Aspek Geostrategis Kemaritiman Kawasan Perbatasan di Natuna - Arafuru

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Pergerakan Kapal Perang Republik (KRI) Teuku Umar-385 menghalau kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).
Penulis: Sampe L. Purba
8/2/2020, 06.05 WIB

Perbatasan laut merupakan kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi penting dari aspek geoekonomi, geostrategis, dan geopolitik. Dalam teori lebensraum, negara dipandang sebagai organisme yang  memerlukan ruang hidup (lebensraum) untuk dapat berkembang. Karena itu perbatasan negara harus diperkuat agar tidak didesak dan terdesak oleh kepentingan geopolitik dan geostrategis negara lain.

Mengelola kawasan perbatasan laut harus terpadu, komprehensif, holistik, dan terintegrasi dalam aspek regulasi, kelembagaan, dan pengusahaan. Dari aspek regulasi, beberapa undang-undang telah dikeluarkan seperti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982).

Sedangkan dari aspek kelembagaan telah dibentuk  Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Keanggotaannya lintas fungsi dan lebih bersifat koordinatif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2017.

Visi kemaritiman Indonesia yang dirintis Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dipertajam dan diperluas oleh Presiden Joko Widodo. Misalnya, melalui pembentukan satu Menteri Koordinator yang menjadi dirigen mengharmonikan kebijakan pemanfaatan sumber daya kelautan, perhubungan, dan keenergian.

Geostrategi adalah formulasi dan implementasi kebijakan strategis negara yang mempertimbangkan proyeksi, prediksi, estimasi, dan preskripsi konstelasi dinamika dan dialektika hubungan internasional berdasarkan letak wilayah geografis. Tulisan ini hendak memotret aspek geostrategis di empat kawasan perbatasan laut.

Pertama, Aceh bagian utara.

Indonesia berbatasan dengan laut Andaman (Pulau-pulau Nicobar India) terus ke  arah perbatasan Thailand dan Selat Malaka. Indonesia, India, dan Thailand telah menyetujui titik pertemuan tiga garis batas di laut Andaman. Disahkan Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978. Masih ada sedikit lagi yang perlu dirundingkan di beberapa garis batas landas kontinen antara India dan Indonesia.

India sebagai Negara nuklir superpower di kawasan Asia Selatan berkepentingan mengamankan jalur laut Andaman Nicobar – Selat Malaka hingga ke laut Tiongkok Timur. Hal ini krusial untuk mengimbangi Cina yang mencoba memperluas jangkauan pengaruhnya ke Asia, Timur Tengah, hingga ke Afrika.

Cina sangat bergairah dengan megaproyek genting Kra di perbatasan sempit antara Thailand dan Myanmar. Apabila terusan ini terealisasi, jalur perniagaan komoditas dan energi antara Afrika, Timur Tengah, dan Asia Timur akan terhemat 1.200 kilometer atau 72 jam pelayaran. Hal ini merupakan game changer yang mengancam posisi strategis Singapura sebagai hub atau simpul saat ini di ujung Selat Malaka.

Terdapat empat wilayah kerja migas di kawasan ini, namun mayoritas masih dalam tahap eksplorasi dengan kegiatan yang belum masif. Sementara potensi sumber daya yang dapat diambil (recoverable resources) diperkirakan sangat besar terutama gas.

Pelabuhan Sabang yang merupakan pelabuhan laut dalam yang tenang dan tertutup di pulau Weh laut Andaman ujung Aceh seyogianya ditingkatkan kapasitas dan perannya. Pulau tersebut merupakan titik luar kemaritiman strategis. Dapat dipermodern dan dipersiapkan seperti pangkalan logistik pengisian air dan singgah kapal, mendukung operasi migas, maupun mengantisipasi perkembangan geopolitik di kawasan.

Kedua, Laut Natuna Utara.

Persetujuan perbatasan maritim yang meliputi landas kontinen, laut territorial, hingga zona ekonomi eksklusif dengan negara tetangga dan masyarakat internasional belum seluruhnya tuntas. Indonesia dan Malaysia telah menandatangani penetapan garis batas landas kontinen pada November 1969. Persetujuan penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dan Vietnam ditandatangani pada Juni 2013. Peta wilayah yurisdiksi NKRI yang dikeluarkan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL menunjukkan bahwa garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan Vietnam maupun Malaysia di perbatasan laut Natuna masih banyak memerlukan kesepakatan.

