Indonesian Parliamentary Center menilai peran DPR belum maksimal dalam menangani berbagai persoalan pada sektor ekstraktif. Hal ini terlihat dari rendahnya kinerja Komisi VII membangun landasan kebijakan yang kuat melalui aturan pertambangan mineral serta minyak dan gas bumi (migas).
Direktur Indonesian Parliamentary Center Ahmad Hanafi mengatakan kebijakan tata kelola pertambangan dan migas semua didasarkan oleh kinerja DPR terutama Komisi VII. Kinerja ini bisa diukur dari tugas Komisi VII, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Pengawasan terhadap undang-undang dapat kami persepsikan masih sedikit kebijakan yang di produksi Komisi VII, baik dalam partai politik oposisi maupun pendukung pemerintah,” ujarnya
Tingkat keaktifan antar fraksi-fraksi yang tergabung dari oposisi lebih banyak yang bersuara, tapi pendukung pemerintah lebih sedikit yang menyuarakan. Sejumlah kebijakan yang seharusnya dapat diakselerasi dengan cepat dalam merampungkan Undang-Undang (UU), kurang berjalan. Draf Rancangan UU yang sudah diserahkan pemerintah, tapi DPR karena DPR kurang tegas, akhirnya mandek.
(Baca: Pembahasan RUU Migas Tunggu Keputusan Jokowi)
Berbagai konsep kebijakan reformasi sebenarnya sudah dituangkan dalam Revisi UU Migas dan Revisi UU Minerba. Akan tetapi, hingga sekarang kedua revisi UU tersebut belum juga rampung. Menurutnya, hal ini terjadi karena Komisi VII lebih banyak bekerja untuk melaksanakan fungsi pengawasan dibandingkan fungsi legislasi.
“Legislasi itu sampai sekarang yang dibawah bidang komis VII belum disahkan, ada empat panja pengawasan, itu belum jelas laporannya,” ujar hanafi
Sepanjang 2014-2018, Komisi VII DPR lebih banyak menekuni pada tiga isu utama, yaitu migas, energi, pertambangan dan lingkungan. Pelaksanaan fungsi pengawasan lebih dominan daripada fungsi yang lain, tapi ini tidak sejalan dengan hasil kinerja komisi VII.
"Sebagian besar pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut diimplementasikan dalam kegiatan kunjungan kerja. Artinya, ada ketidakseimbangan dalam pelaksanaan fungsi oleh Komisi VII," ujarnya.
(Baca: Sederet Masalah RUU Minerba)
Untuk diketahui Reformasi sektor ekstraktif adalah perbaikan tata kelola pertambangan, minyak dan gas dari sektor hulu hingga sektor hilir agar lebih transparan (dapat diakses), lebih partisipatif (melibatkan masyarakat) dan lebih akuntable (dapat dipertanggungjawabkan) sehingga menjamin ketersediaan dan pengalokasian hasil ekstraksi untuk kepentingan rakyat.