Anjloknya Rupiah Dinilai Bukan Sinyal Krisis, tapi Kondisi Normal Baru

Petugas penukaran mata uang merapihkan uang yang hendak ditukar dengan mata uang asing di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta.
Penulis: Dini Hariyanti
10/9/2018, 20.31 WIB

Depresiasi rupiah saat ini sempat memunculkan kekhawatiran bahwa Indonesia mengarah kepada krisis seperti pada 1998. Tapi kalangan ekonom menampik anggapan ini sembari menegaskan, Indonesia memasuki situasi normal baru (new normal).

Ekonom Chatib Basri menyatakan, sejauh ini tak ada indikasi bahwa Indonesia memasuki krisis seperti pada 1998. "Yang terjadi saat ini sebenarnya kembalinya dunia kepada situasi normal baru," mengutip cuitan akun Twitter @ChatibBasri, pada Kamis (6/9).

Dia menjelaskan, perekonomian dunia selama sepuluh tahun terakhir berada di dalam keadaan abnormal. Hal ini disebabkan kebijakan suku bunga rendah oleh bank sentral AS. "Situasi dunia yang normal adalah situasi sebelum QE (quantitative easing) 2009, yang mana Fed Fund Rate sekitar 3.5%," imbuh pria yang sempat menjabat menteri keuangan ini.

Kondisi new normal terjadi lantaran perekonomian Amerika Serikat (AS) membaik sehingga suku bunga acuan Federal Reserve naik dan indeks dolar AS menguat. Kemudian, terjadi arus keluar modal asing dari negara berkembang kembali ke Paman Sam.

Arus keluar modal asing (capital outflow) tersebut membuat valuta di negara-negara berkembang melemah terhadap dolar AS termasuk rupiah. Pasalnya, greenback alias dolar AS sangat dibutuhkan untuk membiayai defisit neraca berjalan.

--

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyatakan, defisit transaksi berjalan dan penguatan dolar AS merupakan dua prakondisi fundamental yang melandasi krisis moneter 20 tahun silam. Tapi secara umum, kondisi saat ini dipastikan tak mengarah ke sana.

Budi membenarkan, krisis moneter (krismon) pada 1998 bermula dari pelemahan tajam rupiah terhadap dolar AS yang menjalar menjadi krisis perbankan. Para bankir kala itu memilih utang valas jangka pendek untuk membiayai proyek investasi rupiah jangka panjang. Alhasil, fungsi intermediasi keuangan lumpuh sehingga memicu kehancuran aset keuangan.

(Baca juga: Faktor Pembeda Pelemahan Rupiah Saat Ini Dibandingkan Krisis 1998)

Krisis nilai tukar pada 1998 dilatari rupiah overvalue tetapi dipertahankan pemerintah melalui sistem nilai tukar tetap (fix exchange rate). Pergerakan mata uang Garuda menjadi tak sejalan dengan tren penguatan greenback. Situasi ini memicu sektor korporasi dan perbankan mengakumulasi utang luar negeri.

“Perbankan saat itu ibarat peribahasa nothing right in the left and nothing left in the right. Sebelah kiri jadi aset bodong. Sebelah kanan deposan menarik dana," tutur Budi melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Senin (10/9).

Kondisi tersebut mengakibatkan modal tergerus dan harus dibenahi melalui kebijakan rekapitalisasi perbankan yang tidak murah. Tapi keadaan saat ini dinyatakan berbeda.

Sejumlah alasan yang mendasari, semisal kinerja perbankan terpantau baik melihat rasio kecukupan modal yang melebihi standar internasional, yakni 22,01% per Juni 2018. Negara juga memiliki manajemen utang yang lebih transparan dan cermat, defisit maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Selain itu, Indonesia kini menganut sistem nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) sehingga pergerakan kurs Garuda menyesuaikan diri terhadap dinamika pasar. "Sistem ini membuat dunia usaha lebih sadar akan risiko nilai tukar valuta bila berutang," kata Budi.

(Baca juga: Sri Mulyani: APBN Tetap Sehat Meskipun Rupiah Semakin Loyo)

Mengacu kepada kurs tengah Bank Indonesia, rupiah diperdagangkan di level Rp 14.835 per dolar AS pada Senin (10/9). Sementara di pasar spot, Garuda berada di posisi Rp 14.884 per dolar AS bahkan sempat menyentuh 14.935.

Nilai tukar rupiah sepanjang 2018 tampak diserbu fenomena normal baru. Akibatnya, imbuh Budi, pemulihan mata uang Garuda tidak hanya bergantung kepada kecakapan pemerintah menempuh solusi jangka pendek maupun panjang, tetapi juga kepada perbaikan kondisi eksternal.

Argumen senada datang dari Denni Puspa Purbasari selaku Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden RI. Dia mengutarakan, setidaknya terdapat tiga alasan depresiasi rupiah saat ini berbeda dengan krisis 1998.

"Pelemahan tidak drastis, cadangan devisa lebih besar, dan kepercayaan investor masih kuat," tulisnya melalui keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id. (Baca juga: Risiko Investasi Indonesia Meninggi akibat Defisit Transaksi Berjalan)

Pada 20 tahun lalu, kurs rupiah terjun bebas diikuti fluktuasi yang tinggi sehingga hitungan bisnis kacau dan masyarakat panik. Sekarang berbeda karena depresiasi mata uang Garuda tidak drastis dan volatilitasnya tak terlampau tinggi.

Cadangan devisa (cadev) juga dipastikan lebih besar dibandingkan pada 1998, kala itu hanya US$ 23,61 miliar tetapi per Agustus tahun ini di posisi US$ 117,9 miliar. Artinya, Bank Indonesia memiliki modal yang lebih banyak untuk meredam gejolak nilai tukar.

Aspek terakhir yakni kepercayaan investor tetap kuat. "Minat investasi asing terhadap surat utang negara merupakan salah satu indikator. Logikanya, tidak ada investor yang mau menempatkan uangnya di negara yang sedang sakit," kata Denni. (Baca juga: Dana Asing Keluar, BI Bisa Tambah Kepemilikan Surat Berharga)