Pemerintah telah mengalokasikan anggaran jaring pengaman sosial atau bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi virus corona sebesar Rp 110 triliun. Staf Khusus Menteri Keuangan Maysita Crystallin memastikan pemerintah akan menambah anggaran bansos tersebut.
"Untuk top up, jelas pemerintah sedang mencoba melakukan itu," ujar Maysita dalam Webinar Katadata bertajuk Ongkos Ekonomi Hadapi Krisis Covid-19, Jumat (24/4).
Maysita menjelaskan, pemerintah akan menambah anggaran bansos dari pemerintah daerah. Alasannya, pemerintah daerah lebih cepat menjangkau data masyarakat.
(Baca: Pemerintah Minta Pendatang dari Episentrum Corona Sadar Diri Isolasi)
Selama ini, menurut dia, penyaluran bansos oleh pemerintah pusat terganjal oleh permasalahan data masyarakat terbawah. Ia menyebut hanya 20% masyarakat golongan pendapatan terbawah yang dapat memperoleh bansos. "Karena mereka terkena dari konsumsinya akibat penurunan pendapatan," ucap dia.
Adapun 20% masyarakat terbawah selama ini selalu mendapatkan bantuan pangan nontunai dalam bentuk kartu sembako. Jika tambahan bansos disalurkan pemerintah pusat, maka hanya kelompok tersebut yang mendapatkannya.
Permasalahan pendataan ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Apalagi, permasalahan tersebut selalu berulang setiap krisis terjadi.
(Baca: Beda dengan IMF, Faisal Basri Sebut Ekonomi RI Berpotensi Negatif 2,5%)
Dalam krisis seperti ini, biasanya terjadi dua permasalahan basis data dalam penyaluran bansos yakni inklusion dan eksklusion error. Inklusion error merupakan kesalahan akibat yang terdata bukan warga miskin. Sedangkan eklusion error merupakan kesalahan data apabila warga miskin belum terdaftar.
Namun, Masyita menyebut eklusion error di tengah krisis pandemi lebih mengerikan. "Artinya cost inklusion erorr lebih kecil tidak cuma cost uang ya. Artinya eklusi lebih berbahaya," katanya.
Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pendekatan dengan beberapa pihak dalam mengatasi hal tersebut. Pendekatan tersebut dilakukan dengan PT Pembangkit Listrik Negara (PLN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang memiliki data lebih lengkap.