Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin menyatakan status Indonesia yang naik menjadi negara maju belum berdampak pada Generlizes System of Preferences (GSP) yang diberikan Amerika Serikat (AS). Adapun, GSP merupakan fasilitas bea masuk yang diberikan negara maju ke negara berkembang.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani mengatakan pihaknya telah mengonfirmasi status perdagangan Indonesia dengan AS. Pihak AS pun menyatakan perubahan tersebut hanya berdampak pada status di World Trade Organization (WTO).
"Tidak ada hubungannya dengan GSP. Tadinya kan kalau kita naik ke negera maju, GSP kita kan dicabut. Tapi menurut AS, ini hubungannya lebih ke WTO," kata Shinta di Jakarta, Senin (24/2).
Menurut dia, AS tidak akan menambah bea masuk terhadap produk-produk Indonesia. Namun, beberapa fasilitas bea masuk tengah dikaji oleh pemerintah Negara Paman Sam itu.
"Kami sedang review GSP, kami menunggu keputusan Amerika untuk bisa meneruskan GSP, tapi tidak terkait status kita," kata Shinta.
(Baca: Kunjungi AS, Mendag Bahas Bea Masuk Produk Hortikultura dan Reasuransi)
Di sisi lain, Menteri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengatakan keluarnya Indonesi dari daftar negara berkembang menandakan pendapatan per kapita berada di level menengah ke atas. Jika GSP dihapuskan, dia yakin tidak ada dampak signifikan terhadap ekspor dan impor Indonesia.
"Jadi saya kira kita harus bicara lagi sama AS, kita bangga tapi kita perlu juga bantuan AS dan tidak ada efek negatifnya dari GSP," kata Suharso.
Pada pekan lalu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengunjungi AS untuk membahas penyelesaian negosiasi GSP terutama untuk produk hortikultura. Pembahasan tersebut bakal berlanjut dalam pertemuan Mendag dengan perwakilan United States Trade Representative (USTR) Robert Lighthizer pada 13 Maret 2020.
Mendag berharap Indonesia bisa kembali mendapatkan fasilitas bea masuk. Pasalnya, AS merupakan mitra strategis dan negara tujuan ekspor kedua bagi Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia menjaga hubungan perdagangan bilateral dan mempertahankan fasilitas GSP dari AS agar dapat terus mendorong perdagangan kedua negara.
Pada 2018, nilai ekspor Indonesia dari pos tarif yang mendapatkan fasilitas GSP naik 10% dari US$ 1,9 miliar menjadi US$ 2,2 miliar. Sedangkan pada Januari-November 2019, nilai ekspor dengan fasilitas GSP naik sebesar 20% dari US$ 2 miliar menjadi US$ 2,5 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, total perdagangan Indonesia-AS pada tahun lalu hanya mencapai US$ 26,97 miliar atau turun 5,73% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 28,6 miliar. Meskipun demikian, ekspor Indonesia pada 2019 tercatat mencapai US$ 17,72 miliar, sedangkan impor senilai US$ 9,25 miliar. Dengan demikian, Indonesia surplus sebesar US$ 8,46 miliar.
Ekspor utama Indonesia ke AS pada 2019 meliputi udang-udangan (krustasea) segar, karet alam, alas kaki, jerseys, pakaian wanita dan anak perempuan, serta ban pneumatik baru. Sedangkan, produk impor utama dari AS pada 2019 meliputi biji kedelai, kapas, gandum dan meslin,residu tepung pati, dan tepung bukan konsumsi.
Selain itu, total nilai investasi AS di Indonesia pada 2019 sebesar US$ 989,3 juta yang terdiri dari 788 proyek. Investasi tersebut didominasi sektor pertambangan dengan porsi sebesar 78%. Sisanya berasal dari industri listrik, gas dan air, industri jasa dan lainnya.
(Baca: Barter dengan 2 Kebijakan, RI Segera Kantongi Insentif Ekspor dari AS)