Presiden Joko Widodo didesak memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril Makmun. Oleh Mahkamah Agung (MA), dia divonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta dalam kasus perekaman konten kesusilaan.
Kuasa hukum Nuril, Aziz Fauzi, mengatakan mantan guru honorer SMAN 7 Mataram itu dalam pengadilan tingkat pertama terbukti tidak mengirimkan trasmisi informasi elektronik berupa rekaman telepon. Namun, melalui putusan bernomor 574K/Pid.Sus/2018, Mahkamah malah menghukum Nuril.
Karena itu, Aziz dan sejumlah kalangan mendesak Presiden segera mengeluarkan amnesti lantaran Mahkamah dinilai tidak memahami duduk perkara secara utuh. Sebab, Nuril menyerahkan rekaman itu secara konvensional melalui pemberian ponsel kepada rekan kerjanya, dan selanjutnya dia tidak turut menyebarluaskan.
Menurut Aziz, Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya dapat menjerat subjek hukum pidana dalam konteks transaksi melalui elektronik, bukan konvensional. “Baiq Nuril tidak dapat dikatakan melakukan transmisi terhadap informasi elektronik tersebut,” kata Aziz di Kantor LBH Pers, Jakarta, Jumat (16/11).
Selain itu, Nuril tidak melakukan penyebaran rekaman secara sengaja. Menurut Aziz, Nuril dipaksa oleh rekan kerjanya menyerahkan rekaman percakapannya dengan mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Muslim yang berisikan konten kesusilaan tersebut.
Dengan demikian, Nuril tidak memenuhi unsur secara aktif dan dengan sengaja sebagaimana tertera dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Hal tersebut telah ditegaskan oleh saksi ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram.
Aziz pun menilai Nuril tidak memenuhi unsur formil yang tertera dalam Pasal 5 dan 6 UU ITE. Alasannya, bukti elektronik yang diserahkan oleh jaksa penuntut umum tidak dapat dijamin keutuhannya. Sebab, rekaman yang diperdengarkan oleh jaksa berbeda dengan yang direkam oleh Nuril. Rekaman dari jaksa sudah banyak terpenggal kata-katanya.
Selain itu, transkrip rekaman yang disampaikan oleh jaksa banyak berbeda dengan isi rekaman percakapan Nuril. “Bukti yang diajukan jaksa cacat, tidak bisa dijamin keutuhannya,” kata Aziz.
Direktur LBH Apik Siti Mazuma menilai Mahkamah dalam memeriksa perkara ini juga tidak memperhatikan ketentuan dalam Peraturan MA Nomor 03 Tahun 2017. Dalam Perma tersebut dinyatakan bahwa dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum harus meninjau adanya relasi kuasa gender.
Alasannya, Mahkamah tidak mempertimbangkan kondisi Nuril yang sebenarnya menjadi korban pelecehan seksual yang seharusnya diberikan perlindungan hukum. “Saya tidak melihat di kasasi Mahkamah melihat adanya ketimpangan relasi dalam perkara ini,” kata Siti.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju menambahkan, Mahkamah tidak mempertimbangkan tindakan Nuril merekam percakapan dengan Muslim sebagai tindakan membela diri. Padahal dalam putusan Prita Mulyasari, tindakan perekaman untuk membela diri dibenarkan oleh Mahkamah.
Seharusnya, Mahkamah dapat melihat putusan Prita tersebut dalam mengambil vonis bagi Nuril. “Mahkamah semata mengambil fragmen dapat diakses dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE,” kata Anggara.
Dia menilai pemberian amnesti dari Jokowi dapat memulihkan kepercayaan publik yang saat ini tercederai akibat putusan Mahkamah terhadap Nuril. Amnesti tersebut pun dinilai dapat mendorong para perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual untuk melaporkan masalahnya.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, saat ini banyak perempuan yang enggan melaporkan kasus kekerasan seksualnya karena takut dikriminalisasikan. Hal ini diperparah dengan putusan Mahkamah terhadap Nuril. “Ini bisa mengancam perempuan yang berniat mengungkapkan kekerasan seksualnya,” ucap Azriana.
Selain mendesak Amnesti, tim kuasa hukum Nuril bakal melakukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah tersebut. Dalil pertimbangan yang akan dilampirkan dalam PK adalah adanya kekeliruan yang nyata dan kekhilafan atas putusan Mahkamah.