Bank Indonesia (BI) memutuskan menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Penurunan ini merupakan yang pertama sejak delapan bulan lalu. Bank sentral sejak November lalu mempertahankan suku bunga acuan di 6%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini ditempuh sejalan dengan tetap rendahnya nilai inflasi. "Selain itu, penurunan ini juga untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," katanya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubenur di kantornya, Jakarta, Kamis (18/7).
BI juga menurunkan suku bunga deposito sebesar 25 basis poin menjadi 5% dan suku bunga lending turun 25 basis poin menjadi 6,5%.
Dari grafik Databoks berikut ini terlihat suku bunga acuan Bank Indonesia tak berubah sejak delapan bulan terakhir.
Keputusan bank sentral sejalan dengan prediksi analis sebelumnya. Tim riset DBS memprediksi Bank Indonesia (BI) akan memangkas bunga acuan total 75 basis poin hingga 2020, dimulai dengan pemangkasan 25 basis poin pada Kamis (18/7) ini.
(Baca: Kurs Rupiah Cenderung Kuat Jelang Pengumuman Bunga Acuan BI)
Ekonom DBS Masyita Crystallin mengatakan, penurunan ini didorong oleh beberapa faktor. Salah satunya, kinerja rupiah yang sangat baik di tengah arah kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang dovish dan membaiknya neraca perdagangan Indonesia.
"Kondisi ini sesuai untuk BI agar memulai siklus pelonggaran dengan kemungkinan pemotongan suku bunga acuan (Kamis ini) sebesar 0,25% dan secara kumulatif 0,75% hingga 2020," tulisnya dalam keterangan resminya kemarin.
Ia menjelaskan, rupiah relatif stabil dalam beberapa bulan belakangan ini. Bahkan, rupiah mencapai Rp 13.900 per dolar AS, atau terapresiasi sebesar 3,75% secara tahun kalender atau year to date (ytd) hingga Selasa (16/7). Penguatan nilai tukar Rupiah ini merupakan yang tertinggi kedua di Asia setelah Baht Thailand. Nilai tukar Rupiah akan tetap elastis karena suku bunganya yang tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Di sisi lain, neraca perdagangan telah bergerak ke arah yang lebih positif dalam dua bulan terakhir. Tercatat terjadi surplus pada neraca perdagangan Mei 2019 sebesar US$ 218 juta dan US$ 196 juta pada Juni 2019, setelah mencatatkan rekor defisit terbesar pada April 2019 sebesar US$ 2,3 miliar.
Kendati demikian, Masyita menilai perbaikan neraca perdagangan akan semakin sulit terjadi jika harga komoditas terus turun dan kontraksi ekspor terus berlanjut. Ditambah lagi, ada kebutuhan impor untuk proyek infrastruktur. "Karena infrastruktur tetap menjadi prioritas Presiden Joko Widodo, impor barang modal kemungkinan akan meningkat pada tahun 2020," ujarnya.
(Baca: Bank Mandiri Perkirakan BI Turunkan Suku Bunga Acuan 0,25%)
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Panji Irawan sebelumnya juga memprediksi BI bakal turunkan suku bunga. Keinginan The Fed menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps membuka peluang tersebut. "Menurut prediksi kami, pasti BI juga akan melakukan hal yang sama (menurunkan suku bunga acuan)," katanya di Plaza Mandiri, Jakarta.
Pada kesempatan yang sama Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunardi mengatakan, outlook makro ekonomi dalam negeri dalam beberapa pekan ke belakang cukup bagus. Hal itu terlihat seperti dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang menguat hingga di bawah Rp 14.000 per US$, arus masuk modal (capital inflow) ke dalam negeri, maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) yang berada di atas level 6.300.
"Kalau melihat parameter itu, ada ruang penurunan suku bunga acuan. Kami harapkan, besok mudah-mudahan ada kabar positif," kata Hery.
Ia menilai, dengan penurunan suku bunga acuan oleh BI sebesar 25 bps, bakal berpengaruh positif pada industri perbankan nasional. Karena suku bunga acuan yang turun akan memengaruhi tingkat suku bunga dana pihak ketiga (DPK). Sehingga suku bunga dari dana mahal seperti deposito, bisa disesuaikan.