Bukan Bahan Pokok, Bisakah Pemerintah Atur Stok dan Harga Masker?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Warga menggunakan masker di Pasar Pramuka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Harga masker melonjak setelah virus corona merebak.
Penulis: Pingit Aria
5/3/2020, 18.00 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memiliki mekanisme kontrol Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk bahan pokok seperti beras, gula dan minyak goreng. Produsen dan distributor, termasuk pedagang retail yang kedapatan memainkan stok dan harga barang kebutuhan sehari-hari tersebut dapat dikenai sanksi hukum.

Begitu pula Kementerian Kesehatan menetapkan HET obat-obatan. Tetapi, bagaimana dengan alat kesehatan, termasuk masker?

Di tengah merebaknya infeksi virus corona di berbagai negara, masyarakat mulai membeli masker kesehatan untuk melindungi diri. Ditemukannya dua pasien positif virus corona di Depok beberapa hari lalu membuat permintaan masker semakin tinggi.

Ada dugaan penimbunan, sebab masker semakin sulit ditemukan di berbagai apotek dan gerai retail. Kalaupun ada, harganya naik berkali lipat.

(Baca: Bukalapak hingga Tokopedia Respons Marak Penjualan Masker Bekas)

Di berbagai marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Lazada harga masker N95 harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kotak. Begitu pula harga tiap kotak masker biasa yang normalnya hanya belasan ribu rupiah kini menjadi ratusan ribu rupiah.

Stok Masker Cukup

Dugaan kecurangan itu muncul, sebab Indonesia sejatinya tak kekurangan masker. “Dari informasi yang saya terima, stok masker yang di dalam negeri kurang lebih ada 50 juta," kata Presiden Joko Widodo saat memberikan keterangan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (3/3).

Bagaimanapun, Jokowi tak menampik ada kekurangan masker jenis tertentu. "Memang pada masker-masker tertentu itu yang barangnya langka," katanya.

Sekadar informasi, meski sebagian telah diproduksi di dalam negeri, saat ini Indonesia juga masih mengandalkan pasokan masker impor.

Selain itu, Jokowi juga memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Aziz untuk menangkap pelaku penimbunan masker. Menurutnya, pihak-pihak yang menahan stok masker untuk menjualnya kembali dengan harga tinggi sangat merugikan masyarakat.

"Ini hati-hati, perlu saya peringatkan," katanya.

Tidak Ada Batasan Harga

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui bahwa saat ini pemerintah belum memiliki instrumen untuk mengatur harga masker. “Kami tidak bisa batasi, kami belum berikan pembatasan,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto.

Menurutnya, yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah menjaga keberadaan stok masker. Saat pasokan stok di pasaran melimpah, harga masker diharapkan akan turun.

(Baca: Asuransi Kesehatan Tanggung Biaya Virus Corona Selama Belum Pandemik)

Untuk diketahui, peralatan kesehatan termasuk masker memenuhi standar medis yang ketat. Karena itu, setiap produsen, distributor hingga importir alat kesehatan harus memiliki izin dari Kementerian Kesehatan.

Saat ini, jumlah produsen alat kesehatan yang memproduksi masker yang terdaftar di Kementerian Kesehatan ada 28 perusahaan. Selain itu, ada 55 distributor dan 22 importir masker yang terdaftar. Semuanya memiliki mekanisme pelaporan stok dan distribusi yang jelas.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga saat ini belum menemukan kecurangan pada pelaku bisnis skala besar ini. Komisioner KPPU Guntur Saragih menyatakan, timnya telah meneliti struktur pasar masker di Indonesia.

Kimia Farma Batasi Pembelian Masker (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Hasilnya, tidak ada perusahaan tertentu yang mendominasi pasar, sehingga monopoli atau kartel akan sulit dilakukan. “Kami sudah panggil stakeholder dan kami lihat memang tidak ada kenaikan harga yang signifikan di tingkat produsen dan distributor di level atas," katanya.

