Masalah Bulog di Masa Buwas, dari Hilangnya Rastra hingga Mafia Beras

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Temuan beras impor medium yang berbau apek di di gudang penyimpanan Bulog Medan, Sumatera Utara, Rabu (4/12/2019). Bulog di masa Buwas menghadapi masalah tumpukan beras yang tak tersalurkan.
Penulis: Ekarina
Editor: Yuliawati
9/12/2019, 09.45 WIB

Kebijakan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) mengubah drastis kinerja Perum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Program yang berlangsung sejak Juni 2019 saat Bulog di bawah Direktur Utama Budi Waseso atau Buwas, membuat kemampuan Bulog menyalurkan beras merosot tajam.  

Beras yang tak tersalurkan membuat gudang Bulog penuh. Baru-baru ini dampaknya terlihat. Sekitar 20 ribu ton  cadangan beras pemerintah (CBP) senilai Rp 160 miliar, mutunya turun karena terlalu lama disimpan di gudang, terancam dibuang (disposal).

(Baca: Bulog Buang Beras 20 Ribu Ton, Buah dari Kebijakan Salah Hitung Impor?)

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Tri Wahyudi menyatakan, peralihan program Beras Sejahtera atau Rastra menjadi BPNT, menyebabkan Bulog kehilangan 70% saluran distribusi terbesar berasnya. 

"Dari 2,3 juta ton penyaluran beras untuk bansos, sekarang menjadi 300 ribu ton. Kan besar, sementara beras merupakan barang cepat rusak," katanya dalam sebuah diskusi awal Desember 2019.

Sejak 2017, pemerintah mulai mengalihkan sebagian penerima Rastra atau yang dikenal juga Beras Miskin (Raskin) ke BPNT.  Berdasarkan data Bulog, penyaluran Rastra pada masa peralihan tersebut 1,29 juta ton, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 2,79 juta ton. Penyaluran Raskin terbesar dalam 10 terakhir terjadi pada 2013, yaitu mencapai 3,4 juta ton. Berikut pergerakan penyaluran beras oleh Bulog dalam Databoks berikut ini:

BPNT merupakan pengganti program Rakyat Sejahtera atau Rastra. BPNT berupa bantuan pangan dalam bentuk non tunai yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik. Penyaluran BPNT ini melalui pedagang bahan pangan/electronic warung gotong royong (e-warong) yang bekerjasama dengan bank.

Sementara Rastra yang dulu bernama beras miskin atau raskin merupakan program subsidi pangan kepada masyarakat ekonomi lemah dalam bentuk beras  yang disalurkan oleh Bulog.

Berbeda dengan Rastra yang memberikan bantuan langsung dalam bentuk beras sebanyak 10 kilogram per bulan dari Bulog. Melalui BPNT, pemerintah memberikan uang tunai sebesar Rp 110 ribu per bulan kepada KPM untuk membeli beras dan telur melalui jaringan resmi Kementerian Sosial bernama electronic warung gotong royong (e-warong).

Saat ini jumlah penerima penerima manfaat BPNT sekitar 15,6 juta rumah tangga dengan anggaran yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp 20,59 triliun. Berikut Databoks penerima manfaat subsidi pangan dalam bentuk BPNT:

Selain karena jalur penyalurannya yang semakin mengecil akibat transisi Rastra ke BPNT, posisi Bulog kian terhimpit lantaran BUMN pangan ini harus bersaing dengan pemasok beras swasta dalam program pengadaan bantuan sosial tersebut.

(Baca: Mendag Beri Lampu Hijau Bulog Jual Beras Cadangan Pemerintah)

Direktur Utama Bulog Budi Waseso sempat menyampaikan keberatan atas kebijakan tersebut kepada Menteri Sosial saat itu, Agus Gumiwang. Buwas, pria ini biasa disapa mengancam mundur dari jabatannya sebagai Dirut Bulog apabila Kemensos 100% mengambilalih penyaluran beras BPNT.

Kemensos pun mengalah. Bulog kembali diberi jatah penyaluran 100% hingga didapuk sebagai pengelola pasokan beras untuk BPNT.

Lewat kesepakatan baru, Bulog pun kemudian mendapatkan kuota penyaluran BPNT untuk periode September-Desember 2019 sebesar 700 ribu ton. Meski begitu, realisasinya penyaluran Bulog untuk BPNT sampai saat ini baru mencapai 122 ribu ton atau sekitar 17% dari target.

Buwas Tuding Aksi Mafia Beras di Balik kesulitan Bulog

Buwas menuding ada mafia yang menyebabkan seretnya pasokan beras Bulog lewat BPNT. Buwas menduga ada manipulasi menukar beras Bulog dengan beras lain yang kualitasnya lebih rendah. Akibatnya banyak masyarakat terkecoh dan dan menganggap rendahnya kualitas beras Bulog.

Selain itu, Buwas juga menuding ada warung 'siluman' yang mendistribusikan beras untuk  program BPNT. Warung-warung tersebut menurutnya, hanya buka saat ada penyaluran BPNT.

