Bank Indonesia menilai harga minyak dunia yang anjlok akan berdampak positif terhadap neraca transaksi berjalan maupun perekonomian domestik secara keseluruhan. Harga minyak mentah dunia saat ini berada di bawah US$ 20 per barel, jauh di bawah asumsi pemerintah saat ini US$ 38 per barel.
"Ini bagus, akan mempengaruhi transaksi berjalan maupun secara neraca perdagangan," kata Perry dalam konferensi video di Jakarta, Rabu (22/4).
Perry mengatakan bahwa Indonesia merupakan importir minyak. Dengan harga yang murah, defisit neraca perdagangan migas otomatis akan berkurang. Hal ini juga akan berdampak positif pada neraca pembayaran.
"Sehingga secara keseluruhan bagi ekonomi Indonesia itu memang secara neto dampaknya adalah positif, ujarnya.
Meski terdampak dampak dari sisi APBN, Perry tak mau berbicara banyak karena merasa tak memiliki wewenang yang tepat. Namun, ia memperkirakan penerimaan pajak akan menurun akibat penurunan harga minyak. Sebaliknya, kebutuhan pengeluaran anggaran yang berkaitan dengan minyak menurut ia pun akan berkurang.
"Subsidi akan turun. Jadi dilihat secara keseluruhan ini positif," tutupnya.
(Baca: Pendapatan Tertekan Covid-19, PLN Minta Pemerintah Bayar Utang Rp 48 T)
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memperkirakan defisit APBN makin melebar, jika level harga rata-rata minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price terus menurun.
"Jika rata-rata setahun ICP terus turun ke level US$ 30,9 per barel, defisit APBN diperkirakan bertambah Rp 12,2 triliun," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).
Perubahan ICP akan berdampak signifikan terhadap APBN. Adapun saat ini, asumsi harga ICP dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2020 tentang perubahan alokasi APBN 2020 adalah US$ 38 per barel. Adapun harga ICP masih sedikit di atas harga minyak Brent.
(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)
Sejak awal tahun, harga minyak dunia terus menurun, antara lain akibat aktivitas ekonomi global yang terdampak pandemi virus corona. Permintaan global yang semakin turun, ditambah dengan sentimen negatif dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global, membuat harga minyak jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) terus turun.
Minyak jenis WTI pada Senin (20/4) mencatatkan rekor terburuk sepanjang sejarah, yakni berada di level minus US$ 37 per barel. Produsen minyak dilaporkan memilih memberikan stok minyak, karena kapasitas penyimpanan terbatas.
Meski demikian, kondisi ini diperkirakan berdampak secara jangka pendek mengingat harga jual WTI untuk kontrak pengiriman Juni 2020 masih berkisar pada US$ 20 per barel.