Harga Minyak Kembali Bangkit Setelah Melemah dalam Dua Pekan Terakhir

Chevron
Ilustrasi, kegiatan penambangan minyak. Harga minyak pada awal pekan ini berhasil naik setelah terus melemah dalam dua pekan terakhir.
Penulis: Ratna Iskana
30/9/2019, 10.18 WIB

Harga minyak naik pada Senin (30/9) setelah dua minggu berturut-turut terus melemah. Biarpun begitu, pergerakan harga minyak terus dipengaruhi sentimen dari ekonomi global.

Dilansir dari Reuters, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 14 sen dolar Amerika Serikat (AS) atau 0,3% menjadi US$ 56,05 per barel pada perdagangan hari ini. Harga minyak jenis WTI sempat turun hingga US$ 54,75 per barel pada Jumat (28/9) lalu, yang merupakan titik terendah sejak 13 September, kala itu harga minyak turun hingga 0,9%.

Harga minyak jenis Brent diperdagangkan naik 21 sen dolar AS atau 0,3% menjadi US$ 62,12 per barel. Harga Brent sempat turun hingga 1,3% hingga ke level US$ 60,76 per barel pada akhir pekan lalu.

Sentimen positif datang dari konflik di Timur Tengah. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menyatakan harga minyak bisa meroket tinggi jika dunia tidak bersama-sama menghalangi Iran. Tapi dia menyampaikan lebih memilih solusi politik dibandingkan menggunakan cara militer untuk menghadapi Iran.

Di sisi lain, kelompok Houthi di Yaman justru menyatakan pada Sabtu (29/9) bahwa mereka bakal melancarkan serangan di dekat perbatasan selatan Arab Saudi, Najran, dan telah menyandera banyak tentara dan kendaraan. Tapi belum ada konfirmasi dari otoritas Arab Saudi mengenai hal tersebut.

(Baca: Ada Konflik Timur Tengah hingga Pemakzulan Trump, Harga Minyak Turun)

Biarpun begitu, harga minyak masih dalam tekanan dampak ekonomi global akibat perang dagang AS dan Tiongkok yang terus berlangsung hingga saat ini.

"Dengan produksi Arab Saudi yang kembali, fokus berubah lagi kepada narasi perang dagang dan konsekuensi turunnya permintaan yang diperkuat oleh kemungkinan pelarangan dari administrasi AS yang tengah menginvestigasi keberhasilan penutupan arus investasi ke China," kata Stephen Innes, Market Strategist SPI Asset Management seperti dikutip dari Reuters pada Senin (30/9).

Administrasi Presiden AS Donald Trump bahkan tengah mempertimbangkan menghapus pencatatan (delisting) perusahaan Tiongkok di bursa efek AS. Hal tersebut bakal meningkatkan tensi perang dagang antara AS dan China.

(Baca: Transkrip Pembicaraan Dirilis, Trump dan Presiden Ukraina Disorot)