BI Pantau 4 Tanda Ekonomi Tiongkok Mulai Berdenyut Pasca Corona

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Gedung Bank Indonesia (BI), Jalan M. H Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
Penulis: Yura Syahrul
Editor: Redaksi
5/3/2020, 05.30 WIB

Setelah sempat mati suri akibat merebaknya wabah Corona (Covid-19) sejak Desember tahun lalu, ekonomi Tiongkok kini mulai bangkit. Sinyal kebangkitan ekonomi Tiongkok tersebut dilihat oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

“Setidaknya ada empat indikasi mulai bergerak kembalinya ekonomi Tiongkok saat ini,” kata dia dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Gedung BI, Jakarta, Rabu (4/3). Pertama, aktivitas pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok mulai meningkat.

Kedua, trafik lalu lintas di kota-kota negara tersebut semakin tinggi. Ketiga, konsumsi batu bara mulai meningkat.  (Baca juga: Suku Bunga AS Turun, Rupiah Jadi Mata Uang Paling Perkasa di Asia)

Sekadar catatan, Tiongkok merupakan konsumen batubara terbesar di dunia. Tahun 2018, total konsumsi batubara negara tersebut mencapai 3,82 miliar ton. Adapun, porsi batubara dalam total sumber energi Tiongkok masih sebesar 59%.

Keempat, tingkat polusi di kota-kota Tiongkok kembali naik. “Ini juga indikasi sudah kembali hidupnya aktivitas di sana,” ujar Perry. (Ekonografik: Dunia Mulai Pulih dari Serangan Virus Corona)

Berdasarkan empat indikator tersebut, Ia pun menaksir wabah Corona di Tiongkok sudah melewati titik puncak sehingga aktivitas ekonomi dan produksi juga mulai kembali menggeliat.

Sementara itu dari sisi penyelesaian kasus Corona juga menunjukkan tanda-tanda positif. Berdasarkan catatan John Hopkins CSSE, pasien Covid-19 di dunia mencapai 93 ribu kasus hingga Selasa lalu (3/3). Namun, sekitar 55 persennya telah dinyatakan sembuh. Di Tiongkok, pusat awal penyebaran virus ini, sebanyak 47,2 ribu pasien sembuh dari 80,2 ribu kasus.

(Baca juga: Pemerintah Awasi Khusus Kedatangan Warga dari 4 Negara Pusat Corona)

Meski begitu, menurut Perry, ekonomi global masih tetap dihantui oleh penyebaran virus Corona. Sebab, penyebarannya sudah semakin meluas hingga ke belahan bumi utara, seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS). “Perhatian investor saat ini adalah menyebar cepat ke luar Tiongkok.”

Tekanan di Pasar Keuangan

Hal inilah yang menyebabkan ketidakpastian di pasar keuangan global meningkat dalam satu pekan terakhir. Ketidakpastian itu memicu beberapa hal.

Pertama, premi risiko meningkat ditandai oleh indeks volatilitas pasar melompat dari level 20 ke 40,1 pada akhir Februari lalu. Selain itu, Credit Default Swap (CDS) Indonesia juga melonjak dari 59,6 menjadi 97,9.

Kedua, kenaikan tingkat imbal hasil (yield) surat utang. Ketiga, meningkatnya tekanan terhadap mata uang. Pada Senin lalu (2/3), kurs rupiah sempat menyentuh level Rp 14.300 per dolar Amerika Serikat (AS).

Instrumen-instrumen investasi di dalam negeri juga makin tertekan oleh hengkangnya dana asing. BI mencatat, arus keluar dana asing secara netto hingga 28 Februari mencapai Rp 30,8 triliun.

Yang paling tertekan adalah pasar surat berharga negara (SBN) yang mengalami arus keluar dana asing sebesar Rp 26,2 triliun. Adapun, dari pasar saham sebesar Rp 4,1 triliun.

Meski begitu, berdasarkan pemantauan BI, dana asing tersebut belum mengalir ke luar negeri. “Investor memang menjual portofolionya, tapi dananya masih disimpan di rekening rupiah,” kata Perry. Ini menandakan gejolak di pasar keuangan akibat wabah Corona hanya bersifat sementara.

Intervensi BI

Demi mengatasi berbagai tekanan tersebut dan mempertebal keyakinan investor, BI pun membuat sejumlah langkah. Langkah itu diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mingguan pada Senin lalu (2/3).

Pertama, meningkatkan intensitas bank sentral masuk ke pasar untuk memperkuat rupiah. “SBN sebesar Rp 80 triliun dari Rp 103 triliun telah dibeli sejak mencuatnya wabah corona,” kata Perry. Selain untuk memperkuat rupiah, pembelian itu juga bertujuan menambah likuiditas di pasar dan perbankan.

Kedua, BI menurunkan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate (7-DRRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. Tujuannya untuk mendorong perekonomian domestik yang berpotensi terdampak wabah Corona.

Ketiga, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) valas. Langkah ini membuat perbankan mendapat tambahan valas hingga US$ 3,2 miliar.

Keempat, menurunkan GWM rupiah. Fasilitas ini diberikan kepada bank-bank yang memberikan pembiayaan untuk ekspor-impor. Kelima, fasilitas lindung nilai (hedging) pada Domestic Non-Delivery Forward.

Dengan berbagai upaya dan langkah tersebut, Perry berharap pasar keuangan bakal lebih stabil dan segera keluar dari tekanan dampak virus Corona. Harapan ini setidaknya mulai terlihat dari penguatan kurs rupiah. Pada Rabu (4/3), rupiah menguat 1,19% ke level Rp 14.112 per dolar AS.