Dalam ZEE – sesuai namanya – hak berdaulat suatu negara adalah terbatas dan eksklusif terhadap hak-hak ekonomi, seperti eksplorasi sumber daya kelautan, atau migas di bawah laut. Negara-negara lain, bahkan termasuk negara yang tidak memiliki batas laut (land locked states) memiliki akses tertentu terhadap ZEE seperti hak kapal lintas damai dan terbang di angkasa atasnya, meletakkan kabel dan pipa bawah laut, dengan memperhatikan (shall have due regards) hak-hak negara lainnya.

OPERASI SIAGA TEMPUR LAUT NATUNA 2020 (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Menurut Konvensi Hukum Laut, dalam hal terdapat perselisihan di ZEE penyelesaiannya bukan berdasarkan yurisdiksi dan kaca mata hukum negara pemilik jurisdiksi ZEE melainkan atas asas kesamaan kepentingan (equity). Hal ini dengan mempertimbangkan hal-hal relevan lainnya bagi para pihak yang bersengketa dan kepada komunitas internasional secara keseluruhan.

Patut dicermati dalam Konvensi Hukum Laut bahwa yang mengatur ZEE ada di Bab V yang template-nya merupakan hak berdaulat negara pantai (coastal states), dan pembatasan hak-hak tersebut terhadap negara lain. Sedangkan hak negara kepulauan ditempatkan di Bab IV yang template-nya termasuk mengatur hak-hak negara lain di perairan dalam negara kepulauan (seperti hak navigasi lintas damai dan terbang, di jalur yang ditetapkan). Malaysia, Vietnam, Thailand, dan RRC adalah Negara Pantai, sementara Indonesia adalah Negara Kepulauan.

Mengingat longgarnya pengaturan hak-hak ini, adalah sangat penting satu negara yang memiliki yurisdiksi ZEE seperti Indonesia membuktikan ke komunitas internasional kemampuan penguasaan dan pengusahaan efektif ZEE. Termasuk dalam hal ini mempertahankan dan menegakkan hak-hak atasnya. Tidak memadai kalau kapal patroli atau pesawat terbang hanya sekadar berputar-putar mengedarinya.

(Baca: Sengketa Natuna, Ahli IT Peringatkan Risiko Serangan Siber Tiongkok)

Kalau melihat peta, luas ZEE Indonesia di laut Natuna Utara hampir sama dengan semenanjung Malaysia. Pertanyaannya, apakah selama ini Indonesia secara efektif telah mengusahai kawasan yang kaya ikan tersebut? Apakah kita telah memberdayakan para nelayan dengan memfasilitasi dengan kapal kapal besar yang memiliki daya jelajah beroperasi jauh ke laut lepas. Atau menyediakan alat tangkap ikan yang disesuaikan dengan lapangan laut luas. Menyediakan dukungan fasilitas seperti cold storage untuk ikan tangkapan, pangkalan BBM yang cukup, galangan perbaikan kapal, bantuan alat navigasi, dan jaminan keamanan di laut.

Apakah merupakan pilihan cerdas megaphone diplomacy yang mengedepankan publikasi pemberitaan mobilisasi alutsista ke sana? Bukankah lebih efektif operasi senyap namun nyata, seperti pemberdayaan nelayan dengan kemampuan bela negara, termasuk peralatan tangkap ikannya yang unggul, dan pengusahaan sumber daya alam secara berkelanjutan di seluruh kawasan yang luas tersebut.

Foto-foto kapal nelayan Cina dan kapal pengawal pantai (coast guard) yang mengiringinya sepintas menunjukkan kesiapan mereka bertarung damai atau intimidatif di laut bebas. Adakah kapal-kapalnya itu merupakan konversi dari kapal-kapal perang taktis, serta nelayannya merupakan proxy dan komponen pendukung militernya. Semoga intelijen kita telah melakukan asesmen sampai ke situ.

(Baca: Natuna: Heroisme Sporadis versus Pengurusan Efektif)

Dalam buku China’s military modernization, Japan’s Normalization and the South China Sea Territorial Disputes (Garcia, 2019) menunjukkan kompleksitas kawasan itu yang berdimensi luas far beyond economy. Buku ini menjelaskan bahwa preferensi menginternasionalisasi kasus itu dengan menghadirkan kepentingan strategis negara besar seperti Jepang dan Amerika Serikat di kawasan merupakan salah satu pilihan cerdas untuk mengimbangi China.

