Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Peraturan tersebut telah diteken Presiden Joko Widodo sejak dua hari lalu atau pada 10 juni 2017.
Perppu ini dibuat karena UU Nomor 17/2013 tidak mewadahi asas hukum administrasi contrario actus. Asas hukum tersebut menyatakan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan juga memiliki wewenang untuk mencabut atau membatalkannya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto mengatakan, Perppu Ormas diterbitkan karena undang-undang ormas yang tidak lagi memadai mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI 1945.
Padahal, kata Wiranto, banyak kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI 1945 sehingga mengancam eksistensi bangsa dengan berbagai konflik yang ditumbulkan.
"Perppu ini substansinya adalah merupakan perubahan dari UU Nomor 17/2013 yang tidak lagi memadai untuk mampu untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa dari kemungkinan ancaman ideologi lain yang merebak di Indonesia," kata Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7).
(Baca: Hasil Survei: Mayoritas Warga Indonesia Tolak ISIS dan HTI)
Dengan adanya Perppu Nomor 2/2017, kewenangan lembaga yang memberikan izin, yakni Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri akan diperkuat. Sebab, nantinya Kemenkumham dan Kemendagri dapat menindak bahkan membubarkan ormas yang diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga, proses pembubaran ormas tak lagi melalui proses pengadilan.
"Sekarang kami perkuat lembaga itu. Nanti di sana akan menilai kalau ada ormas yang nyata-nyata membahayakan ideologi negara, bertentangan dengan NKRI, itu ada sandaran hukum kita untuk menindaknya," kata Wiranto.
Kemudian, penerbitan Perppu ini disebabkan pengertian tentang ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dalam UU Nomor 17/2013 masih dirumuskan secara sempit. Pengertian dalam UU tersebut hanya terbatas kepada ajaran Atheisme, Marxisme, dan Leninisme.
"Padahal sejarah Indonesia membuktikan bahwa ajaran-ajaran lain juga bisa menggantikan dan bertentangan dengan Pancasila," kata Wiranto.
Berdasarkan salinan yang diterima Katadata, ada beberapa poin yang diubah dalam Perppu Nomor 2/2017. Poin-poin tersebut, antara lain mengenai larangan terhadap ormas pada Pasal 60, sanksi pada Pasal 61, peringatan pada Pasal 62, pembubaran ormas pada Pasal 80A, dan ketentuan pidana pada Pasal 82 dan 83.
Wiranto mengatakan, Perppu ini diterbitkan tanpa maksud membatasi kegiatan ormas. Ia juga berdalih penerbitan Perppu ini bukan sebagai tindakan kesewenang-wenangan pemerintah mengancam kebebasan ormas.
"Tetapi semata-mata untuk merawat persatuan, kesatuan, dan eksistensi bangsa," tambah dia.
Wiranto pun meminta masyarakat tetap tenang dan dapat menerima Perppu ini dengan pertimbangan yang rasional dan jernih. Sebab kata Wiranto, pemerintah memiliki pertimbangan adanya kebutuhan yang mendesak dalam penerbitan Perppu Nomor 2/2017. Pemerintah nantinya juga akan menyampaikan penerbitan Perppu ini ke DPR.
"Tentu akan diserahkan ke DPR karena ini tentu atas sepengetahuan DPR. Ada mekanismenya, tunggu lah," ucap Wiranto.
Sebelum mengeluarkan Perppu ini, pada 8 Mei lalu, Wiranto mengumumkan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Wiranto mengatakan HTI terindikasi bertentangan dengan Pancasila karena mengusung konsep khilafah atau negara Islam.
Namun, ketika itu pembubaran ormas tak dapat dilakukan secara langsung karena sesuai UU No 17/2013, pembubaran harus melalui permohonan ke pengadilan yang memakan waktu.