Presiden Joko Widodo menegur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno karena impor minyak dan gas (migas) yang cukup besar pada Senin (8/7). Impor migas dianggap menjadi salah satu penyebab defisit neraca perdagangan.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menjelaskan, Pertamina telah berusaha menekan impor migas dengan cara membeli minyak mentah domestik. Hingga Juni 2019, Pertamina telah menyerap minyak mentah sebanyak 116.9 ribu barel per hari (BOPD) dari 37 kontraktor migas Indonesia. Jumlah tersebut delapan kali lipat lebih besar dari pembelian 2018 sebesar 12,8 ribu BOPD.
Dengan cara tersebut, volume impor minyak mentah Pertamina berhasil ditekan. Dalam kurun waktu 2016 hingga 2018, impor minyak mentah Pertamina turun dari sebesar 149 juta barel menjadi sekitar 113 juta barel. Dalam Rancangan Keuangan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2019, Pertamina memproyeksi impor minyak mentah hanya sebesar 190 ribu BOPD, lebih rendah dari tahun lalu sebesar 339 ribu BOPD.
(Baca: Mulai Bulan Ini, Pertamina Hentikan Impor Solar dan Avtur)
Biarpun begitu, impor produk BBM Pertamina tetap tinggi. Pada 2016 lalu, impor produk BBM sebesar 117 juta barel dan terus naik menjadi 145 juta barel di tahun lalu.
Fajriyah mengatakan, impor produk BBM memang sulit untuk ditekan, karena permintaan dan kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat. "Padahal kilang Pertamina terbatas," ujar Fajriyah kepada Katadata.co.id, Selasa (9/7).
Sejauh ini Pertamina baru bisa menghentikan impor solar dan avtur untuk memangkas impor produk gasoil. Produk gasoil berupa biosolar, dexlite, dan pertamina dex. Dalam RKAP Pertamina, impor gasoil tahun ini hanya mencapai seribu bopd, jauh lebih rendah dari impor gasoil tahun lalu yang mencapai 44.000 bopd.
Sedangkan impor produk gasoline berupa premium, pertalite, pertamax, pertamax plus/turbo, dan pertamax racing masih cukup tinggi. Tahun ini Pertamina memproyeksi impor gasoline mencapai 351 ribu BOPD, lebih tinggi dari tahun lalu sebesar 324 ribu BOPD.
Secara keseluruhan. Pertamina menargetkan penjualan BBM tahun ini sebanyak 48,86 juta kilo liter dengan realisasi hingga Juni 2019 sebesar 25 juta kilo liter. Fajriyah pun berharap proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) dapat segera berjalan untuk menekan impor produk gasoline.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Wacth Mamit Setiawan mengatakan, impor migas cukup tinggi karena konsumsi migas terus naik. Sedangkan lifting dan penemuan cadangan migas belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Biarpun begitu, program pemerintah untuk menekan impor migas sebenarnya sudah berjalan. Seperti kebijakan penyerapan minyak mentah domestik yang membantu Pertamina mengurangi impor minyak mentah dan produk. Selain itu, kebijakan menggunakan FAME sebesar 30% juga membantu mengurangi impor migas.
(Baca: Sektor Migas Defisit, Kapasitas Pengolahan Energi Perlu Ditingkatkan)
Dari data Kementerian ESDM, total impor minyak mentah, produk, dan LPG periode Januari hingga Mei 2019 (Year on Year) turun 24% dibandingkan 2018 sebesar US$ 9,6 Miliar menjadi US$ 7,3 Miliar. "Dengan penurunan ini saya melihat program yang digulirkan oleh pemerintah cukup berhasil. Bahkan saat ini Pertamina tidak lagi harus impor solar," kata Mamit kepada Katadata.co.id, Rabu (10/7).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang periode Januari-Mei 2019 memang mengalami defisit sebesar US$ 2,14 miliar. Tapi angka tersebut lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu senilai US$ 8,7 miliar dolar.
Impor Januari-Mei 2019 juga turun 9,23% menjadi US$ 70,60 miliar dibanding tahun lalu. Ekspor periode Januari-Mei 2019 justru turun 8,61% dari periode sebelumnya menjadi US$ 68,46 miliar.