima uang dari terdakwa pembalakan hutan D.L. Sitorus.

Dugaan-dugaan ini pun ditanyakan oleh Pansel ke Antam dan Firli saat seleksi terakhir. Namun, mereka membantah. Sementara terkait pelaporan LHKPN, Ketua Pansel Yenti Garnasih pernah mengatakan komitmen menyerahkan LHKPN baru akan ditagih kepada capim KPK yang sudah terpilih nanti. Alasannya, selama ini tidak ada sanksi tegas terhadap pelaporan LHKPN dan tidak semua calon yang diseleksi merupakan penyelenggara negara.

(Baca: Antam Novambar, dari Bareskrim Menuju Kursi Pimpinan KPK)

KPK Sudah Berikan data Rekam Jejak Capim

Febri mengatakan sebenarnya KPK telah memberikan data rekam jejak Capim kepada Pansel saat seleksi Capim masih 40 orang. Data ini sudah didukung dengan fakta yang memadai dan memiliki nilai kebenaran. Namun, tetap saja Pansel meloloskan nama-nama Capim yang diduga bermasalah. KPK pun berinisiatif mengundang Pansel untuk bertemu dan dan mendiskusikan data dan fakta pendukung terkait rekam jejak para Capim.

"Hari ini, KPK sudah sampaikan soft copy surat ke sekretariat Panitia Seleksi, sebagai undangan untuk melihat bukti-bukti yang ada terkait data rekam jejak yang disampaikan Jumat kemarin," kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (28/8).

Namun, undangan ini ternyata tidak mendapat sambutan dari Pansel. Ketua Pansel Yenti Garnasih memastikan tidak dapat menghadiri undangan yang rencananya digelar Jumat (30/8). "Pansel tidak bisa datang karena pansel ada agenda yang telah diatur dan waktunya mepet," ujarnya di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (29/8). Pansel pun sudah memberikan konfirmasi ketidakhadirannya kepada KPK.

(Baca: Pansel Sebut Cari Komisioner KPK yang Tahan Tekanan)

Cicak VS Buaya Kembali Terulang

Di tengah kritikan terhadap seleksi Capim KPK, tiga orang di antara yang cukup vokal malah dilaporkan ke polisi. Jubir KPK Febri Diansyah, Ketua YLBHI Asfinawati, dan Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan penyebaran berita bohong.

Ketiganya dilaporkan telah menyebarkan berita bohong dalam kurun waktu Mei-Agustus 2019. Ada pun yang menjadi korban ialah Pemuda Kawal KPK dan Masyarakat DKI Jakarta. Pelapornya bernama Agung Zulianto yang mengaku sebagai mahasiswa dan bertempat tinggal di Jakarta Selatan.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan laporan tersebut merupakan serangan balik dari pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuannya untuk mengamankan Pansel dan beberapa calon pimpinan KPK dari kritik masyarakat sipil. "Pasalnya, YLBHI, ICW, dan Koalisi masyarakat sipil lainnya sejak bulan April 2019 telah mengawal seleksi pemilihan calon pimpinan KPK," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (28/8).

(Baca: Dilaporkan ke Polisi, Koordinator ICW Tetap Awasi Seleksi Capim KPK)

Koalisi menemukan indikasi sejak proses penunjukan Pansel dan proses seleksi calon pimpinan adalah bagian dari upaya pelemahan sangat serius terhadap KPK. Kritikan ini kemudian dilawan dengan upaya kriminalisasi. Menurut Donal kasus ini seperti kejadian yang pernah terulang beberapa tahun lalu, pertarungan antara kepolisian dan KPK, atau Cicak VS Buaya.

Setidaknya ada empat indikator bahwa laporan pidana tersebut merupakan suatu bentuk serangan balik untuk melemahkan KPK.  Pertama, laporan dilakukan terkait kritik terhadap Pansel dan beberapa Capim KPK.Kedua, laporan pidana baru dilakukan terhadap peristiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Ketiga, laporan pidana tidak jelas dan sangat kabur. Keempat, Laporan Pidana tersebut mengada-ada, tidak berdasarkan fakta dan tidak memiliki bukti-bukti yang cukup.

Beberapa Pansel juga Diduga Bermasalah

Koalisi Kawal Capim KPK juga mempermasalahkan tiga dari sembilan Pansel yang ditetapkan Jokowi, yakni Hendardi, Indriyanto Seno Adji, termasuk Ketua Pansel Yenti Garnasih. Mereka dituding memiliki konflik kepentingan.

Yenti disebut menjabat sebagai tenaga ahli Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Bareskrim Polri, BNN, dan Kemenkumham. Perempuan berusia 60 tahun itu memang sebagai ahli hukum, khususnya soal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bahkan dia disebut sebagai doktor TPPU pertama di Indonesia. Jabatannya sebagai tim pansel ini merupakan kali kedua, setelah 2015.

Hendardi masih berstatus sebagai penasihat ahli kapolri sejak masa kepemimpinan Jenderal Badrodin Haiti. Saat ini dia juga masih aktif sebagai penasihat Kapolri Jenderal Tito Karnavian di bidang HAM. Hendardi juga sempat bergabung sebagai anggota pakar tim gabungan kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan bentukan Tito sejak awal 2019. Kinerja tim gabungan ini juga sempat dikritik karena dianggap tak independen.

(Baca: LSM dan Perguruan Tinggi Desak Jokowi Evaluasi Pansel Pimpinan KPK)

Sementara, Indriyanto dikenal sebagai ahli hukum pidana yang sejak lama telah berhubungan dengan KPK. Pada 2015, Indriyanto pernah ditunjuk Presiden Jokowi sebagai salah satu Pelaksana Tugas pimpinan KPK bersama Taufiqurachman Ruki dan Johan Budi.

Indriyanto beberapa kali diminta KPK menjadi ahli dalam sejumlah kajian, salah satunya keabsahan pansus angket DPR yang menjadi polemik pada 2017. Serupa Yenti, ia juga pernah menjadi tim pansel capim KPK pada periode sebelumnya.  Sebelumnya, dia pernah tercatat sebagai pengacara Presiden RI kedua Soeharto dalam gugatan terhadap majalah Time Asia edisi 24 Mei 1999.

Di luar kritikan, perdebatan, hingga permasalahan hukum yang muncul, Pansel tetap terus melakukan tugasnya menyeleksi Capim KPK. Kini, proses seleksi di Pansel sudah hampir selesai. Rencananya, Pansel Capim KPK akan memilih ‎10 nama yang lolos seleksi Wawancara dan Uji Publik pada hari ini (30/8).

Sepuluh nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk diumumkan kepada masyarakat, dan selanjutnya diserahkan kepada DPR RI untuk dilaksanakan fit and proper test. Dari 10 nama tersebut, DPR RI akan memilih lima di antaranya sebagai pimpinan KPK masa jabatan 2019-2023.