Ombudsman dan OJK Sebut Perlu Ada UU untuk Atasi Fintech Ilegal

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Kasubdit II Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol Rickynaldo Chairul memberikan keterangan saat rilis kasus tindak pidana Fintech Ilegal, di kantor Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Jalan Taman Jati Baru No.1 Tanah Abang Jakart (8/1).
9/3/2019, 14.00 WIB

Ombudsman Republik Indonesia (RI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, perlu ada Undang-Undang (UU) yang mengatur financial techonology (fintech) pinjaman (lending). Tanpa peraturan setingkat UU, menurut Ombudsman RI dan OJK sulit mengatasi sepak terjang fintech pinjaman ilegal.

Sebab, kendati Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi sudah memblokir platformnya, fintech pinjaman ilegal akan membuat yang baru. “Indonesia butuh regulasi setingkat UU terkait penyelewengan atau kejahatan (fraud) online yang ‘berbaju’ fintech,” ujar Anggota Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya di kantornya, Jakarta, Jumat (8/3).

(Baca: Polisi dan Satgas Waspada Investasi Selidiki 5 Kasus Pinjaman Online)

Untuk mengkaji hal itu, ia pun mengundang Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait seperti OJK, Satgas Waspada Investasi, Bank Indonesia (BI), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Salah satu kebijakan yang ia harapkan membahas fintech pinjaman ilegal adalah Rancangan UU (RUU) Perlindungan Data Pribadi.

RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Dengan begitu, ia berharap aturan tersebut dirilis tahun ini juga. “RUU ini bukan hanya untuk fintech, tetapi juga untuk persoalan lain. Misalnya, di Kementerian Kominfo terkait masalah kartu pra bayar, dan lain sebagainya," ujar Dadan. 

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi pun menyambut positif, undangan Ombudsman untuk mengkaji kebijakan tersebut. Sebab, OJK hanya mengatur dan mengawasi fintech pinjaman yang terdaftar. Sementara fintech pinjaman ilegal ditangani oleh Satgas Waspada Investasi dan Kepolisian RI.

(Baca: Cegah Bunuh Diri Nasabah Fintech, OJK Atur Bunga hingga Asuransi)

Untuk itu, ia merasa perlu dibuat payung hukum setingkat UU guna memberi efek jera bagi fintech pinjaman ilegal. “Tentu ada sanksi pidana (kalau UU). Kalau di Peraturan OJK tidak ada, karena lebih rendah levelnya. Sanksi maksimal adalah pencabutan izin,” ujar dia.

Saat ini, OJK hanya mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi untuk mengatur fintech pinjaman. “Ini yang kami diskusikan. Semoga Ombudsman bisa mendorong lahirnya UU ini, sehingga ke depan penyelesaiannya juga bisa permanen," ujar dia.

Kendati begitu, ia berharap UU tersebut bersifat umum. Kalau UU tersebut mengatur fintech pinjaman secara rigid, ia khawatir industri ini akan sulit berkembang. “Bayangkan kalau UU sudah rigid sejak awal, justru akan memagari," katanya.

Sementara itu, Kasubdit Pengendalian Konten Internet Kementerian Kominfo Anthonius Malau mengatakan, instansinya sudah berupaya mengatasi fintech pinjaman ilegal. “Ketika Satgas Waspada Investasi mengatakan illegal kami melakuan pemblokiran. Ini dalam rangka perlindungan konsumen,” ujarnya.

(Baca: Satgas Waspada Investasi OJK Blokir 635 Fintech Ilegal)

Kepala Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing menambahkan, Kementerian Kominfo sudah memblokir 803 platform fintech pinjaman ilegal atas rekomendasi instansinya sejak Desember 2016. “Kejahatan ini berkembang karena mudahnya mereka membuat aplikasi dan banyaknya masyarakat Indonesia yang butuh pendanaan,” kata dia.

Reporter: Cindy Mutia Annur