Kasus Karen Agustiawan tidak menyurutkan langkah Pertamina mengakuisisi blok migas di luar negeri. Biarpun begitu, perusahaan pelat merah tersebut hanya akan mengakuisisi blok migas produksi demi mencegah kasus serupa.
Selain itu, Pertamina bakal menggandeng penegak hukum mulai dari proses awal, transaksi, hingga penyelesaian akuisisi blok migas di luar negeri. "Kami juga kerjasama dengan aparat penegak hukum dari tahap perencanaan. Jangan sampai ada hal-hal yang terlewat," ujar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (12/12).
Pertamina pun tengah menjajaki akuisisi blok migas yang berada di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. "Akuisisi luar negeri kami fokus ke wilayah kerja yang produksi untuk mengurangi risiko itu. Ini sudah kami jajaki di Abu Dhabi, kami coba masuk," kata Nicke.
Akuisisi blok di luar negeri merupakan upaya Pertamina menambah produk migas. Selain itu, perusahaan meningkatkan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja baru dan menerapkan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk menaikkan produksi di blok migas eksisting.
(Baca: Pertamina Target Produksi Migas Hingga Akhir Tahun Capai 910 MBOEP)
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis mantan Direktur Utama Pertamina Galaila Karen Agustiawan dengan hukuman delapan tahun penjara dalam kasus korupsi investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia. Karen juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider empat bulan penjara.
Majelis hakim menilai Karen telah melanggar Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia dinilai merugikan keuangan negara dan memperkaya orang lain atau korporasi dalam kasus tersebut.
Karen dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Direktur Utama Pertamina ketika berinvestasi di Blok BMG. Hal itu dilakukan Karen bersama-sama dengan mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederick ST Siahaan, mantan Manager Merger & Acquisition (M&A) Direktorat Hulu Pertamina Bayu Kristanto, dan Chief Legal Councel and Compliance Pertamina Genades Panjaitan.
Persoalan tersebut terjadi pada 2009 ketika Karen memutuskan membeli sebagian aset di Blok BMG Australia melalui participating interest (PI) tanpa didasari kajian kelayakan atau feasibility study secara lengkap (final due dilligence). Investasi di Blok BMG itu juga tidak didasarkan pada analisa risiko yang dilakukan oleh konsultan keuangan Deloitte.
Padahal, Deloitte telah menyatakan bahwa sangat berisiko jika Pertamina mengakuisisi sebagian aset di Blok BMG. Selain itu, penandatanganan Agreement for Sale and Purchase BMG Project tanggal 27 Mei 2009 senilai US$ 31,91 juta tidak didasari persetujuan dari bagian legal dan Dewan Komisaris Pertamina.
Lebih lanjut, produksi minyak mentah yang dihasilkan di Blok BMG jauh di bawah perkiraan Pertamina. Produksi di Blok BMG juga terhenti pada 2010 karena PT ROC merasa produksi di Blok BMG tidak ekonomis untuk diproduksi.
(Baca: Banding Ditolak, Eks Dirut Pertamina Ajukan Kasasi ke MA)