Sri Mulyani: Dampak Corona Lebih Rumit Dibanding Krisis 2008

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri) berbincang dengan Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kiri). Keduanya menjelaskan dampak virus corona yang lebih rumit dibandingkan krisis ekonomi 2008.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
5/3/2020, 20.16 WIB

Pemerintah menilai menghadapi dampak virus corona baru atau Covid-19 lebih rumit ketimbang saat krisis ekonomi global pada 2008. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut hal ini disebabkan virus corona memberikan dampak langsung kepada manusia.

"Kami harus memberikan ketenangan dengan menjelaskan ancaman atau risiko terhadap masyarakat," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/3).

Menurut Sri Mulyani, krisis ekonomi global pada 2008 disebabkan oleh lembaga keuangan, seperti perbankan dan pasar modal. Sentimen kepada lembaga keuangan itu mempengaruhi stabilitas ekonomi dunia.

(Baca: Perbankan Sebut Belum Ada Kredit Macet Karena Wabah Virus Corona)

Virus corona mengancam keselamatan dan kesehatan serta menghambat mobilitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Virus ini berdampak pada penutupan pabrik hingga sekolah ditutup demi mencegah penyebaran virus. Akibatnya sektor ekonomi riil tergerus seperti industri penerbangan, hotel hingga manufaktur.

"Nanti bisa mengenai sektor keuangan juga, karena dapat menimbulkan NPL (non performing loan/kredit macet)," kata Sri Mulyani.

Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hatarto menyebutkan wabah virus corona membuat jalur rantai pasok bahan baku industri-industri dunia terpotong 30%. Selama ini rantai bahan baku industri mengandalkan Tiongkok.

(Baca: Rupiah Lesu di Tengah Potensi Ekonomi Tumbuh di Bawah 5% Akibat Corona)

Airlangga menyebut, terpangkasnya rantai pasok ini merupakan kali pertamanya terjadi selama ada krisis ekonomi global. "Ini untuk pertama kalinya terganggu karena rantai pasok dari Tiongkok berkontribusi 30% secara global," kata Airlangga.

Kendati demikian, Indonesia dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk memperbaiki neraca perdagangan. Sebab, Purchasing Managers Index (PMI) atau tingkat permintaan dalam negeri masih di angka 51,2, setelah tertahan pada skor di bawah 50 sepanjang semester II/2019 dan Januari 2020.

Angka tersebut masih relatif lebih tinggi dibandingkan Tiongkok yang hanya 35,7. Sedangkan negara-negara lain seperti Hong Kong, Thailand, Vietnam dan Jepan relatif lebih rendah atau bahkan berhenti.

"Momentum ini yang mau digunakan Presiden Joko Widodo untuk mendorong impor dan ekspor," kata dia.

Untuk mengurangi dampak virus corona, pemerintah telah menyiapkan beberapa insentif.  Sejauh ini, pemerintah telah menggelontorkan insentif sebesar Rp 10,3 triliun untuk mendorong sektor pariwisata, Kartu Pra-Kerja, Kartu Sembako, dan relaksasi pajak untuk hotel dan restoran. Pemerintah pun berencana untuk memberikan insentif untuk sektor manufaktur.

Reporter: Dimas Jarot Bayu, Tri Kurnia Yunianto