PGI Harap Jokowi Tak Jadikan Perppu sebagai Alat Kesewenangan

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah pengurus organisasi keagamaan untuk menjaga keamanan, kedamaian serta keutuhan NKRI, (17/4).
Penulis: Ameidyo Daud
Editor: Yuliawati
31/7/2017, 16.07 WIB

Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menyatakan dukungan atas diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Meski begitu, PGI berharap Presiden Joko Widodo tak menjadikan Perppu sebagai alat kesewenangan untuk membungkam kebebasan bersuara.

"Harapan PGI tentang Perppu penggunaannya akan terukur. Kami tidak berharap Perppu menjadi alat kekuasaan untuk membungkam siapa saja," kata Ketua PGI Bambang usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (31/7/).

PGI bertemu dengan Jokowi atas undangan pihak istana. Dalam pertemuan itu Jokowi membicarakan berbagai program pemerintah, termasuk Perppu Ormas.

"Pemerintah mengatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini sebagai komitmen dalam menegakkan Pancasila," kata Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom.

(Baca: Menristek Minta Rektor Beri Sanksi Dosen yang Jadi Anggota HTI)

Gomar mengatakan PGI menganggap penerbitan Perppu telah berjalan dengan langkah yang benar, namun pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat. "Medsos begitu cepat berkembang, informasi bisa dipelintir. PGI berpesan agar pemerintah berpesan lebih lugas," kata dia.

Usai penerbitan Perppu Ormas pada , Kementerian Hukum dan HAM resmi mencabut badan hukum HTI pada Rabu (19/7). HTI dibubarkan karena dianggap memiliki banyak aktivitas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan jiwa NKRI.

Pembubaran HTI dengan menggunakan Perppu Ormas ini menuai protes. HTI telah mengajukan gugatan uji materi Perppu Ormas dengan sidang perdana pada 26 Juli lalu.

Selain gugatan yang diajukan HTI, uji materi Perppu Ormas juga disampaikan empat organisasi Islam yang dibantu Tim Advokasi Ormas Islam untuk Keadilan pada Jumat (28/7).

Dalam salah satu alasan gugatan, mereka mengatakan penetapan Perppu berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) karena Presiden tak menjelaskan hal ihwal kegentingan memaksa untuk mengeluarkan Perppu.

(Baca: Perkuat Perppu, Kemendagri Dorong Penerbitan Perda Pengawasan Ormas)

Sebelumnya Jokowi mengatakan Perppu Ormas yang dianggap sebagai tidak demokratis, merupakan produk hukum yang akan melalui proses check and balances di Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu apabila ada yang tidak setuju dapat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

“Setelah presiden mengeluarkan Perppu, kan ada mekanisme di DPR dan di situ ada mekanisme yang demokratis, ada fraksi-fraksi entah setuju dan tidak setuju, artinya sekarang tidak ada kekuasaan absolut dan mutlak,” kata Jokowi pada Jumat (28/7). 

Jokowi mengatakan sebagai negara demokrasi dan hukum, proses pengambilan keputusan berlangsung sangat terbuka. “Kalau ada tambahan demonstrasi juga tidak apa-apa, jadi jangan dibesar-besarkan hal yang sebetulnya tidak ada,” kata dia.

(Baca: Tanggapi SBY-Prabowo, Jokowi: Sekarang Tak Ada Lagi Kekuasaan Absolut)

Dalam konferensi pers di Cikeas, Kamis malam pekan lalu, SBY menyatakan Demokrat dan Gerindra akan bekerja sama membentuk gerakan politik dan moral memberikan peringatan supaya pemerintah terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.

"Saya harus sampaikan bahwa power must not go unchecked. Saya ulangi sekali lagi. Power must not go unchecked. Artinya apa, kita, kami, harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan itu tidak melampui batas, sehingga cross the line, sehingga masuk yang disebut abuse of power," kata SBY.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun turut menanggapi dengan mengatakan penerbitan Perppu agar pemerintah hadir dalam menjaga keamanan dan stabilitas negara. Pemerintah, kata Tjahjo, ingin menyelamatkan negara dari ormas-ormas yang diduga merongrong ideologi negara.

"Pemerintah ingin hadir, pemerintah ingin menyelamatkan negara, bukan membela satu ormas atau satu kelompok atau satu golongan," kata Tjahjo di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (28/7).

Tjahjo menjelaskan, pemerintah memberikan kebebasan berpendapat dan berserikat kepada masyarakat. Namun, hal tersebut tetap harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia. "Sebagai ormas yang ada di Indonesia, ya harus ikut aturan negara," kata Tjahjo.