Regulasi Berperspektif Gender Bekal Menuju Pekerjaan Layak

Arief Kamaludin|KATADATA
Pengunjung memperhatikan produk kain tenun di salah satu gerai peserta pameran Trade Expo Indonesia ke-30 Tahun 2015 di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta, Rabu (21/10). Pameran tahunan yang menampilkan berbagai produk Indonesia berkualitas eksp
9/5/2019, 16.34 WIB

CEO PT Dan Liris Michelle Tjokrosaputro menyoroti salah satu ketimpangan dalam regulasi pemerintah yang kurang menjawab kebutuhan dunia usaha. Contohnya, peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang menetapkan usia pekerja minimal 18 tahun.

Imbas dari kebijakan ini adalah para tenaga kerja muda khususnya di bidang pertekstilan, tidak bisa segera terserap ke dalam dunia kerja selepas lulus. Padahal, sering kali lulusan sekolah menengah kejuruan berusia kurang dari 18 tahun.

“Kami ingin sekali kurangi pengangguran dengan segera menyerap mereka. Kalau menteri mau, peraturan ini diubah dalam sekejap juga bisa. Peraturan timpang yang ada saja dibenahi dulu,” kata Michelle di sela-sela diskusi CEO Talks terkait harapan pebisnis terhadap isu kesetaraan gender, di Jakarta, 10 April 2019 lalu

PT Dan Liris yang dipimpinnya merupakan produsen tekstil dan garmen bermarkas di Solo, Jawa Tengah, yang telah beroperasi sejak 1974. Produk yang dihasilkan tak hanya beredar di dalam negeri tetapi juga masuk ke sedikitnya 20 negara.

Michelle mengungkapkan, perusahaannya mendukung prinsip kesetaraan kesempatan antar gender di lingkungan kerja. Selain itu, dia menuturkan, peraturan batasan usia yang ada sekarang merupakan salah satu contoh regulasi yang tak sejalan dengan semangat kesetaraan gender. Padahal, dunia kerja berpotensi menjadi penggerak menuju kesetaraan kesempatan antargender.

“Berdasarkan pengalaman kami, para perempuan di perusahaan kami menunjukkan kinerja dan kepemimpinan yang tak kalah dari laki-laki. Kami menghargai mereka secara setara,” ucap dia.

Kesetaraan gender menjadi jantung dari perkerjaan layak. Penelitian Bank Dunia menyebutkan, kesejahteraan secara global bisa meningkat sebesar 21,7 persen jika kesempatan antar gender diterapkan setara. Sebaliknya, kerugian pada human capital wealth secara global bisa mencapai US$ 160,2 triliun apabila terjadi ketimpangan.

kesetaraan gender 10 besar di asia (Katadata)
 

Selaras dengan data tersebut, Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menuturkan bahwa perusahaan yang beragam (gender, agama, etnis) mampu berinovasi lebih baik. “Misalnya, kalau diverse membuat meja diskusi lebih penuh dan kaya dari segi cara berpikir dan pendapatnya,” katanya.

Ditanya soal keberagaman gender di lingkungan Grab Indonesia, Neneng menjawab bahwa pihaknya tak bermasalah dengan isu ini. Pasalnya, tidak ada batasan bagi perempuan untuk menapaki jenjang karir lebih tinggi. Syarat utama ialah kesesuaian kompetensi diri dengan posisi yang diinginkan.

“Kami sangat insklusif dan beragam. Yang dilihat bukan gender tetapi kompetensinya. Jajaran direksi berimbang (perempuan dan laki-laki), misalnya presiden Grab Indonesia itu laki-laki dan managing director-nya perempuan, yakni saya,” ujar Neneng.

Namun, CFO Telkomtelstra Ernest Hutagalung menyatakan bahwa terlepas dari kemajuan yang sudah tercapai terkait kesetaraan gender di dunia kerja, masih banyak ditemui kendala akibat minimnya jumlah perempuan yang ada di posisi pimpinan teratas.

“Menempatkan banyak perempuan sebagai pemimpin sangat penting, karena perubahan signifikan di tempat kerja harus dimulai dari atas. Misalnya, dengan menciptakan budaya kerja yang memungkinkan perempuan mengoptimalkan potensi dan produktivitasnya,” ucap Ernest.

Menyoal isu kesetaraan gender, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berinisiatif melakukan transformasi menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan memasukkan poin mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan (achieve gender equality and empower all women and girls) sebagai salah satu agenda dalam “The 2030 Agenda For Sustainable Development”.

Hal tersebut dilakukan untuk menyudahi diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu juga memastikan kesetaraan kesempatan bagi perempuan pada semua level kepemimpinan, baik di sektor publik, ekonomi, maupun politik.

Dalam kesempatan yang sama, Allaster Cox selaku Charge d’Affaires Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia berpendapat, kesetaraan gender di tempat kerja merupakan isu penting. “Bukan hanya karena ini benar untuk dilakukan tetapi karena bisa meningkatkan kinerja ekonomi negara secara keseluruhan,” katanya.

Sementara itu, Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) mengingatkan dunia usaha agar membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan untuk menapaki jenjang karir dalam jajaran dewan atau kepemimpinan senior.

“Perlu diciptakan tempat kerja yang ramah gender, mengembangkan investasi berorientasi perempuan, menggalakkan praktik keberagaman, serta terus meningkatkan jumlah perempuan yang memegang posisi kunci,” imbuh Presiden IBCWE Shinta Widjaja Kamdani.

Secara umum, para pemimpin perusahaan yang hadir dalam CEO Talks kali ini mengharapkan pemerintah membuat rumusan kebijakan yang berperspektif gender. Dengan demikian, perempuan bisa mendapatkan akses setara dan berkontribusi secara lebih efektif dalam pembangunan di Indonesia.

 

This article was produced in partnership with Investing in Women, an initiative of the Australian Government that promotes women’s economic empowerment in South East Asia.