Sri Mulyani Terbitkan Aturan Pinjaman LPS untuk Penanganan Bank Gagal

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan memberikan pinjaman kepada LPS jika dibutuhkan dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan.
24/4/2020, 13.34 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan aturan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan  untuk penanganan bank gagal. LPS dapat mengajukan pinjaman kepada pemerintah jika mengalami kesulitan likuiditas.

Aturan tersebut tertulis dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.02/2020 dan PMK 33/PMK.010/2020. Dalam pasal 24 aturan tersebut, pemberian pinjaman kepada LPS dapat dilakukan dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan.

"Dalam hal LPS diperkirakan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal," tulis PMK 38/2020 seperti dikutip Katadata.co.id, Jumat (24/3).

Sri Mulyani akan mengalokasikan pemberian pinjaman yang berasal dari pergeseran alokasi pada BA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah (BA 999.03) dan/atau tambahan alokasi baru. Dalam hal diperlukan tambahan alokasi baru, Menteri Keuangan akan menetapkan sumber pembiayaan anggaran yang digunakan untuk membiayai tambahan alokasi tersebut.

Dalam PMK tersebut juga dijelaskan bahwa kesulitan likuiditas LPS diukur dari tingkat likuiditas yang berada di bawah 100%. Dengan memerhatikan tingkat likuiditas, LPS dapat melepas surat berharga yang dimilikinya dalam mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam UU mengenai LPS.

(Baca: Menakar Efektivitas Injeksi BI Untuk Likuiditas Perbankan)

Jika kebutuhan likuiditas LPS tetap tak dapat dipenuhi dengan melepas SBN, LPS dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Menteri Keuangan. "Menteri dapat memberikan pinjaman kepada LPS sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan," tulis PMK 33/2020.

Permohonan pinjaman tersebut disampaikan dengan melampirkan data dan dokumen yang berisi kondisi tingkat likuiditas terakhir, upaya yang telah dilakukan LPS, estimasi kebutuhan likuiditas, data jaminan, dan rincian rencana penggunaan dana pinjaman. Kemudian rencana penarikan dana pinjaman, rencana pengembalian dana pinjaman yang disertai dengan analisis kemampuan membayar kembali, serta laporan keuangan yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan selama 3 tahun terakhir.

Selanjutnya, permohonan pinjaman akan dinilai oleh Badan Kebijakan Fiskal. Penilaian akan mempertimbangkan tingkat likuiditas, kebutuhan likuiditas, dan kemampuan membayar kembali LPS, serta adanya kapasitas fiskal dan kesinambungan APBN.

Jika permohonan disetujui, pinjaman LPS akan diberikan setelah UU mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan ditetapkan. Menteri Keuangan juga akan mengajukan permohonan persetujuan pemberian pinjaman pemerintah kepada LPS secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(Baca: Mewaspadai Ancaman Krisis Ekonomi Panjang Imbas Pandemi Corona)

Lalu, perjanjian pinjaman akan ditandatangani Menteri Keuangan bersama dengan Ketua Dewan Komisioner LPS. SBN yang dimiliki LPS merupakan jaminan atas pemberian pinjaman dari pemerintah. SBN dihitung setelah dikurangi pajak penghasilan.

Jika diperlukan, Menteri Keuangan dapat meminta jaminan lain atau tambahan di luar SBN. LPS tidak dapat memperjualbelikan SBN atau jaminan lainnya kepada pihak lain karena masih dalam status jaminan. Ini berlaku selama masa pinjaman sampai adanya keterangan lunas atau dengan persetujuan dari Menteri Keuangan.

Dana pinjaman yang diberikan kepada LPS berdenominasi rupiah dengan tingkat suku bunga yang mengacu pada ketentuan bila pinjaman bersumber dari saldo anggaran lebih (SAL) atau penerbitan utang, tingkat suku bunga akan setara dengan imbal hasil SBN dan spread dengan tenor terdekat.

Namun, jika sumber pinjaman berasal dari SAL dan penerbitan utang, maka tingkat suku bunga dihitung secara tertimbang.

Reporter: Agatha Olivia Victoria