Pembatalan Aturan Pajak E-Commerce

Stanisic Vladimir/123rf
Penulis: Metta Dharmasaputra.
Editor: Redaksi
1/4/2019, 22.52 WIB

Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (29/3) lalu, menarik kembali Peraturan Menteri Keuangan tentang aturan perpajakan e-commerce sungguh mengejutkan. Meski, sehari sebelumnya sudah beredar kabar akan ada pengumuman penting dari pemegang otoritas fiskal ini.

Desas-desus yang sempat bertiup saat itu, Sri Mulyani kemungkinan hanya akan menunda implementasi aturan ini. Itu pun hanya beberapa bulan, agar ada waktu untuk mengkajinya lebih jauh dan menyempurnakannya.

Seperti dinyatakan dalam siaran pers Kementerian Keuangan, penarikan ini didasari pertimbangan masih perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar kementerian/lembaga.

Koordinasi dibutuhkan agar pengaturan e-commerce tepat sasaran, berkeadilan, efisien serta mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Selain itu, masih diperlukan adanya sosialisasi dan komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan. Plus mempersiapkan infrastruktur pelaporan data e-commerce.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) dikeluarkan pada 31 Desember lalu. Rencananya, akan berlaku efektif pada 1 April 2019.

Dikeluarkannya aturan ini, tak lepas dari desakan pelaku bisnis konvensional yang menuntut adanya perlakuan setara dalam hal perpajakan untuk pelaku bisnis digital. Mereka merasa keberlangsungan usahanya terancam, karena transaksi yang dilakukan melalui platform digital tidak terjangkau aturan perpajakan.

Atas dasar menciptakan kesetaraan inilah PMK itu dikeluarkan. Di dalamnya mengatur soal kewajian para pedagang (seller) yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau beromzet Rp 4,8 miliar setahun untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dari pembeli (buyer). Mereka juga wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN 10 persen kepada pembeli.

Adapun untuk pedagang yang belum berstatus PKP, tidak diwajibkan memungut PPN dari pembeli. Namun, diwajibkan menyetor Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mereka kepada penyedia platform marketplace, seperti halnya Tokopedia, Bukalapak atau Shopee.

Melalui kewajiban penyerahan NPWP dan NIK ini, pemerintah berharap akan terjadi perluasan basis wajib pajak. Persoalannya, aturan baru ini belum memuat mekanisme yang efektif untuk menjangkau media sosial. Padahal, sebagian besar transaksi e-commerce dilakukan via media sosial, seperti facebook, instagram, whatsapp dan lainnya.

Hasil survei PayPal terhadap 4.000 konsumen dan 1.400 merchant di tujuh negara Asia (Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina) pada 2017 menunjukkan, media sosial merupakan platform yang paling banyak digunakan dalam transaksi e-commerce: mencapai 80 persen.

Menurut survei tersebut, porsi penggunaan media sosial dalam transaksi e-commerce di Indonesia pun mencapai 80 persen. Facebook merupakan media sosial yang paling banyak digunakan (92 persen).

Indikasi serupa didapat dari Survei Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Bahkan hanya 16 persen porsi untuk platform marketplace.

Kajian Katadata Insights Center (KIC) mencatat ada sejumlah persoalan yang akan muncul jika aturan ini dipaksakan berlaku saat ini. Pertama, menciptakan ketidaksetaraan  lahan usaha (unequal playing field) antara platform marketplace dan media sosial.

Jika tak hati-hati, adanya berbagai persyaratan di marketplace, bahkan bisa mengancam keberlangsungan perusahaan lapak digital yang sedang tumbuh. Ini dikarenakan, akan terjadi perpindahan massal para penjual dari marketplace ke media sosial. Pemerintah pun tentu akan semakin sulit jadinya untuk menjangkau para wajib pajak.

Kedua, perlu juga diantisipasi, penyerahan NPWP dan NIK bagi para seller yang kebanyakan para pelaku usaha mikro, akan mempengaruhi minat masyarakat untuk memulai usaha baru.

Survei PayPal menunjukkan, sekitar 9 persen pelaku usaha transaksi digital bahkan berusia di bawah 20 tahun, masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Mayoritas pelaku usaha ini tidak pernah memiliki NPWP. Karena itu, dibutuhkan waktu yang cukup untuk sosialisasi dan edukasi kepada para pelaku usaha pemula ini.

Survei idEA terhadap sekitar 2.000 UMKM di 10 kota di Indonesia pada 2017 juga menunjukkan, ada 10 persen penjual dari kalangan UMKM yang belum pernah berusaha sebelumnya. Mereka baru mulai mencoba-coba berbisnis kecil-kecilan dengan menjual barang secara online di marketplace.

Menjaga keberlangsungan para UMKM ini tentu saja sangat penting, mengingat  kini diperkirakan terdapat sekitar 10 juta penjual aktif yang bertransaksi via e-commerce. Sebagian besar di antaranya bahkan merupakan pengusaha mikro dengan pendapatan kurang dari Rp 300 juta tiap tahun.

Keberadaan mereka seiring dengan perkembangan pesat transaksi e-commerce di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, dan diperkirakan akan terus membesar. Studi McKinsey menyebutkan, nilai barang yang diperjualbelikan (gross merchandise value) sudah mencapai US$ 8 miliar pada 2017, dan diperkirakan akan meningkat delapan kali lipat pada 2022 menjadi US$ 55-65 miliar.

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memang merupakan negara dengan nilai ekonomi digital terbesar dan bertumbuh paling pesat. Berdasarkan riset Google-Temasek, nilai ekonomi digital Indonesia yang mencapai US$ 27 miliar pada 2018, diperkirakan akan melesat hingga US$ 100 miliar (sekitar Rp1.440 triliun) pada 2022.

Melihat besarnya potensi ini, Presiden Joko Widodo pada  21 Juli 2017 telah meneken Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE)/Road Map e-Commerce Tahun 2017-2019.

Perpres itu mengamanatkan perlunya upaya mendorong percepatan dan pengembangan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik (e-commerce), usaha pemula (startup), pengembangan usaha, dan percepatan logistik.

Dalam kaitan itu, keputusan Sri Mulyani untuk menarik PMK 210/2018 sebuah langkah tepat yang patut diapresiasi.

Diperlukan kehati-hatian dan waktu yang cukup untuk melakukan kajian secara lebih mendalam, sembari menyiapkan sistem/regulasi perpajakan yang tepat dan adil bagi semua platform e-commerce. Dengan begitu, diharapkan industri e-commerce Indonesia dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan.

Langkah ini pun sekaligus menegaskan kembali sikap Sri Mulyani, seperti dinyatakan dalam pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF di Bali akhir tahun lalu, bahwa pemerintah akan mendorong tumbuh kembangnya industri digital, yang menjadi masa depan ekonomi Indonesia.

Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.