Riset Bain: Pebisnis di Indonesia Belum Siap Hadapi Ancaman Resesi

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Riset Bain & Company menunjukkan hanya 20% pemimpin perusahaan di Asia Tenggara memiliki strategi untuk menghadapi penurunan ekonomi.
Penulis: Hari Widowati
9/12/2019, 18.16 WIB

Riset terbaru Bain & Company berjudul A Downturn Favors the Prepared, Even for Southeast Asian Companies menunjukkan, resesi global akan berdampak serius terhadap ekonomi Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Meskipun Indonesia tidak terlalu tergantung pada ekspor seperti negara-negara lainnya di Asia Tenggara, beberapa indikator, yang menjadi bantalan Indonesia pada saat krisis finansial global 2009 lalu, kini semakin menipis.

Bain menyebutkan, banyak pemimpin perusahaan di Indonesia yang belum menyiapkan secara serius strategi untuk menghadapi perlambatan ekonomi. Hal ini berpotensi membuat perusahaan-perusahaan tersebut lebih sulit memulihkan bisnisnya ketika perekonomian membaik, meskipun dampak resesi global berbeda-beda di setiap negara.

"Sejak 2006, ada kenaikan sebesar 7% dari kontribusi ekspor Indonesia ke Tiongkok, sehingga Indonesia lebih terekspos terhadap pasar Tiongkok di mana pertumbuhannya turun hampir 50%," kata Partner dan Kepala Bain & Company di Jakarta, Nadeer Elkhweet, dalam siaran pers, Senin (9/12). Perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-Tiongkok juga diperkirakan membuat pertumbuhan ekonomi Tiongkok makin melambat.

Kontribusi komoditas terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia juga merosot dari 29% menjadi 22%. Peranan komoditas terhadap pertumbuhan ekonomi ini bisa semakin kecil jika harga komoditas global terus turun. Di sisi lain, utang korporasi dan rumah tangga meningkat dari 25% terhadap PDB menjadi 39% terhadap PDB. Untungnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya turun 0,3% pada periode 2006 ke 2018.

(Baca: Wabah Resesi Ancam Ekonomi Global)

Hanya 20% Pebisnis yang Siap

Survei Bain & Company terhadap para chief executive officer (CEO) dan chief financing officer (CFO) di Asia Tenggara juga menunjukkan 77% responden memperkirakan adanya penurunan kinerja ekonomi di kawasan dalam dua tahun ke depan. Sebanyak 37% responden memperkirakan bisnisnya akan terdampak perlambatan ekonomi tetapi hanya 20% responden yang memiliki strategi untuk menghadapi tantangan tersebut.

Beberapa pengusaha enggan memikirkan biaya yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhannya. Sementara, pengusaha lainnya belum pernah menghadapi penurunan ekonomi selama menjabat sebagai pejabat eksekutif. Beberapa pengusaha lainnya terlalu optimistis atau yakin mereka punya waktu yang cukup untuk menunggu sampai keadaan kembali membaik.

"Para pemimpin perusahaan ini mungkin tidak mengetahui bagaimana Asia Tenggara menjadi lebih rentan terhadap posisinya selama krisis global yang lalu," kata Elkhweet. Beberapa perusahaan struktural yang meningkatkan risiko di kawasan ini adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, neraca transaksi berjalan yang rendah karena penurunan nilai perdagangan bersih, dampak perlambatan ekonomi Tiongkok, dan anjloknya harga komoditas.

Menurut Elkhweet, para pemimpin perusahaan di Indonesia harus siap memanfaatkan momentum untuk menghadapi kondisi kritis. "Dengan bersiap-siap sekarang, perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa meraih pangsa pasar dan mempercepat pertumbuhan bisnisnya," ujarnya.