Beberapa waktu yang lalu, Menlu Jepang mengunjungi Jakarta dan memberikan public address di Sekretariat Asean, dengan topik “Towards a new stage of cooperation in the spirit of gotong royong”. Mengawali kuliah umumnya, Menlu Toshimitsu menyinggung peristiwa baru-baru ini di Laut Natuna Utara, mengharapkan penyelesaian damai, dan menyambut hangat inisiatif ASEAN outlook on Indo Pacific.

Indonesia memiliki 10 wilayah kerja migas laut Natuna Utara, namun yang berproduksi saat ini hanya tiga. Berkontribusi sekitar 6% ke total produksi migas nasional. Terdapat setidaknya tiga wilayah kerja eksplorasi migas Indonesia di sisi timur ZEE Natuna yang masuk dalam peta klaim garis putus-putus (dash line) RRC. Termasuk di dalamnya adalah blok Natuna Timur, yang diperkirakan mengandung cadangan gas raksasa terbukti sebesar 46 triliun kaki kubik, yang ditemukan tahun 1980.

Ketiga, Perbatasan Laut Ambalat.

Di perairan Ambalat lepas pantai Pulau Sebatik, Indonesia menelan pil pahit kekalahan sengketa perbatasan dengan Malaysia. Indonesia kalah dari Malaysia di Mahkamah Internasional (international court of justice - ICJ), yang berakibat lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002.

ICJ memenangkan Malaysia atas dasar doktrin effectivity yaitu rangkaian pengurusan efektif secara administratif dan  regulatif sejak zaman colonial. Juga berlanjut dengan pengurusan efektif seperti operasi mercusuar sejak tahun 1960-an yang tidak ditentang Indonesia. Pertanyaan hal batas-batas territorial dan maritim tidak masuk dalam pertimbangan ICJ.

Saat ini, terdapat tiga blok Migas Indonesia di laut Ambalat yang tumpang-tindih diklaim oleh Malaysia sebagai Blok ND6. Sekalipun wilayah kerja migas ini telah lama dikontrak kerjasamakan, hingga saat ini belum ada aktifitas nyata dan efektif di lapangan. Bahkan satu blok sudah dalam proses terminasi.

Hal-hal seperti ini hendaknya masuk dalam prioritas pemerintah. Spektrum permasalahannya adalah lintas sektoral. Pertimbangan pengusahaannya tidak boleh lagi berdasarkan perspektif keekonomian dan teknis semata. Kita tidak menginginkan kasus Sipadan Ligitan kedua terulang kembali.

Keempat, Laut Arafura.

Dalam buku putih Pertahanan Australia 2016, diungkapkan bahwa Indonesia merupakan mitra penting Australia, termasuk untuk mengkounter ancaman keamanan bersama. Indonesia diprediksi menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan militer di kawasan.

Stabilisasi regional di kawasan utara termasuk terhadap ancaman terorisme, penyelundupan senjata, orang maupun obat-obatan terlarang merupakan perhatian Australia. Modernisasi sistem pertahanan yang meliputi kesiapan personil, logistik, operasi, komando dan operasi pengendalian kemampuan patroli amfibi di perbatasan utara Australia dengan basis di Darwin juga salah satu prioritas Australia.

Untuk mendukung strategi pertahanannya, Australia bekerja sama di bidang pertahanan darat, penempatan radar dan pengawasan angkasa, serta keamanan siber dengan negara-negara aliansinya. Termasuk di dalamnya adalah pembangunan  radar satelit angkasa yang akan ditempatkan di Stasiun Komunikasi Angkatan Laut di Australia utara, yang pengoperasiannya secara bersama dengan Amerika Serikat.

Sejumlah pasukan marinir Amerika Serikat – yang dinamai Marine Rotational Force – dengan personil sekitar 2.500 orang rutin berlatih sekitar 6 bulan baik secara mandiri maupun bersama sama dengan pasukan Australia di Australia Utara. Pasukan tersebut dilengkapi dengan elemen pusat komando, pasukan tempur darat, pasukan tempur udara dan dua batalion logistik tempur, yang  bermarkas tetap di Okinawa Jepang.

