Perbaiki Iklim, Pemerintah Didesak Turut Turunkan Suhu Bumi

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Foto udara menara termal (kanan) milik APP-Sinar Mas yang berada di Kec Padang Sugihan, OKI, Sumatera Selatan, Kamis (9/3). Untuk mendeteksi sejak dini kebakaran hutan dan lahan APP-Sinar Mas memasang dua buah kamera termal di distrik Simpang Tiga dan Kecamatan Padang Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel,. Dengan jarak pantau sepanjang 10km dan mampu memutar 360 derajat secara otomatis dan dalam setiap lima menit akan naik turun untuk melihat titik api yang ada di kawasan tersebut.
7/12/2018, 13.58 WIB

Konferensi perubahan iklim PBB atau Conference of the Parties (COP 24) sedang digelar di Kotowice, Polandia. Konferensi ini bertujuan untuk memastikan negara-negara yang telah berkomitmen dalam Paris Agreement menjalankannya selama dua tahun.

Dari perjanjian itu, berbagai negara sudah melakukan berbagai cara untuk menanggulangi emisi gas rumah kaca disebabkan, salah satunya, oleh penebangan hutan secara besar-besaran. Dalam COP 24, pemerintah menyebutkan terjadi penurunan emisi, karena angka kebakaran hutan terus menurun sejak 2015.

Sementara itu, untuk terus memperbaiki iklim di bumi, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memberikan rekomendasi kepada seluruh pihak terutama pemerintah untuk menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Namun, laporan IPCC menyebutkan bahwa target Nationally Determined Contribution (NDC) semua negara dalam Kesepakatan Paris masih menyebabkan pemanasan global lebih dari 1,5 derajat celcius.

Baca juga: Luhut Sesalkan Aksi Aktivis Greenpeace Protes di Kapal Tanker Sawit)

 Diperkirakan, hingga 2100, suhu global mencapai 2,9-3,4 derajat celcius. Untuk menghindari kenaikan tersebut, emisi global harus terus menurun sebelum 2030. Jika suhu global meningkat, ini akan berdampak pada keselamatan makhluk hidup, khususnya di negara-negara kepulauan, seperti Indonesia.

Dalam hal ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang telah berkomitmen dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Termasuk turut serta mengejar bauran energi terbarukan dengan target 25 % hingga 2025.

Untuk memperbaiki perubahan iklim, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai solusi masalah blue carbon dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation Plus/REDD+) hanya menjadi solusi teknis. Skema ini dianggap tidak mampu menjangkau akar masalah perubahan iklim.

Selain itu, kebijakan reforetasi saat ini masih berbasiskan pada skema pasar dan korporasi. Walhi menilai tindakan korporasi terhadap penebangan hutan sudah terlalu banyak diberikan dan pada akhirnya gagal upaya tersebut berpotensi gagal.

(Baca juga: Walhi Minta Moratorium Lahan Sawit Diperpanjang hingga 25 Tahun)

Karenanya, Walhi mendorong pemerintah melakukan perubahan struktural dengan mengoreksi kebijakan ekonomi dan pembangunan Indonesia ke depan. “Demi memberikan jaminan keselamatan bagi warga negara dan memastikan perlindungan wilayah kelola rakyat dari dampak perubahan iklim,” demikian pernyataan resmi Walhi kemarin.

Langkah struktural tersebut di antaranya dengan melanjutkan dan memperkuat Instruksi Presiden mengenai moratorium Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Gambut. Juga, perlu mengevaluasi perizinan serta audit lingkungan terhadap korporasi sebagai aktor penyumbang emisi terbesar dunia.