Melalui warung tersebut, beras-beras yang kemungkinan Bulog tak dapat menyalurkan berasnya. Buwas menyebut telah melaporkan pihak-pihak yang diduga sebagai mafia atas penyaluran BPNT tersebut. Hingga kini, polisi belum mengungkapkan pelaku mau pun modus kejahatan yang disebut-sebut mantan Kabareskrim tersebut.

(Baca: Soal Mafia Beras Program Bantuan, Buwas: Ada Oknum Baru di Luar Bulog)

Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, beras yang disalurkan melalui e-warong dalam kualitas layak untuk dikonsumsi. Pemilik e-warong resmi di kawasan Cawang, Jakarta, Hesti Susilowati, menyatakan kualitas beras dari program BPNT tidak mengecewakan. Beras dari program BNPT yang tersedia di warungnya selalu habis terjual.

"Bagus sih, tidak mengecewakan. Saya juga mengambilnya beras yang bagus. Kalau dulu raskin dikasih beras jelek,  tapi sekarang sih tidak," kata Hesti, akhir pekan lalu.

Setiap bulannya, warung Hesti menerima kiriman 300 hingga 500 paket BPNT dari Kementerian Sosial. Paket tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu paket yang berisi 5 kilogram beras ditambah 20 butir telur dan paket berisi 8 kilogram beras beserta 20 kilogram telur.

Program tersebut juga menurutnya sangat membantu golongan yang membutuhkan. Hanya saja kendalanya, pengiriman paket bahan pangan terkadang seringkali terlambat sampai lokasi.

Perdebatan Kembalinya Program Rastra

Kesulitan Bulog menyalurkan beras memunculkan kembalinya wacana Rastra. Wacana ini menuai perdebatan, karena BPNT dianggap sebagai terobosan yang perlu dipertahankan.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan ketidakmampuan Bulog memenuhi kuota sebanyak 700 ribu ton beras dalam program BPNT menunjukkan perlunya perbaikan manajemen pada BUMN tersebut. “Artinya Bulog kalah saing dengan swasta,” kata Dwi, akhir pekan lalu.

Dwi menyebut BPNT merupakan terobosan dari program bantuan Rastra/Raskin yang rawan korupsi. Seringkali ditemukan kasus beras dalam Raskin mutunya tidak layak untuk dikonsumsi. Sehingga dia berharap pemerintah tak mengembalikan kembali program Rastra.

(Baca juga:  Pengamat Menilai Pengembalian Skema BPNT Jadi Rastra Sebuah Kemunduran)

Dwi menyarankan perbaikan manajemen Bulog dalam menghadapi perubahan kebijakan. Salah satunya, dia menyarankan Bulog menjalin hubungan harmonis dengan swasta. “Pemerintah hanya menguasai 10% dari stok beras, penting buat pemerintah menjaga kepercayaan swasta yang merupakan penguasa pasar beras,” kata dia.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori mengatakan, tersendatnya penyaluran beras Bulog di hilir, berpotensi menyebabkan disposal stok kembali berulang.

Dengan stok beras 2,3 juta ton saat ini, ditambah Bulog tidak lagi memiliki outlet penyaluran di hilir seperti pada saat ada program Rastra, menjadikan arus perputaran beras di gudang menjadi lambat. "Apalagi beras sifatnya tidak tahan lama, maka disposal bisa kembali terulang," kata Khudori kepada Katadata.co.id, Sabtu (7/12).

Khudori menyatakan, pasar Bulog di hilir yang tidak lagi besar, dia pun menilai target pengadaan atau penyerapan beras dalam negeri Bulog tahun ini sebesar 1,8 juta ton sudah tidak lagi relevan. Data Bulog pun menunjukkan, hingga 6 Desember 2019 jumlah pengadaan beras perseroan hanya sekitar 1,17 juta ton atau setara 65,2% terhadap target pengadaan 2019.

(Baca: Target Penjualan Beras Bulog 1 Juta Ton Sulit Tercapai)

Bulog pun diperkirakan bakal mengurangi pengadaannya ke depan menjadi hanya sekitar 1 juta ton atau sekitar 2%-3% dari total produksi beras nasional. Angka ini menyusut dibandingkan serapan tahun-tahun sebelumnya yang bisa sekitar 6%-9% dari total produksi.

Namun keputusan ini menurutnya memiliki konsekuensi lain dan bisa berdampak langsung ke petani. Sebab selama ini, pengadaan Bulog sebesar 6-9% dari produksi beras nasional telah menjadi pengendali pasar dari gejolak, baik yang berasal dari gangguan panen karena perubahan iklim, cuaca dan hama penyakit maupun ulah tengkulak.

Dampak lain juga pada stabilisasi harga gabah atau beras. Selama ini Rastra bukan saja efektif sebagai penjamin warga mendapatkan akses pangan murah, tapi juga sebagai instrumen stabilisasi harga gabah atau beras. Volume penyaluran Rastra sebesar 232 ribu ton per bulan tersebut setara dengan 10% terhadap angka kebutuhan beras.

"Ketika volume penyaluran Rastra berkurang, kemampuan stabilisasi menurun," ujarnya.

Dia menilai dengan stabilisasi harga beras, inflasi pun bakal terkendali. Karena beras merupakan salah satu penyumbang terbesar inflasi. Berikut harga beras yang tergambar dalam Databoks:

Reporter: Tri Kurnia Yunianto