(Baca: Jokowi Sebut Ramalannya Soal ‘Winter Is Coming’ Jadi Kenyataan)

Memanfaatkan Penurunan sebagai Peluang

Pemenang bisa memisahkan diri dari pecundang selama krisis yang lalu dan memperlebar selisih keuntungan selama ekspansi terjadi. Dengan membayangkan seperti apa pertumbuhan bisnis perusahaan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, para pebisnis bisa memanfaatkan penurunan ekonomi sebagai peluang untuk mencapai pertumbuhan di masa depan melalui operasi yang lebih efisien dan investasi yang selektif di saat harga-harga aset dan biaya pinjaman lebih rendah.

Analisis Bain selama krisis keuangan global 2008-2009 menunjukkan, 200 perusahaan publik di Asia Tenggara mencatat rata-rata pertumbuhan laba bisnis dobel digit. Ketika badai krisis datang, kinerja mereka langsung berubah. Kelompok perusahaan yang menjadi pemenang, secara mencatat rata-rata pertumbuhan laba disetahunkan (CAGR) sebesar 20% pada 2007-2009.

Adapun kelompok perusahaan yang tidak siap menghadapi krisis, hanya mencatat rata-rata pertumbuhan laba 2% per tahun. Pada periode 2012-2017, kelompok pemenang mencatat rata-rata pertumbuhan laba 7% sedangkan kelompok pecundang mengalami pertumbuhan laba negatif 3%.

Ilustrasi, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Bain & Company memberikan empat tips yang bisa dilakukan perusahaan untuk menghadapi risiko resesi:

1. Fokus pada biaya produktivitas tanpa memangkas tenaga kerja. Bain menganalisis biaya produktivitas dari 200 perusahaan publik di Asia Tenggara pada periode 2007-2009. Perusahaan-perusahaan yang berhasil bertahan memiliki rerata pertumbuhan laba disetahunkan sebesar 10% yang berasal dari biaya produktivitas. Perusahaan-perusahaan yang masuk kategori pecundang hanya memiliki pertumbuhan laba 2% per tahun dan biaya produktivitasnya turun 2 poin.

2. Menempatkan keuangan perusahaan pada tempatnya. Perlambatan ekonomi seringkali merusak neraca perusahaan. Para pemenang mampu mengelola neraca secara strategis. Mereka mengelola kas dengan ketat, belanja modal dan modal kerja, semua menjadi bahan bakar untuk diinvestasikan sesuai siklus ekonomi. Banyak perusahaan menjual aset-aset non-inti agar mereka bisa memperbesar investasi pada aset inti atau mengeksplorasi model kepemilikan baru di industri yang padat modal.

3. Bermain menyerang dengan berinvestasi secara selektif untuk pertumbuhan komersial. Berdasarkan pengalaman krisis yang lalu, perusahaan yang kuat justru berani melangkah di saat koleganya fokus pada upaya untuk bertahan atau menunggu hingga kondisi ekonomi membaik.

4. Mengejar aksi merger dan akuisisi secara proaktif. Krisis yang lalu membuka peluang terjadinya merger dan akuisisi untuk mengubah portofolio bisnis. Akuisisi menghasilkan lini produk baru, segmen konsumen, atau kapabilitas dengan harga yang lebih murah. Pemain lainnya memilih keluar dari bisnis yang tidak sesuai dengan strategi perusahaan di masa depan.

"Pemimpin bisnis di Indonesia dan Asia Tenggara menyadari pentingnya persiapan untuk menghadapi penurunan ekonomi. Bahkan, jika perusahaan mereka belum pernah merasakan pahitnya krisis dan saat ini fokus untuk mengelola pertumbuhan," kata Kepala Bain & Company di Singapura, Tanguy Morin.

Langkah yang diambil berdasarkan pengalaman di masa lalu akan memandu bisnis mereka, agar tahan terhadap dampak perlambatan ekonomi dan mampu mengalahkan kompetitor yang tidak siap dan jatuh saat menghadapi tantangan ekonomi.

(Baca: BI Sebut Ekonomi Global Belum Membaik, Ekonom Bicara Risiko Resesi AS)