Keuangan Tertekan Impor Minyak, Pertamina Memacu Energi Terbarukan

Arief Kamaludin|Katadata
Gedung Pertamina, di Kawasan Gambir, Jakarta.
24/7/2019, 21.02 WIB

Pertamina berencana memperlebar sayap bisnis dari sektor minyak dan gas (migas) ke energi baru dan terbarukan. Langkah ini dianggap perlu untuk menjaga kinerja bisnis perusahaan. Sebab, permintaan akan energi baru dan terbarukan akan semakin besar.

Senior Vice President Research & Technology Center Pertamina Dadi Sugiana mengatakan, perusahaan tidak akan lagi membatasi diri di migas. Maka itu, identitas bisnis telah berubah dari perusahaan minyak menjadi perusahaan energi. "Kalau kami bertahan di oil, keuangannya agak tergerus," kata dia di Jakarta, Rabu (24/7).

Salah satu bisnis yang bisa dikembangkan yaitu di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap atau solar PV (Fotovoltaik). Pembangkit jenis ini dinilai bisa menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam aktivitas pengeboran di daerah terpencil. Selain itu, solusi untuk efisiensi biaya energi.

(Baca: Sulit Dapat Energi Terbarukan, Perusahaan Berisiko Tinggalkan RI)

Solusi ini pun sudah dipakai oleh Pertamina. Pertamina telah mengembangkan beberapa PLTS di wilayah migas kelolaannya, seperti PLTS di Badak LNG Bontang sebesar 4 megawatt (MW) dan PLTS di Cilacap sebesar 1 MW. Terdapat juga PLTS di Kantor Pusat Pertamina dengan kapasitas 0,2 MW.

Beberapa proyek PLTS tengah dalam tahap studi, seperti di Ukui, Sei Keras, Medan, Sanga-Sanga, Samboja, Tanjung, Cepu, Pertamina Upstream Data Center (PUDC), Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Dari sisi pemerintah, pengembangan energi baru dan terbarukan oleh BUMN dianggap sebagai jalan untuk mencapai target bauran energi. Porsi energi baru dan terbarukan diharapkan terus meningkat hingga menjadi sumber energi utama. Saat ini, kontribusinya baru sebesar 5%, sedangkan gas 18%, batu bara 31%, dan minyak 46%.

(Baca: BUMN Diajak Bersinergi Kejar Target Pembangkit Listrik Tenaga Surya)

Pada 2025, komposisinya ditargetkan berubah menjadi gas 22%, energi terbarukan 23%, minyak 25%, dan batu bara 30%. Sedangkan pada 2050, komposisinya ditargetkan berubah menjadi minyak 20%, gas 24%, batu bara 25%, energi baru dan terbarukan 31%.

Saat ini, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi sedang menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan energi baru dan terbarukan untuk mengejar target tersebut. Peta jalan akan memuat potensi energi terbarukan di setiap daerah, arah regulasinya, teknologi yang akan digunakan, dan pendanaannya.

Ke depan, dengan kontribusi energi baru dan terbarukan yang membesar, impor migas diharapkan semakin terkendali. "Kondisi sekarang kan masih banyak impor minyak, pengembangan energi terbarukan harus disegerakan," kata Kepala Sub Direktorat Pelayanan dan Pengawaan Usaha Aneka Energi Baru dan Terbarukan Abdi Dharma, beberapa waktu lalu.