Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan pemerintah tidak melarang kebebasan pers di Tanah Air. Hal itu diutarakan terkait maraknya protes sejumlah pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Namun, dia menekankan bahwa kebebasan yang dimaksud bukanlah bebas yang tanpa batas. Sebab, apabila kebebasan itu berlebihan, maka akan menimbulkan anarkisme di kemudian hari.
"Jadi kalau pers jelas, saudara dilindungi UU Pers," ucap Yasonna Laoly, di kanronya Gedung Menkumham, Jakarta, Jumat (20/9).
(Baca: Rancangan KUHP yang Akan Disahkan DPR Bertabur Pasal Kontroversial)
Ia mencontohkan salah satu pasal yang dianggap mengancam kebebasan pers, yakni mengenai pasal contempt of court (CoC). Pasal itu memuat larangan mempublikasikan informasi apapun seputar proses penyelenggaraan peradilan yang bersifat tertutur dan dapat mengganggu independensi pengadilan dalam memutus perkara.
Yasonna menilai hal itu sama dengan pernyataan off the record dari pihak narasumber yang berarti tidak dapat ditulis oleh seorang jurnalis guna menjaga kredibilitasnya.
"Sudah hakim mengatakan rapat tertutup, anda malah bikin beritanya, itu kan gak bisa," ucapnya.
Sementara Mantan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi mengatakan, dalam menjalankan kebebasan berpendapat, hal itu kerap berbenturan dengan hak asasi orang lain.
Karenanya, peraturan tersebut diterapkan guna menjaga kepentingan keamanan, ketertiban umum, norma agama, dan kebebasan demokrasi.
"Jadi untuk pers saya setuju dilindungi, karena waktu dikeluarkan UU Pers saya masih menjabat sebagai menteri. Tapi UU Pers juga karakter negara demokrasi," katanya kata Muladi.
Dengan adanya UU Pers dia menilai polisi juga tidak bisa serta merta menangkap seorang jurnalis karena pemberitaan, melainkan hanya bisa diproses dengan prosedur yang ketat yang dilakukan oleh Dewan Pers.
(Baca: Ada 14 Pasal Kontroversial, Jokowi Minta DPR Tunda Sahkan Revisi KUHP)
Sebelumnya hal ini banyak menuai pertanyaan, termasuk dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Keduanya mencatat ada 10 poin dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi den kebebasan pers.
Kesepuluh poin tersebut di antaranya adalah: Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, pasal 241 soal penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 terkait hasutan melawan penguasa, pasal 262 yang mengatur penyiaran berita bohong, dan pasal 263 terkait berita tidak pasti.
Kemudian pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, pasal 440 soal pencemaran nama baik, dan pasal 444 mengatur pencemaran orang yang sudah meninggal.
Presiden Joko Widodo kemarin telah meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP karena ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang.
Jokowi berharap pengesahan RKUHP itu dilakukan DPR periode 2019-2024, setelah mendapat tambahan masukan dan usulan dari masyarakat melalui Menkumham.
Revisi KUHP ini sudah dimulai sejak 2016 lalu namun kerap tertunda. "Jadi saya kira kita mengatur keputusan ini secermat mungkin. Itu terkait penghinaan Presiden dan Wapres," ujar Yasonna.