May Day di Tengah Pandemi, Sejarah Panjang Hari Buruh Internasional

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat (1/5/2019). Saat itu, buruh menuntut penghapusan pemagangan dan sistem outsourcing.
Penulis: Pingit Aria
1/5/2020, 03.30 WIB

Di tengah pandemi Covid-19, polisi mengimbau agar para buruh tidak bisa turun ke jalan untuk memperingati hari buruh atau Mayday, 1 Mei 2020. Sebab, pemerintah tengah membatasi aktivitas dan interaksi sosial di luar ruangan demi memutus rantai penyebaran virus corona.

Ketentuan ini tertuang dalam Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tentang penanggulangan Covid-19 dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB di berbagai daerah.

“Sudah jelas disampaikan tidak boleh melakukan kegiatan yang sifatnya mengumpulkan massa. Kemudian pada aturan PSBB juga sudah dijelaskan, perkumpulan lebih dari lima orang sebaiknya di rumah saja,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus, pada Senin (20/4) lalu.

Pernah Dilarang

Ini bukan pertama kalinya peringatan hari buruh di Indonesia dilarang. Sebelumnya, pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru juga pernah melarang peringatan hari buruh.

Pemerintahan Hindia Belanda

Belanda pernah melarang peringatan hari buruh pada tahun 1926, setelah mencuatnya gerakan perlawanan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Melansir Historia, rencana perlawanan tersebut memang benar-benar terjadi, kendati berhasil digagalkan oleh pemerintah kolonial.

Peristiwa tersebut mengakibatkan peringatan hari buruh di tahun-tahun setelahnya menjadi sulit dilakukan. Banyak serikat buruh yang mendapatkan tekanan oleh pemerintah kolonial. Seiring berjalannya waktu, Belanda sepenuhnya melarang peringatan hari buruh.

(Baca: Industri Terpukul Pandemi Corona, KSPI Tuntut THR Tetap Dibayar Penuh)

Peringatan hari buruh di Indonesia baru diperbolehkan kembali pasca kemerdekaan, tepatnya pada masa pemerintahan Orde Terpimpin di era Kabinet Syahrir. Mulanya, Barisan Boeroeh Indonesia (BBI) pada tahun 1946 mengajukan tuntutan terbuka kepada presiden Sukarno agar 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh.

Tuntuan tersebut kemudian dikabulkan pemerintah melalui maklumat yang dikeluarkan Menteri Sosial Maria Ullfah, tepat pada peringatan hari buruh pertama di Indonesia 1 Mei 1946. Selain menetapkan peringataan hari buruh, maklumat itu juga mendorong para pengusaha untuk tetap memberikan gaji kepada para buruh yang memperingati hari buruh.

Pada 20 April 1948, pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, yang dinilai sebagai pencapaian tertinggi dalam sejarah gerakan buruh di tanah air. UU tersebut mengamanatkan bahwa para buruh akan dibebaskan dari kerwajiban pekerjaannya setiap peringatan hari buruh 1 Mei.

Diterbitkannya UU tersebut juga menjadi awal mula perlindungan terhadap buruh; larangan mempekerjakan anak; larangan memperkerjakan buruh perempuan di sektor yang membahayakan keamanan; pemberian cuti bagi wanita menyusui, melahirkan, dan haid.

Pemerintahan Orde Baru

Setelah beberapa tahun berjalan, peringatan hari buruh Kembali dilarang pada masa Orde Baru. Penyebabnya, lagi-lagi dikaitkan dengan paham komunis. Sebagai gantinya Presiden Suharto menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional, merujuk pada hari lahir Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Orde Baru juga selalu menyikapi unjuk rasa dan pemogokan buruh secara represif. Salah satu peristiwa penting yang menandainya adalah pembunuhan Marsinah pada pada Mei 1993. Marsinah adalah aktivis buruh yang bekerja di PT Catur Putera Surya, Sidoarjo.

(Baca: Tidak Gelar Demonstrasi, Buruh Peringati May Day dengan Bakti Sosial)

Pada 1 Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) nekat menggelar peringatan hari buruh pertama pada era pemerintahan Orde Baru. Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 21 demonstran yang tersebar di Jakarta dan Semarang ditangkap aparat.