Bagaimanapun, kecurangan, termasuk penimbunan masker mungkin saja terjadi pada tingkatan di bawahnya.

Tindakan Polisi

Polisi setidaknya telah dua kali menangkap penjahat terkait perdagangan masker. Yang pertama, polisi menggerebek pabrik masker ilegal di Kawasan Pergudangan Central Cakung Blok i No.11 Jalan Raya Cakung Cilincing kilometer 3, Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.

"Ini hasil perhitungan kasar, mereka bisa mendapat keuntungan Rp 200-250 juta dalam satu hari," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Jumat (28/2) lalu.

(Baca: Virus Corona Mewabah, Mendag Minta Produsen Tak Ekspor Masker)

Dalam penggerebekan itu, polisi menyita sejumlah barang bukti seperti 30 ribu kotak masker siap edar serta mesin dan bahan baku pembuat masker. Polisi juga menangkap 10 karyawan pabrik tersebut.

Kemudian, pada Selasa (3/3), polisi juga menemukan satu lagi tempat penimbunan masker. Kali ini, lokasi penimbunan berada di gudang PT MJP Cargo No 88, Jalan Marsekal Surya Darma, Neglasari, Tangerang.

Polisi menemukan ratusan ribu masker kesehatan ilegal menumpuk di Gudang tersebut. "Ada dugaan tindak pidana penimbunan alat kesehatan berupa masker kesehatan atau memperdagangkan alat kesehatan berupa masker tanpa izin edar," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Iwan Kurniawan.

Dalam gudang tersebut, polisi menemukan masker berbagai merek. Di antaranya, ada 180 karton yang berisi 360 ribu masker merek Remedi, 107 karton berisi 214.000 masker merk Volca, dan Well Best. Polisi juga menangkap 2 orang pemiliknya.

Dalam beberapa hari, penangkapan serupa juga dilakukan di berbagai daerah lain. Di antaranya, Makassar, Sulawesi Selatan, dan Semarang, Jawa tengah. Total, hingga Kamis (5/3) hari ini, sudah ada 30 penimbun masker di berbagai daerah yang ditangkap polisi.

(Baca: Tangkap 30 Penimbun, Polisi Sita 61 Ribu Lembar Masker)

Pasal Penimbunan

Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan, pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan.

Pelanggaran atas ketentuan tersebut diatur dalam pasal 107 yang berisi ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun, dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 miliar.

Masalahnya, apakah masker termasuk barang kebutuhan pokok atau barang penting? Dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 71 tahun 2015, masker tidak termasuk dalam kategori tersebut.

(Baca: Polisi Jerat Penimbun Masker dengan UU Perdagangan, Dendanya Rp 50 M)

Dalam Perpres yang menjadi turunan dari Undang-Undang Perdagangan tersebut disebutkan bahwa barang kebutuhan pokok meliputi:

  1. Hasil pertanian: beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabai, dan bawang merah;
  2. Hasil industri: gula, minyak goreng, dan tepung terigu;
  3. Hasil peternakan dan perikanan: daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang).
  4. Barang Penting meliputi: benih (padi, jagung, dan kedelai); pupuk; gas elpiji 3 kilogram; triplek; semen; besi baja konstruksi; dan baja ringan.

Masker memang tak disebut secara tersurat. Bagaimanapun, Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan, tafsir pasal 29 tentang penimbunan dalam Undang-Undang Perdagangan dapat diperluas.

“Pada diksi ‘barang penting, menurut saya bisa lebih luas, tidak terbatas, sepanjang itu menjadi komoditas yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya, Rabu (4/3).

Maka, dalam konteks adanya infeksi virus corona, saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga yang berlawanan dengan kepentingan umum, masker adalah ‘barang penting’. Menurutnya, saat terjadi lonjakan permintaan akibat wabah, maka kenaikan harga yang irasional itu menjadi pidana.

“Secara yuridis sudah memenuhi unsurnya. Itu kan namanya pemerasan publik,” katanya.

Reporter: Antara, Dimas Jarot Bayu