Godok RUU Perpajakan, Sri Mulyani Siapkan Insentif dan Tarif PPh

ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan isi RUU Perpajakan yang saat ini tengah disusun pemerintah. Salah satunya, tarif PPh badan akan dipangkas secara bertahap dari 25% menjadi 20% mulai 2021.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Agustiyanti
3/9/2019, 20.23 WIB

Pemerintah tengah membuat Rancangan Undang-undang (RUU) baru terkait ketentuan dan fasilitas perpajakan. Dalam RUU tersebut, pemerintah antara lain akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan secara bertahap dari 25% menjadi 20% mulai 2021.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, revisi aturan ini dibuat agar kebijakan perpajakan Indonesia bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di dunia internasional. Dengan demikian, perekonomian Indonesia diharapkan tak mengalami penurunan akibat kebijakan negara lain. 

"Presiden menyampaikan kita harus bisa respons kebutuhan ekonomi yang dinamis dan cepat dan dari sisi perubahan kebijakan fiskal di berbagai negara," kata Sri Mulyani di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (3/9).

Selain memangkas tarif PPh badan secara keseluruhan, pihaknya juga tetap akan mengenakan pajak lebih rendah sekitar 3% bagi perusahaan terbuka.

"Artinya bisa 17% sama dengan PPh di Singapura, terutama (perusahaan) go public  yang baru mau masuk ke bursa," kata Sri Mulyani.

Pemerintah juga berencana menghapuskan PPh atas dividen dari dalam dan luar negeri untuk seluruh kepemilikan saham. Menurut dia,  selama ini hanya wajib pajak dengan kepemilikan saham di atas 25% yang tidak dikenai PPh atas dividen. 

(Baca: Jokowi Minta Insentif Pajak Dikawal)

Sementara wajib pajak dengan porsi kepemilikan saham di bawah 25% dikenakan PPh atas dividen sebesar 15% dan wajib pajak orang pribadi (WPOP) sebesar 10%. 

"Dalam RUU semua pajak PPh dividen dihapuskan apabila dividen itu ditanamkan dalam investasi di Indonesia," kata dia.

Lebih lanjut, ia menerangkan RUU ini akan mengubah rezim perpajakan bagi WPOP dari worldwide income tax system menjadi teritorial. Dengan demikian, warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA) menjadi wajib pajak di Indonesia bergantung kepada masa tinggal mereka di Indonesia.

Sri Mulyani mengatakan, hanya WNI dan WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia yang akan dikenakan rezim pajak teritorial. "Kalau dia lebih dari 183 hari, dapat income dan bayar tax di luar, maka dia tak lagi jadi WP dalam negeri," ucapnya.

Hal lain yang akan diatur dalam RUU ini terkait dengan proses pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Selama ini wajib pajak yang mengalami kurang bayar dan melakukan pembetulan SPT baik secara tahunan atau masa dikenakan sanksi.

(Baca: Aturan Baru, Kemenkeu Beri Insentif Pajak untuk Sektor Hulu Migas)

Sanksi yang dikenakan yakni 2% per bulan dari pajak yang kurang bayar. Dalam RUU ini, pemerintah menurunkan sanksinya menjadi per bulan prorata suku bunga acuan di pasar ditambah 5%.

"Ini apabila wajib pajak lakukan pembetulan. Apabila dia harus lakukan koreksi karena ada penetapan, maka sanksi lebih tinggi," kata dia.

RUU ini juga akan menurunkan sanksi denda bagi wajib pajak yang tidak membuat atau tidak menyerahkan faktur pajak tepat waktu. Selama ini wajib pajak yang tidak membuat atau tidak menyerahkan faktur pajak tepat waktu dikenakan sanksi 2% dari pengenaan pajaknya.

Dalam RUU ini, sanksi akan diturunkan menjadi 1%. Sementara, RUU ini akan memberikan sanksi administrasi bagi pengusaha yang tidak melaporkan usahanya melalui pengukuhan Perusahaan Kena Pajak (PKP).

"Ini bagaimana sanksi administrasi perpajakan didesain ulang agar kepatuhan pajak jadi jauh lebih mudah dan lebih logis dibanding kalau mereka enggak patuh," ucapnya.

Kemudian, RUU ini akan memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak masukan. Hal itu bakal diberikan khususnya kepada PKP yang selama ini hasil produksinya tidak dibukukan sebagai objek pajak.

"Berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan, diklaim untuk kurangi kewajiban pajak," kata Sri Mulyani.

Menurut Sri Mulyani, RUU ini akan menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu bagian. Hal ini dilakukan agar seluruh fasilitas insentif perpajakan memiliki landasan hukum dalam satu peraturan. Dengan demikian, fasilitas insentif perpajakan akan jauh lebih konsisten.

RUU ini juga memuat poin yang isinya bakal mengukuhkan perusahaan digital internasional, seperti Amazon dan Google sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, mereka nantinya bisa menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% ke Indonesia.

"Supaya tidak ada penghindaran pajak, karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya," kata dia.

(Baca: Penerimaan Pajak Hingga Juli 2019 Hanya Tumbuh 2,68%)

Lebih lanjut, RUU ini akan mengubah definisi Badan Usaha Tetap (BUT). BUT nantinya tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik, namun significant economic presence (SEP).

Menurut Sri Mulyani, perubahan definisi BUT ini dilakukan agar bisa memajaki perusahaan digital internasional yang tak memiliki BUT di Indonesia. "Tentu saja tujuannya supaya ada level playing field terhadap kegiatan digital terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi across border," katanya.

Sri Mulyani mengatakan, Presiden Joko Widodo meminta agar pihaknya mematangkan dulu RUU ini. Kementerian Keuangan juga akan melakukan konsultasi publik terhadap RUU ini sehingga naskah akademiknya bisa segera disampaikan kepada DPR.