"Korban" Proyek Reklamasi, dari Ahok hingga Gubernur Kepri

ANTARA FOTO/Nikolas Panama
Lahan seluas 15 hektare di tepi pantai direklamasi untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Penulis: Dwi Hadya Jayani
12/7/2019, 07.00 WIB

Megaproyek reklamasi laut di Indonesia sedalam perjalanannya tidak terlepas dari sorotan publik karena menimbulkan berbagai polemik. Di beberapa daerah, megaproyek ini menuai kritikan, dipertentangkan oleh masyarakat, hilangnya dukungan terhadap kepala daerah, hingga permasalahan hukum kasus korupsi.

Pihak yang pro menganggap proyek reklamasi akan mendatangkan keuntungan sosial hingga ekonomi. Sementara pihak yang kontra menyatakan reklamasi akan membawa dampak negatif, dari kerusakan lingkungan hingga hilangnya sumber penghidupan nelayan.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Eka Jaya mengatakan reklamasi akan menambah pemasukan daerah dari pajak, menyerap tenaga kerja, dan menciptakan perekonomian baru. Namun, menurut Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi, reklamasi hanya untuk kepentingan bisnis semata.

(Baca: Mengenang Rayuan Pulau Palsu Reklamasi Teluk Jakarta)

Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Ahmad Martin Hadiwinata berpendapat proyek reklamasi sangat dekat dengan korupsi. "Saya bisa katakan proyek reklamasi ini juga sangat erat dengan bagaimana proses korupsi yang sangat buruk. Erat dengan bagaimana pendekatan bisnis dengan pemerintah," ujar Martin di Kantor Formappi, Minggu (23/6).

Reklamasi Teluk Jakarta: Kekalahan Ahok hingga Tertangkapnya Mohamad Sanusi

Saat menjabat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dikenal sebagai Gubernur DKI Jakarta yang pro dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Dia ingin melanjutkan perjuangan Presiden Suharto mengembangkan kawasan Pantai Utara (Pantura) Jakarta melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995. Ahok meyakini reklamasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jakarta.

Namun, kebijakan reklamasi yang menuai polemik di masyarakat itu turut menjadi isu panas kampanye saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Ahli Statistik Sosial Universitas Indonesia Dirga Ardiansa mengatakan Ahok tidak menawarkan kebijakan yang memprioritaskan masyarakat kalangan bawah, terutama program reklamasi teluk Jakarta.

Hasilnya, Ahok yang pro-reklamasi kalah oleh Anies Baswedan yang selalu mengusung tema kampanye penolakan terhadap megapoyek tersebut. Dirga menilai strategi komunikasi politik Ahok sulit meraih simpati banyak orang.

"Dengan kebijakan yang tidak menekankan kepentingan kaum bawah, seperti reklamasi dan penggusuran," kata Dirga dalam sebuah acara diskusi.

(Baca: Protes ke Pengembang, Konsumen Properti Reklamasi Ditahan Polisi)

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS)  Philips J. Vermonte mendukung pernyataan Dirga dengan mengataan isu minoritas menjadi penentu kekalahan Ahok. Sementara pesaingnya, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno memberikan tawaran yang berlawanan. Kedua pasangan ini pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 tegas menolak reklamasi yang terletak di Pantai Utara Jakarta ini.

"Mengapa kami menolak reklamasi? Karena memberikan dampak buruk kepada nelayan dan lingkungan," kata Anies saat debat putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017.

Pada September 2018, Anies mengatakan reklamasi hanya bagian dari sejarah dan bukan merupakan masa depan DKI Jakarta. Dia sempat merealisasikan janjinya untuk menghentikan reklamasi Teluk Jakarta dengan mencabut izin prinsip dan pembangunan 13 pulau buatan yang dikembangkan swasta.

Namun, setahun kemudia, Anies malah menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk sejumlah bangunan di pulau hasil reklamasi dengan dasar Pergub 206 Tahun 2016 yang diterbitkan Ahok. Diamenyatakan bahwa pengembang juga sudah merampungkan kewajiban dan membayar denda sesuai keputusan pengadilan.

Anies berdalih penerbitan IMB tidak sama dengan dengan melanjutkan proyek reklamasi. Dia pun telah telah menghentikan 14 dari 17 rencana pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Anies juga beralasan reklamasi merupakan program pemerintah, yang mengacu kepada Keppres 52/1995.

(Baca: Berikan IMB di Pulau Reklamasi, Anies Salahkan Pergub 2016 Buatan Ahok)

Berkaitan dengan hal tersebut, KNTI mengendus adanya celah praktik korupsi dari Keppres yang diterbitkan oleh Presiden kedua RI. Praktik korupsi tercermin dari adanya operasi tangkap tangan OTT Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta 2014-2019 Mohamad Sanusi oleh KPK.

Kasus tersebut melibatkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja sebagai pihak pengembang. Dia dan karyawannya Trinanda Prihantoro diduga terlibat melakukan suap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Kasus ini pun memunculkan dugaan terkait dengan kasus penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan. Penyidik KPK diserang karena ikut terlibat dalam menangani kasus dugaan suap Raperda Reklamasi pada 2016.

Reklamasi Teluk Benoa: Perang Twit Susi-Jerinx dan Surat Misterius untuk Jokowi

Rencana reklamasi Teluk Benoa bermula dari adanya SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada Desember 2012. Penerbitan izin ini berasal dari rekomendasai kajian kelayakan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Udayana (LPPM UNUD).