Laut Arafura sangat kaya dengan sumber daya ikan. Pernah diberitakan bahwa nelayan Indonesia sering nyasar dan terbawa ombak hingga ke pantai Australia.  Perbatasan Indonesia Australia juga kaya dengan sumber daya migas. Indonesia memiliki satu blok migas yang dioperasikan oleh INPEX berasal dari Jepang, bersisian dengan perbatasan Australia. Blok Migas tersebut telah dikerjasamakan tahun 1998 dan dinyatakan ada temuan komersial migas pada tahun 2010. Cadangan gas sangat besar, lebih dari 18 TCF, belum lagi kondensat. Namun hingga saat ini migasnya belum diproduksi. Kepastian harga pasar dan penyerapannya adalah salah satu alasannya.

Sebetulnya Indonesia telah berpengalaman menghadapi kesulitan pasar seperti ini. Ketika di tahun 1970 an ditemukan lapangan gas raksasa di lepas pantai Kalimantan Timur, Presiden Suharto dengan cerdas dapat mengoptimalkannya. Kawasan hutan disulap menjadi kota Industri bernama Bontang. Listrik, fasilitas umum, pabrik pupuk dan petrokimia dibangun. Pelabuhan, bandara  dan kilang LNG dibangun. LNG yang mahal dijual ke luar negeri, sedangkan untuk pupuk dan petrokimia kebutuhan dalam negeri ditetapkan dengan harga yang lebih murah. Hingga saat ini buah kecerdasan Presiden Suharto masih kita nikmati.

Di sisi Australia, pada waktu yang hampir bersamaan dengan penemuan lapangan Abadi Inpex Indonesia,  ditemukan juga lapangan minyak dan gas raksasa, antara lain di lapangan Ichthys dan Bayu Undan. Australia telah mengeksploitasi dan memproduksi LNG serta menjualnya ke pasar Jepang, yang dahulu secara tradisional adalah pasar utama LNG Indonesia. Australia telah menghasilkan LNG yang sangat besar melalui fasilitaspengolahan LNG terapung Prelude dan Ichthys. Tahun 2019 Australia diprediksi menjadi negara eksportir terbesar dunia, menggeser Qatar dengan mengekspor 78 juta ton LNG.

Penutup

Indonesia adalah negara Maritim. Negara kepulauan. Sistem pertahanan negara Indonesia menganut doktrin pertahanan semesta. Menghadapi ancaman non-militer, unsur utama adalah lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan, dengan mempersiapkan komponen cadangan dan komponen pendukung yang handal. Sumber daya alam dan segenap warga negara (termasuk nelayan)  serta sarana dan prasarana nasional perlu disiapkan dan dikerahkan sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Di masa depan, diprediksi kalau ada perang, sifatnya adalah perang asymetris. Perang yang  lebih banyak mengandalkan teknologi dan siber. Karena itu, mempertahankan perbatasan negara dengan mengandalkan modernisasi alutsista, sekalipun dianggap baik, tidak lagi optimal. Bukankah teknologi juga cepat usang dan berkembang?

Ada paradoks dalam modernisasi peralatan militer. Setiap modernisasi militer satu negara hanya akan memancing negara tetangga untuk memperkuat militernya, yang pada akhirnya adalah semacam perlombaan persenjataan, yang cenderung memperkaya negara-negara produsen  senjata dan alutsista.

Sudahkah kita persiapkan sarana pendukung logistik, alat komunikasi yang handal? Sudahkah kita latih para pelaut dan nelayan tangguh yang merangkap komponen bela negara? Sudahkah kita sediakan kapal-kapal nelayan yang mampu bertarung dengan efek penggetar kalau ketemu kapal nelayan perompak dan maling di laut bebas? Sudahkah kita garap dan persiapkan infrastruktur pengusahaan sumber daya alam yang kompatibel dan sesewaktu dapat dikonversi secara mobil dan responsive untuk mendukung pertahanan negara di wilayah perbatasan?

Mengusahakan perbatasan, secara cerdas dengan memperkuat daerah terluar, terdepan dan tertinggal dengan aktivitas migas, kebaharian dan pemberdayaan masyarakat perbatasan akan jauh lebih efektif. It’s far beyond economy. Itu adalah investasi pertahanan. Itu menyangkut menjaga kedaulatan dan integritas wilayah suatu negara.

Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan, Konsentrasi Ketahanan Energi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.