Kementerian Perncanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengingatkan dampak ekspor besar-besaran dari batu bara dan gas bumi. Ini karena Indonesia, bukan negara yang memiliki cadangan minyak dan gas bumi (migas); dan batu bara besar.

Menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, model pengelolaan energi di Indonesia belum ideal. Alasannya, hingga kini belum ada dampak positifnya dari kegiatan itu. “Kondisi yang terjadi hari ini, laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di bawah nasional, indeks per kapitanya juga di bawah,” kata dia di Jakarta, Jumat (16/11).

Bambang mengatakan saat ini, ekspor batu bara dan gas bumi Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Padahal, dari segi cadangan Indonesia bukan yang terbesar.

Berdasarkan data dari Bappenas, Indonesia memiliki cadangan baru bara sekitar 30 miliar ton. Dengan jumlah produksi tahun ini ditargetkan sekitar 500 juta ton. Adapun, batu bara yang dieskpor 300 juta ton. Sedangkan, untuk cadangan gas di Indonesia 200 TSCF, dengan total produksinya hampir mencapai TSCF. 

Hal ini berbeda dengan Rusia yang memiliki cadangan batu bara kurang lebih mencapai 150 miliar ton. Adapun, produksinya sekitar 400 juta ton, dengan nilai ekspor batu bara hanya mencapai 125 juta ton. Sedangkan, untuk gas Rusia memiliki cadangan sekitar 1.700 TSFC, dengan total produksi 22 TSCF. 

Kondisi tersebut tentunya akan memiliki dampak. Dari sisi jangka pendek, besarnya ekspor akan berdampak posisitf terhadap neraca perdagangan. Namun, yang perlu diingat, baik batu bara atau gas adalah sumber energi yang tidak terbarukan.

Karena bukan tergolong sumber energi terbarukan, manfaat dari batu bara dan gas bumi lambat laun akan turun drastis. Di sisi lain, kebutuhan energi domestik akan membesar. Akhirnya, Indonesia tidak bisa lagi mengekspor dan ada selisih antara pasokan dan kebutuhan.

Di sini lah masalah terjadi, karena pemerintah lupa untuk mendiversifikasi ekspor. “Kami kurang hati-hati dalam eksploitasi. Kami lupa ekspor yang besar tadi tidak akan berkelanjutan, lupa mendeversifikasi produk ekspornya. Data ini punya impilkasi yang besar,” ujar Bambang.

Menurut Bambang, karena Indonesia bukan negara yang cadangan migas dan batu bara yang besar, sudah seharusnya memikirkan kebutuhan dalam negeri. Pemerintah juga harus memikirkan cara untuk mengisi selisih kebutuhan yang tinggi dengan pasokan energi.

Salah satu solusinya adalah pengembangan energi baru terbarukan. Apalagi sumber sumber energi baru terbarukan susah untuk diekspor. “Artinya kami sudah mulai berpikir harus diisi oleh renewable. Kami sudah komitmen tidak adalagi tambang mentah,” ujar dia.  

Untuk mendorong energi baru terbarukan, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan. Pertama, adalah komitmen. Kedua, adalah penyaluran pinjaman hibah melalui institusi. DI Bappenas ada Program Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) sebagai pembiayaan

Kemudian, memberdayakan pemerintah daerah untuk melakukan survei pendahuluan atas EBT yang berpotensi. Saat ini, selain Bali, pemerintah daerah Sulawesi Selatan ingin listriknya berasal dari EBT. Bambang juga mendorong agar 10 kawasan wisata “Bali Baru” ini bisa menggunakan EBT. Wilayah itu yakni Danau Toba, Belitung, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudur, Gunung Bromo, Mandalika, Pulau Komodo, Wakatobi dan Morotai.

(Baca: Target Energi Baru Terbarukan Terancam Gagal Tercapai)

Bambang mengatakan semua sumber energi yang ada di Indonesia juga harus bermanfaat bagi perekonomian dan memiliki nilai tambah. Salah satunya adalah membangun industri petrokimia, dan baja. “Kalau tambang tersebut tidak banyak manfaat ini akan menimbulkan masalah politik dan sosial,” ujar dia.

Reporter: Fariha Sulmaihati