Genjot Penerimaan, DPR Restui Pemerintah Tarik Bea Keluar Emas dan Batu Bara
Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI sepakat memperluas basis penerimaan negara. Salah satunya melalui pengenaan bea keluar terhadap produk emas batangan dan batu bara.
Kesepakatan ini menjadi bagian dari strategi optimalisasi penerimaan negara yang dibahas dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR bersama jajaran pemerintah di Jakarta, Senin (7/7).
“Perluasan basis penerimaan bea keluar, di antaranya terhadap produk emas dan batu bara, di mana pengaturan teknisnya mengacu pada peraturan Kementerian ESDM,” kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.
Saat ini, produk emas mentah atau dore bullion memang sudah dikenai bea keluar sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2024. Namun, emas batangan dan perhiasan belum masuk dalam objek tersebut.
Sementara, batu bara sudah tidak dikenakan bea keluar sejak 2006 dan hanya berkontribusi melalui royalti sebagai bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi H Amro mengatakan besaran tarif bea keluar untuk emas batangan dan batu bara nantinya akan diusulkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan ditetapkan melalui PMK.
“Harapan kita, penerimaan negara akan naik dari sini. Tarifnya nanti diajukan ESDM ke Kementerian Keuangan dalam bentuk PMK,” ujar Fauzi.
Penerapan Cukai Minuman Manis
Selain perluasan bea keluar, DPR juga mendorong ekstensifikasi barang kena cukai baru, salah satunya adalah rencana penerapan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Fauzi menjelaskan, target penerimaan dari cukai MBDK diperkirakan mencapai Rp5-6 triliun, dengan sasaran produk yang memiliki kadar gula di atas 6% dan telah memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun, ia mengingatkan perlunya sosialisasi yang memadai agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan penolakan di masyarakat.
Waktu implementasi kebijakan ini bergantung pada kesiapan pemerintah. Kebijakan bisa mulai diterapkan pada semester II 2025 atau pada 2026 sebagai bagian dari asumsi penerimaan negara dalam RAPBN.
“Kalau masih berupa asumsi, berarti kebijakan ini ditujukan untuk tahun depan. Saat ini pemerintah memang menunda. Tapi kalau pemerintah mau mempercepat, tentu tetap butuh waktu untuk sosialisasi,” kata Fauzi.