Dubes Eropa Sebut Sengketa Nikel Tak Pengaruhi Perundingan Dagang RI

Katadata
Ilustrasi simbol bendera Uni Eropa. Indonesia tengah menghadapi gugatan Uni Eropa di organisasi perdagangan dunia (world trade organisation/WTO) terkait pembatasan ekspor nikel.
Penulis: Ekarina
12/12/2019, 15.46 WIB

Indonesia tengah menghadapi gugatan Uni Eropa di organisasi perdagangan dunia (world trade organisation/WTO) terkait pembatasan ekspor nikel.  Meski demikian, sengketa tersebut dinilai tidak akan mempengaruhi proses perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia- Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA).

"Jika ditanya apakah hal ini mempengaruhi IEU-CEPA? menurut saya tidak, karena nilai dari kesepakatan I-EU CEPA lebih besar daripada hanya beberapa persoalan tentang nikel, minyak sawit, dan biodiesel," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket di Jakarta, Kamis (12/12).

Vincent menyebut, hubungan dagang antara Uni Eropa telah berada pada titik yang jauh lebih penting daripada persoalan pembatasan ekspor nikel.

"Kita memiliki kepentingan yang jauh lebih besar dalam menjaga kerja sama. Oleh karena itu, kami (Uni Eropa) sangat ingin untuk terus mengejar kesepakatan dengan Indonesia," ujar dia.

(Baca: Hadapi Gugatan Uni Eropa, Jokowi: Jangan Grogi)

Nilai perdagangan Indonesia dan Uni Eropa saat ini mencapai 26 miliar Euro pada 2018. Dia berharap ke depannya nilai tersebut akan semakin meningkat.

Dia pun berpendapat bahwa kesepakatan IEU-CEPA bisa semakin mempererat hubungan Indonesia dan Uni Eropa sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya perselisihan antara kedua pihak.

Namun, Vincent pun menyayangkan keputusan pemerintah Indonesia untuk menerapkan pembatasan ekspor nikel dan beberapa bahan baku lainnya.

"Pembatasan ekspor nikel Indonesia ke pasar Uni Eropa akan merugikan kami. Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Industri Eropa membutuhkan nikel dari Indonesia," ucap Vincent.

Menuurtnya, pembatasan ekspor nikel Indonesia dapat mempengaruhi dan meningkatkan harga nikel dunia sehingga dikhawatirkan dpaat menimbulkan masalah bagi industri di Eropa.

Pada akhir November, Wakil Tetap atau Dubes Uni Eropa di Jenewa mengirimkan surat kepada Wakil Tetap atau Dubes Indonesia di Jenewa. Surat itu menyatakan secara resmi Benua Biru akan mengajukan sengketa terkait produksi besi Indonesia, termasuk pembatasan ekspor bijih nikel, ke WTO.

Vincent menjelaskan, bahwa Komisi Eropa memutuskan untuk mengambil langkah tersebut karena aturan WTO dengan jelas menyatakan bahwa menghentikan ekspor bahan baku tidak diperbolehkan.

(Baca: Protes Biodiesel Dikenakan Bea Masuk, RI Siap Adukan Uni Eropa ke WTO)

"Dalam pertemuan kami dengan WTO, kami sepakat bahwa penghentian ekspor bahan baku tidak diperbolehkan karena kami percaya pada sistem multilateral, dan kami ingin sistem multilateral itu diterapkan," ujarnya.

Dalam surat yang dikirimkan pada 22 November 2019 itu, pihak Uni Eropa juga menyampaikan permintaan  konsultasi. Konsultasi merupakan tahap awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa WTO.

Merespons surat tersebut, Dubes Indonesia untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa Hasan Kleib menjelaskan, bahwa Indonesia akan menerima tawaran Eropa untuk konsultasi sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa.

Konsultasi tersebut akan dilakukan dengan waktu, format, dan tempat yang telah disepakati bersama oleh Indonesia dan Uni Eropa.

Uni Eropa menggugat Indonesia terkait kebiojakan pembatasan ekspor untuk produk mineral (khususnya nikel, bijih besi, kromium) yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU; insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik; serta skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Negara tersebut mengklaim kebijakan Indonesia telah melanggar Pasal XI.1 GATT terkait larangan pembatasan ekspor dan impor; Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang; dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.

Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen terhadap bijih nikel, serta untuk batu bara, bijih besi, dan kromium.

Reporter: Antara