Peringatan hari buruh baru diperbolehkan kembali setelah Suharto lengser dari kursi Presiden. Pada 1 Mei 2013, hari buruh untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketentuan tersebut pun terus berlaku hingga saat ini.

Sejarah Hari Buruh Internasional

Menurut situs organisasi Pekerja Industri Sedunia (IWW), sejarah panjang peringatan Hari Buruh sedunia dimulai pada puncak era revolusi industri, tepatnya abad 19. Kala itu, para buruh di Amerika Serikat biasa bekerja selama 10 hingga 16 jam sehari dalam kondisi yang tidak aman.

Sejak tahun 1860-an, kelompok buruh mulai menaruh perhatian pada pentingnya pembatasan durasi bekerja menjadi 8 jam sehari. Pada tahun 1884, kelompok buruh baru mampu mengumpulkan cukup kekuatan untuk mendeklarasikan tuntutan kerja 8 jam tersebut.

Dalam deklarasi itu, Federasi Perdagangan Terorganisir dan Serikat Buruh, yang kini menjadi Federasi Buruh di AS, menyatakan 8 jam sebagai durasi kerja resmi yang berlaku mulai 1 Mei 1886. Deklarasi tersebut dilakukan dalam konvensi nasionalnya di Chicago.

(Baca: Industri Tekstil RI saat Pandemi: Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga)

IWW menjelaskan, kala itu kelompok buruh di AS dilandasi oleh semangat sosialisme, sebuah ideologi yang bertujuan untuk menciptakan kontrol kelas pekerja terhadap produksi dan distribusi barang dan jasa. “Para pekerja telah melihat secara langsung bahwa Kapitalisme hanya menguntungkan bos mereka, memperdagangkan hidup pekerja demi keuntungan,” tulis IWW.

Pada 1 Mei 1886, lebih dari 300 ribu buruh yang berasal dari 13 ribu perusahaan di seluruh AS meninggalkan pekerjaan untuk merayakan dimulainya pemberlakuan 8 jam kerja. Di Chicago, dimana kebijakan itu bermula, sebanyak 40 ribu buruh melakukan gerakan mogok kerja. Lambat laun, jumlah buruh yang turun ke jalan membengkak menjadi 100 ribu orang.

Peringatan pertama berlangsung damai. Namun, tidak demikian dengan peringatan susulan yang dilakukan sekitar dua ratus buruh dari perusahaan McCormick Reaper Works, pada 3 Mei 1886. Peringatan ini diwarnai dengan aksi pemukulan dan lemparan batu antara aparat dengan demonstran, hingga mengakibatkan dua orang tewas.

Mengutip History.com, keesokan harinya, sebanyak 3 ribu buruh mengadakan pertemuan di lapangan Haymarket untuk membicarakan kekerasan aparat terhadap buruh McCormick Reaper Works. Gerakan yang berlangsung damai ini kemudian berubah menjadi kerusuhan.

Polisi menilai pidato August Spies, pembicara utama dari pertemuan tersebut, bersifat menghasut. Di tengah-tengah pertemuan, aparat merengsek masuk dan membubarkan kerumunan. Namun tiba-tiba, seseorang tidak dikenal melempar bom ke arah aparat.

(Baca: Diprotes Buruh, Jokowi Tunda Bahas Omnibus Law soal Ketenagakerjaan)

Aparat kemudian membalas dengan melakukan penembakan, hingga mengakibatkan 40 warga sipil terluka, dan delapan di antaranya tewas. Dalam peristiwa tersebut, tujuh tokoh yang dituduh sebagai insiator pertemuan menerima hukuman mati satu tahun kemudian.

Kerusuhan Haymarket lantas menarik perhatian global. Tragedi tersebut menginspirasi penyelenggaraan Kongres Sosialis Internasional II di Paris. Di dalam Kongres itu pula, 1 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari pembebasan kelompok buruh di seluruh dunia.

Reporter: Nobertus Mario Baskoro