Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) FX Sutijastoto menyampaikan, biaya investasi yang cukup tinggi membuat pengembangan proyek panas bumi berjalan lambat. Biaya investasi proyek panas bumi tinggi karena menggunakan teknologi terbaru.
Di sisi lain, PT Perusahan Listrik Negara (PLN) pun tak mampu membeli listrik dari panas bumi karena memperhatikan daya beli masyarakat yang rendah. "Kalau negara maju pendapatannya cukup tinggi, daya beli tinggi, itu ada terobosan. Karena teknologi baru biaya tinggi, itu bisa diberikan ke konsumen," ujar Sutijastoto ditemui disela The 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2019, Jakarta, Selasa (13/8).
Pria yang kerap disapa Toto ini pun menyebut masyarakat Indonesia sudah terlalu nyaman membeli energi murah karena selalu disubisidi oleh pemerintah. Sehingga, terlalu sulit untuk beralih menggunakan ke energi baru terbarukan. "Kita terlalu dininabobokan oleh subsidi BBM sehingga kita menikmati energi murah. Akibatnya saat kita beralih atau merubah mindset agak susah" ujarnya.
Maka dari itu, dia menyebut Pemerintah akan menyiapkan berbagai insentif agar harga panas bumi dapat kompetitif. Misalnya pembangunan infrastruktur panas bumi yang biayanya bisa dibayar kemudian oleh pemerintah. "Karena sebagian dari infrastruktur pembangunan transmisi sudah dilakukan pengembang listrik," ujarnya.
(Baca: Jusuf Kalla Sentil Jonan dan PLN soal Pengembangan Energi Terbarukan)
Ia pun mencontohkan PLTA Poso yang pembangunan transmisinya sepanjang 200 km dibiayai terlebih dahulu oleh pengembang namun dibayar kemudian oleh pemerintah. Strategi tersebut yang saat ini sedang diupayakan dalam pembangunan infrastruktur panas bumi.
Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan pada tahun ini akan ada tambahan kapasitas terpasang empat pembangkit geothermal sebesar 185 Megawatt (MW). Keempat pembangkit tersebut yakni PLTP Lumut Balai Unit I di Sumatera Selatan berkapasitas 55 MW yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PLTP Muara Laboh Unit I di Sumatera Barat oleh Supreme Energy berkapasitas 80 MW, PLTP Sorik Merapi I di Sumatera Utara oleh Sorik Merapi Geothermal Power 45 MW, dan Sokoria I di NTT oleh Sokoria Geothermal Indonesia berkapasitas 5 MW.
Pada tahun lalu, hanya ada dua PLTP yang melakukan beroperasi secara komersil, yakni PLTP Sarulla Unit III di wilayah kerja panas bumi Sibual Buali, Sumatera Utara dengan kapasitas 110 MW. Kedua, PLTP Karaha di WKP Karaha Cakrabuana, Jawa Barat dengan kapasitas 30 MW.
Menurutnya, tambahan kapasitas terpasang 185 MW pada tahun ini karena bauran panas bumi untuk pembangkit akan bertambah menjadi 2.133,5 MW. "Kami sangat membutuhkan dukungan pemerintah, salah satunya adalah percepatan investasi, harga jual listrik sesuai keekonomian proyek," katanya.
(Baca: Lima Wilayah Kerja Panas Bumi yang Ditolak PLN Dilelang Tahun Depan)