Pekan ini dimulai dengan anjloknya harga minyak mentah berjangka kontrak Mei Amerika Serikat (AS) terburuk dalam sejarah. Penutupan perdagangan Senin (20/4) mencatat harga minyak mentah WTI minus US$ 37,63 per barel.
Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, kondisi ini terjadi lantaran stok minyak dalam inventori lebih banyak dibandingkan permintaan. Pandemi corona, menurutnya, membuat permintaan minyak turun signifikan sebab orang membatasi pergerakan guna memutus penyebarannya.
Sebaliknya, kata Komaidi, penjual harus tetap mengeluarkan uang biaya pengiriman yang menjadi tanggungannya karena sudah terikat kontrak berjangka. Biaya yang harus dikeluarkan penjual itu lah membuat harga minyak mentah WTI minus.
“Keputusan Donald Trump untuk terus meningkatkan produksi shale dengan keyakinannya tetap stabil juga memengaruhi,” kata Komaidi kepada Katadara.co.id, Selasa (21/4).
(Baca: Pertama Kali dalam Sejarah, Harga Minyak Anjlok di Bawah US$ 0/barel)
Produksi minyak dalam jumlah tinggi tak bisa tertampung lagi dalam storage. Namun, penjual juga tak bisa mengekspor ke luar negeri lantaran permintaan dari luar juga turun. Permintaan minyak dunia turun sampai 30% menurut OPEC. Ditambah lagi perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia yang sempat terjadi dan membuat pasokan minyak dunia berlebih di pasar.
Perang minyak antara kedua negara tersebut terjadi lantaran Rusia menolak proposal Arab Saudi untuk mengurangi produksi minyak. Akhirnya Arab Saudi menambah produksi dan membanjiri pasar minyak. Harga menjadi turun. Kedua negara memang kemudian bersepakat berdamai dan mengurangi produksi minyak mentah, tapi menurut Komaidi hal itu belum bisa menaikkan harga minyak dalam waktu dekat.
Kini OPEC plus Rusia telah memangkas produksi minyak mentah menjadi 9,7 juta barel per hari. Langkah ini dilakukan dari Mei sampai Juni tahun ini.
“Itu kenapa harga minyak WTI masih terdampak. Pangkal masalahnya di situ,” kata Komaidi.
Dampak turunnya permintaan dan perang minyak, kata Komaidi, juga jadi penyebab turunnya harga minyak di luar regional AS. Meskipun tak setajam WTI, harga minyak mentah Brent mengalami penurunan dari US$ 2,51 per barel menjadi US$ 25,57 per barel atau turun 9%.
(Baca: Sejarah Kejatuhan Harga Minyak Dunia Sebelum Dihantam Pandemi Corona)
Proyeksi Harga Minyak Dunia
Melihat kondisi yang tejadi saat ini, Komaidi memprediksi harga minyak dunia akan berada di rata-rata US$ 35-40 per barel sampai akhir tahun nanti. Harga itu menurutnya bisa bertahan lebih lama jika pandemi covid-19 belum juga berlalu.
“Bisa lebih jatuh juga harganya dari itu. Karena selama pandemi belum berlalu, ekonomi akan tetap terpukul di banyak sektor dan permintaan terus menurun. Karena harga tergantung kondisi pasar,” kata Komaidi.
Prediksi Komaidi ini tak jauh berbeda dengan IMF. Dalam World Economic Outlook yang dirilis lembaga penalangan dana internasional pada pekan lalu, harga minyak dunia diprediksi rata-rata US$ 35 per barel sampai akhir 2020. Proyeksi ini mempertimbangkan kontraksi ekonomi dunia sebesar 3%.
Perkiraan harga minyak dunia tersebut turun dari proyeksi IMF pada Januari lalu, yakni US$ 58,03 per barel pada 2020 dan US$ 55,31 per barel pada 2021.
Bahkan, IMF memprediksi harga minyak dunia akan tetap di bawah US$ 45 per barel sampai 2023 atau 25% lebih rendah dari harga rata-rata pada 2019. Sebab, IMF menyebut permintaan minyak dunia akan susah kembali normal seperti sebelum pandemi corona terjadi.
Akibat hal ini, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi negara pengekspor minyak akan turun 4,4% sehubungan dengan terjungkalnya harga minyak dunia. Negara pengekspor minyak di Timur Tengah dan Asia Tengah, menurut IMF, akan mengalami kontraksi ekonomi sebesar 3,9% dengan GDP Arab Saudi turun 2,3%, Uni Emirat Arab turun 3,5% dan Irak turun 4,7%.
Untuk prediksi jangka pendek, Komaidi menyatakan harga minyak dunia pada Juni-Juli di kisaran US$ 10-15 per barel. Itu pun menurutnya sudah bagus sekali mengingat ketidakpastian di tengah pandemi corona ini.
“Nanti setelah pada titik terendah biasanya rebound, tapi ini tidak bisa dipastikan karena tergantung kondisi pasar,” kata Komaidi.
(Baca: Impor Minyak Naik, Pemerintah Butuh Storage Lebih dari 150 Ribu KL)
ICP Bisa Terdampak
Lebih lanjut, Komaidi menyatakan meskipun harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih stabil, tapi bisa terdampak apabila WTI dan Brent terus mengalami penurunan sampai akhir 2020. Sebab jika harga ICP terus tinggi dibanding Brent yang menjadi tolok ukur harga minyak dunia, maka akan menyesuaikan.
“Asumsinya bisa turun jadi US$ 30 per barel. APBN terancam hilang RP 50 triliun kalau itu terjadi. Karena sekarang saja sudah kehilangan terus sejak harga minyak turun. Baik penerimaan APBN dari PNBP maupun migas,” kata Komaidi.
Sayangnya, kata Komaidi, tak ada yang bisa dilakukan negara untuk mengantisipasi kekurangan APBN selain utang. Karena saat ini seluruh sektor telah terpukul dan tak bisa diharapkan mendorong kinerja pemasukan APBN. Langkah pemerintah dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 pun menurutnya sudah paling realistis.
“Sekali lagi memang kuncinya pandemi ini segera berlalu dan ekonomi kembali pulih,” kata Komaidi.
Terkait anjloknya harga minyak dunia, PT Pertamina memutuskan memangkas investasi sektor hulu hingga 30% tahun ini. Hal ini disampaikan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati dalam video conference Bersama Komisi VII DPR, Selasa (21/4).
Nicke menyatakan pihaknya akan melakukan sejumlah program prioritas, yakni menurunkan belanja modal atau capital expenditure (capex) dan menghemat pengeluaran operasional atau operating expenditure (opex) untuk pengeboran sumur eksplorasi. Dengan pemotongan ini, Nicke menyatakan “sehingga dari sisi produksi kita lakukan minimal sekali, baik dari sumber eksplorasi dan eksploitasi.”
Oleh karena itu, untuk sementara Pertamina hanya akan memaksimalkan capaian produksi dari sumur yang tersedia. Produksi sektor hulu Pertamina saat ini 80%-90% berasal dari sumur eksisting.
Produksi di sektor hulu Pertamina diproyeksi akan turun sekitar 2% dari 430.000 barel per hari menjadi 421.000 barel per hari. Sedangkan produksi gas akan turun hingga 4%. Totalnya, produksi di sektor hulu Pertamina akan turun sekitar 3%.
(Baca: Harga Minyak Anjlok, Pertamina Akan Pangkas Investasi di Sektor Hulu 30%)