Kementerian Keuangan mencatat realisasi subsidi energi hingga akhir Oktober 2019 mencapai Rp 98,5 triliun. Nilai tersebut turun Rp 18,9 triliun atau 16,1% dari periode sama tahun lalu yakni Rp 117,4 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, realisasi subsidi energi yang lebih rendah karena harga minyak dan gas (migas) yang turun. "Indikator migas turun seperti rendahnya Indonesian Crude Price (harga minyak mentah Indonesia/ICP)," kata Askolani di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (18/11).
Sepanjang Januari-Oktober 2019, rata-rata ICP hanya US$ 61,8 per barel, lebih rendah dari periode sama tahun lalu yaitu US$ 69,18 per barel. Realisasi ini juga di bawah asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yakni US$ 70 per barel.
(Baca: Penerimaan Pajak Masih 64%, Defisit Anggaran Bengkak Jadi Rp 289 T)
Askolani menambahkan, penurunan subsidi energi juga dipengaruhi oleh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada 11 November 2019, nilai tukar rupiah berada pada Rp14.020 per dolar AS, menguat 2,25% dibandingkan levelnya di awal 2019.
Adapun sepanjang periode Januari-September, rata-rata nilai tukar rupiah tercatat Rp 14.174 per dolar AS, jauh lebih rendah dari asumsi dalam APBN Rp 15.000 per dolar AS.
Secara rinci, realisasi subsidi energi yang sebesar Rp 98,54 triliun terdiri dari subsidi BBM dan LPG tabung 3 kilogram (kg) Rp 58,04 triliun, atau 57,7% dari pagu. Subsidi tersebut untuk 81,6% kuota BBM dan 73% kuota LPG tabung 3 kg. Kemudian, subsidi listrik Rp 40,50 triliun atau 68,3% dari pagu.