Menteri KKP Kaji Lagi Cantrang, Pengamat Soroti Dampak Ekonominya

ANTARA FOTO/R. Rekotomo
Nelayan dari Rembang, Batang, dan Jepara berunjuk rasa memprotes pelarangan penggunaan cantrang oleh KKP di Semarang, Jawa Tengah, medio 2017 lalu.
Penulis: Rizky Alika
30/10/2019, 08.19 WIB

Pengamat menilai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu memperhitungkan dampak ekonomi terhadap larangan penggunaan cantrang. Hal ini seiring dengan langkah Menteri Edhy Prabowo yang akan mengkaji penggunaan alat tersebut.

Pengamat dari Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, larangan cantrang telah berdampak pada ekonomi pengusaha kapal maupun anak buah kapal (ABK). Setidaknya ada 15 hingga 20 ABK dalam satu kapal cantrang berukuran 20 gross tonnage (GT).

"Dalam satu tahun lebih, ada banyak kapal yang tidak beroperasi dan tidak memiliki surat izin tangkap ikan. Akibatnya pengusaha maupun ABK tersebut hidup dalam lilitan utang," kata Abdul kepada Katadata.co.id, Selasa (29/10).

Oleh karena itu, dia meminta Menteri Edhy untuk memperhatikan dampak penggunaan cantrang terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bila Edhy melanjutkan larangan cantrang, Abdul meminta adanya kajian efektivitas pengunaan alat tangkap lainnya.

(Baca: Beda dengan Susi Pudjiastuti, Edhy Prabowo Kaji Penggunaan Cantrang)

Alat tangkap alternatif tersebut pun harus mampu mencukupi kebutuhan hidup pengusaha perikanan dan ABK, namun tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Bila Edhy memperbolehkan cantrang, KKP harus merevisi aturan untuk memperjelas alat yang bisa digunakan di setiap jenis wilayah perairan.

Aturan yang perlu direvisi yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets), serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan.

Terlepas dari keputusan Edhy, Abdul memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, nelayan berkapal kecil dengan ukuran di bawah 10 GT perlu diberikan bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk penggantian alat tangkap.

Kedua, Abdul berharap adanya pemberian fasilitas pinjaman bagi nelayan kecil. Sebab, nelayan tersebut kerap kesulitan mengembalikan pinjaman mereka.

(Baca: KKP Ancam Tak Keluarkan Surat Berlayar Kapal Ikan Tanpa Asuransi ABK)

Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti telah membentuk Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP). Namun nyatanya tidak semua pengusaha perikanan dan nelayan bisa mudah mendapatkan pinjaman.

"Jadi perlu adanya fasilitas pembiayaan, apakah pakai skema perbankan atau lainnya, misalkan kembali menggunakan LPMUKP. Nantinya, pinjaman tersebut dapat digunakan untuk mengalihkan cantrang mereka," terang Abdul. 

Sebelumnya, Susi melarang pengunaan cantrang karena penggunaannya merusak ekosistem laut. Namun, Edhy menyebut ada sejumlah pihak yang menilai cantrang tidak berbahaya bagi lingkungan. "Sebagai menteri, saya harus mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Kajian sedang berjalan. Kami akan dengarkan semuanya,” kata Edhy.

Menurutnya, ada pendapat yang menyatakan cantrang tidak dioperasikan di terumbu karang karena alat tangkap tersebut akan robek. Sehingga cantrang hanya digunakan di perairan yang berdasar lumpur atau pasir.

Cantrang juga hanya digunakan untuk menjaring ikan demersal, yaitu ikan yang di dasar laut dan danau. Selain itu, penggunaan alat alternatif tangkap lainnya, seperti jala juga dinilai bukan solusi bagi nelayan cantrang.

(Baca: Pengusaha Perikanan Minta KKP Segera Revisi Pembatasan Ukuran Kapal)

Reporter: Rizky Alika