SK tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 yang mengizinkan reklamasi di zona konservasi non-inti pada 3 Juli 2013. Pastika kemudian mengganti SK lama dengan SK 1727 tentang izin studi kelayakan rencana pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa pada 16 Agustus 2013. Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi Presiden saat itu pun menerbitkan Perpres 51/2014 yang mengizinkan reklamasi di wilayah konservasi Teluk Benoa. Selang beberapa waktu, Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan izin sebagai landasan hukum penyusunan Amdal bagi PT TWBI.

(Baca: Menteri Susi Dikabarkan Terbitkan Izin Lokasi Reklamasi Teluk Benoa)

Rencana tersebut direspons dengan penolakan dari lintas tokoh masyarakat Bali, seperti musisi Bali, Jaringan Aksi Tolak Masyarakat (Jalak) Sidakarya, hingga ForBali. Salah satu yang vokal menyuarakan penolakan adalah I Gede Ari Astina atau Jerinx, penabuh drum kelompok musik punk rock Superman is Dead.

Seperti yang terjadi di DKI Jakarta, Pilkada Bali 2018 dimenangkan oleh Wayan Koster dan Tjok Oka Artha yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Penolakan ini masuk dalam gerakan Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Gerakan ini menjaga kesucian dan keharmonisan alam, mamusia, dan kebudayaan untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia secara sekala dan niskala. Hingga Agustus 2018, Koster menepati janjinya dan masyarakat Bali meraih kemenangan atas penghentian rencana reklamasi Teluk Benoa.

Koster menyatakan rencana reklamasi di kawasan Teluk Benoa tak bisa dilaksanakan dan meminta seluruh jajaran pemangku kepentingan tidak melanjutkan proses dalam bentuk apapun, termasuk studi kelayakan, Amdal, dan kegiatan lainnya. Dia akan menjadikan Teluk Benoa Bali sebagai kawasan pelestarian hutan mangrove yang hijau, bersih, dan indah.

Meskipun telah dihentikan, isu reklamasi Teluk Benoa kembali muncul ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dikabarkan diam-diam menerbitkan izin lokasi. Walhi menilai Susi telah mengabaikan perjuangan panjang hingga dalam lima tahun masyarakat Bali menolak proyek Reklamasi Teluk Benoa.

Tindakan Susi ini menuai, termasuk Jerinx melalui akun twitternya sempat beradu pendapat. “Selamat siang ibu, sama seperti pertanyaan Gendo ke Ibu. Bukankah yang diprotes Walhi Bali dan ForBali ke ibu kemarin karena ibu terbitkan ijin pelaksanaan siapa?” tulisnya di akun @JRX_SID.

(Baca: KKP Bantah Terbitkan Izin Lokasi Pelaksanaan Reklamasi Teluk Benoa)

Susi pun membalas dengan menunjukkan video Youtube yang berisi tanggapan KKP terkait izin yang dikeluarkan. Susi berdalih bahwa izin yang dikeluarkan adalah izin lokasi yang diperlukan oleh seseorang atau perusahaan untuk membuat Amdal. Ini berbeda dengan izin reklamasi. Penerbitan izin ini sesuai dengan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.

Gubernur Koster menanggapi polemik tersebut dengan mengatakan izin Amdal bisa diperuntukkan untuk berbagai tujuan, termasuk reklamasi. Koster pun tetap berkomitmen dan mengajak masyarakat Bali untuk bersatu menolak reklamasi. Menindaklanjuti hal ini, Koster mengirimkan surat terkait revisi Perpres Reklamasi Teluk Benoa kepada Jokowi pada 21 Desember 2018.

Meskipun sempat memanas karena Koster tak kunjung membuka suratnya, akhirnya ForBali menyatakan dukungan untuk terus mengawal isi surat yang dikirim ke Jokowi.

Reklamasi Gurindam 12: Terciduknya Gubernur Kepri oleh KPK

Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun tertangkap oleh KPK atas dugaan kasus suap izin lokasi rencana reklamasi di Tanjung Pinang, Kepri. Dia ditangkap bersama barang bukti uang senilai 6 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 62 juta). Reklamasi ini disebut sebagai Megaproyek Gurindam 12.

Sebelumnya, Nurdin menjabat sebagai Wakil Gubernur Kepri yang mendampingi Muhammad Sani sejak Februari 2016. Namun, dua bulan kemudian, Sani meninggal  dunia dan Nurdin pun menggantikannya.

(Baca: Proyek Reklamasi Gurindam 12 yang Menjerat Gubernur Kepri)

Awalnya proyek reklamasi Gurindam 12 tidak masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2020 dibawah kepemimpinan Sani. Nurdin memasukkan proyek reklamasi ini ke dalam Program Pemerintah Provinsi Kepri periode 2018-2020.

Beberapa fraksi di DPRD Kepri juga sempat menolak proyek ini karena berpotensi mengakibatkan defisit APBD hingga Rp 500 miliar. "Terkait proyek tahun jamak yang menalan anggaran Rp 530 miliar, PKS-PPP meminta untuk ditunda atau tidak dianggarkan," kata juru bicara Fraksi PKS-PPP DPRD Kepri seperti dikutip Antara.

Proyek ini juga ditentang oleh berbagai tokoh masyarakat. Salah satunya Warga Teluk Keriting, Kota Tanjung Pinang, Kepri, yang bersepakat untuk menolak reklamasi Gurindam 12. Mereka tergabung dalam Forum Masyarakat Teluk Keriting yang melakukan pertemuan langsung ke jajaran Pemerintah Provinsi Kepri untuk memikirkan nasib warga sekitar yang terkena dampak proyek tersebut.

(Baca: Gubernur Kepri, Dugaan Suap Ribuan Dolar Singapura dan Izin Reklamasi)